Terkadang, luka sebab sebuah perpisahan meninggalkan bekas yang tidak kita tahu kapan akan mengeringnya. Seperti sudah sembuh tapi belum. Akan sembuh tapi terlubangi kembali, ditempat yang sama berulang kali.Ge, aku ngga tau siapa paling egois diantara kita perihal hubungan rumit ini. Aku yang terlalu pemikir, atau kamu yang kelewat menggebu?
Aku ingin kita tetap utuh tanpa merusak apapun. Tanpa menyakiti siapapun. Bukan tak menginginkan kamu, tapi aku takut perasaan yang tervalidasi itu akan membuat kita jatuh semakin jauh.
Tidak cukupkah apa yang sudah aku upayakan untuk kamu? Belum sepadankah apa yang sudah aku beri untuk kamu? Butuh tulus yang seperti apa lagi? Bahkan aku sudah melakukan segalanya hingga tidak ada lagi yang tersisa samasekali.
Pada setiap petemuan yang selalu memiliki batas waktu itu, aku selalu berharap kamu menjadi orang terakhir yang akan selalu berada di dekatku. Hanya kamu.
•••
Kepala Gracia berdenyut nyeri saat ia memaksa membuka mata. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya lalu memindai seisi ruangan yang sudah sangat akrab sekali di penglihatannya. Ruangan serba putih dengan alat-alat medis menyebalkan.
Matanya tertuju pada Shani yang tertidur sembari menggenggam erat tangan kirinya, kemudian di sofa sana ada Feni sama pulasnya. Di tempat yang sama Anin masih terjaga selagi fokus dengan handphone di tangannya.
"Abin," panggil Gracia setengah berbisik. Tenaganya belum pulih sepenuhnya.
Anin tak langsung mendengarnya karna suara Gracia terlalu kecil dan jarak diantara keduanya lumayan agak jauh.
"Bin!" Ulang Gracia lagi. Kali ini tak hanya menarik fokus Anin, tapi membangunkan Shani juga.
"Haii?" Anin buru-buru beranjak mendekat, sementara Shani memilih berpura tidur kembali.
Gracia meminta tangan Anin untuk ia genggam. Menarik selang infus di tangannya.
"Nah kan pecicilan," protes Anin sembari memberikan tangannya untuk digenggam Gracia. "Masih sakit kepalanya?" Sambung perempuan itu lagi.
Gracia mengangguk lucu. Bibirnya ia lipat dengan kedua alis saling bertaut. Seperti biasa, Anin meleleh melihat itu. "Mau aku panggilin suster?" tanyanya lembut.
Gracia menggeleng. "Mau kamu."
"I'm here" sahut Anin dengan senyum teduhnya. Jari jempolnya mengelus halus punggung tangan Gracia.
Di sisi lain air mata Shani lolos begitu saja membasahi punggung tangan sebelah kiri Gracia. Mati-matian menahan isak agar tidak ikut lolos juga. 'Kenapa sakit mendengar nama Anin yang pertama kali kamu sebut? Kenapa perih menerima dia yang kamu cari di saat aku yang lebih dekat? Jadi ini ketidakrelaan yang kamu maksud, Ge?'
Gracia tahu Shani sudah terjaga. Ia dapat merasakan bulir hangat membasahi punggung tangannya. Ikut perih saat tak sengaja Shani meremas tangan milik dirinya.
Bukan misi membuat impas rasa sakitnya. Ini hanya bagian dari upaya Gracia membuat situasi seperti ini menjadi biasa. Berharap tidak ada lagi rasa sakit setelahnya. Gracia ingin ia biasa melihat Shani dengan orang lain, Shani biasa melihat dia dengan orang lain.
"Kamu kenapa ngga bobo sih? Dikurang-kurangin dong main game-nya," protes Gracia pada Anin.
"Sstt! Orang sakit gaboleh berisik!"
"Biarin aja. Nanti kalo aku ngga ada juga kamu bakalan kangen diberisikin aku."
"He'em! Abin minum air putih yang banyak! Abin bobo besok masuk pagi! Abin pulang udah malem!" Anin asik menirukan gaya bicara Gracia setiap kali mengingatkan dirinya waktu di Singapur dulu. "Berisik banget sumpah! Tapi aku sukak." Lanjut perempuan itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
قصص عامةBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...