"Selamat pagi tuan puteri," sapa Shani menyambut Gracia membuka mata. Sementara cahaya yang lolos lewat sela jendela sedikit mengganggu mata Gracia. Perempuan itu mengerjap halus menyesuaikan cahaya.Segera Shani mntup kembali tirai yang sudah setengah ia buka, hanya menyisakan garis cahaya kecil saja di sana dan itu cukup membantu Gracia.
"Ciii." Gracia merentangkan kedua tangannya disambut Shani menghambur memeluk dirinya.
"Mau langsung mandi? Atau mau ngumpulin nyawa dulu?" Goda Shani selagi melepas pelukan. Ditatap intens wajah perempuan favoritnya itu. Kontan Gracia mengerucutkan bibir lucunya sementara pelipis itu ia lipat dengan kedua alis saling bertaut. Ah, bahkan dia masih sangat menggemaskan meski beberapa bulan kedepan, usianya genap kepala tiga.
Tak tahan, Shani menarik wajah itu mendekat ke wajahnya, menghujani kecupan kecil di hidung mancung adik kesayangannya.
"Eumm, aku belum sikat gigi." Gracia berontak memalingkan wajahnya dari Shani. Sedang tawa khas bidadari itu lepas melihat Gracia menutup mulut dengan kedua tangannya. 'Gimana ngga gamon aku, Ge? Sedangkan tingkah random kamu dicopypaste Kenzo semua,' batin Shani meradang membayangkan yang tidak-tidak.
"Mandi ya? Aku udah siapin airnya,"
"Masih ngantuk banget ini, Ci." Gracia malas-malasan merebahkan dirinya lagi. Menarik selimut hingga ke kepala.
"Ayo puteri tidur," bujuk Shani selagi menarik lembut selimut yang membalut tubuh mungil adik kesayangannya.
"Lima menit lagi aja ya, Ci? Pwiisss?" Giliran Gracia menggoda Cici kesayangannya. Ia sudah paham betul kartu as yang tidak akan pernah bisa Shani bantah. Memelas dengan wajah menggemaskan adalah sesuatu yang tidak akan bisa Shani tolak.
"Yaudah deh! Lima tahun lagi juga gapapa." Mission complete! Apa sih yang enggak untuk Gracia?
Saat selimut hampir seluruhnya membalut tubuh Gracia, Shani kembali menariknya, "Aku mandi duluan, ya?" izin Shani dengan senyum bidadarinya. Gracia berani taruhan, tidak akan pernah lagi ia temui di tempat manapun perempuan semenawan Cici kesayangan di depan matanya. Tak hanya rupa, bahkan ia sempurna dari gestur hingga pembawaannya. Benar-benar sesuatu yang tak bisa ia tinggal begitu saja. Tapi takdir samasekali diluar kuasanya.
"Pagi yang cerah, dengan senyum paling indah. Duh, rasanya ingin sekali merayu Tuhan untuk terus hidup lebih lama dari seharusnya." Gracia mendramatisir, sementara matanya menatap kosong ke arah Shani. Entah sadar atau tidak akan ucapannya.
Shani merapatkan duduknya, kembali memeluk Gracia lebih erat dari sebelumnya. Jujur saja Shani paham betul gimana rasanya bertarung dengan takdir tragis yang seolah tidak akan memberi kita kesempatan untuk menang.
"Bahkan kematian tidak akan mampu jadi pemisah kamu sama aku. Di kehidupan manapun kamu berada, aku ada. Kita hanya cukup berasabar beberapa waktu, sama seperti kita menunggu 14 tahun kehadiran satu sama lain seperti sebelumnya. Hm?"
Terdengar seperti Shani sudah berdamai, tapi nyatanya masih tetap ada yang bergejolak di dalam hatinya. Sepertinya kerelaan tidak akan pernah benar-benar menyambanginya. Tidak ada satu hal apapun boleh merenggut perempuan itu dari dirinya.
"Enam tahun, Ci. Enam tahun aku bersikeras buat sembuh. Alasannya kamu. Jujur aja sampai detik ini aku masih belum siap menjalani hidup dimana tidak ada kamu di dalamnya. Aku takut kalo ga ada kamu."
"Kalo kamu harus meningal hari ini, aku pastikan akan menyusulmu malam atau esok harinya. Aku ga akan biarkan kamu sendiri bahkan hanya satu hari."
Ditengah isakkan, "Ci,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
Ficción GeneralBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...