Shani menghela napas panjang sebelum ia membuka kamar milik Gracia, langkahnya mendadak berat saat melihat tubuh kesayangannya terbaring di hospital bed. Bayang-bayang Gracia selama hampir dua minggu di apartementnya perputar ulang di kepala. Wajah yang selalu pias itu, tubuhnya yang menjadi lebih kecil dan ringkih, demam diwaktu berdekatan, dan beberapa kejanggalan lain, jadi ini alasannya? Kekhawatirannya nyata, persis di depan mata.
Saat jarak antara Shani dan bed hanya tinggal satu jengkal, pasien itu menoleh ke arah di mana Cici kesayangannya berada. Mata keduanya memanas saat pandangan itu saling bersirobok menatap intens satu sama lain. 'Jangan nangis plis jangan nangis' kompakan kedua perempuan itu bergumam meski tak saling dengar.
"Haii!" Shani menyapa selagi ia mengelus tangan yang hampir penuh akan selang infus. Ada yang patah di dalam sana saat ia mendapati pemandangan di hadapannya itu.
"Enzo mana, Ci?"
Shani hanya menggeleng bingung. Sebab sedari terakhir kali ia mengangkat vcall dari Gracia, fokusnya tak mau berpaling pada yang lain termasuk pada anak kesayangannya. Samar-samar di ingatannya, tadi Kenzo berada di gendongan Kevin.
Oke bahkan Shani baru sadar kenapa ada suaminya juga di sini? Kepalanya semakin penuh akan teka teki sialan ini. Seolah semua orang tahu dan hanya dia yang tidak?
"Cii?"
Hanya satu panggilan dan fokus Shani kembali tercuri. Perempuan itu merapat duduk di sisi bed yang sengaja sudah Gracia sediakan ruang di sana, "bisa dibawa bangun duduk, ngga, Ge?" tanya Shani khawatir.
"Ya bisa lah, Ci. Emang kamu pikir aku setidak berdaya itu kah?" Gracia mencoba mencairkan suasana.
Gracia beranjak duduk dibantu Shani, "enak nggak?" tanya perempuan itu memastikan.
"Aman, Ci oke," timpal Gracia saat ia sudah mendapat duduk nyamannya.
Beberapa menit keduanya hening. Sebelum akhirnya Gracia lagi yang membuka suara, "Nyuruh duduk doang nih?" tanya Gracia polos.
Shani tertawa garing sementara hidungnya mengerut mati-matian menahan air mata yang hendak larut. "Peluk boleh ngga? Aku kangen."
Kontan Gracia melepas tangannya di genggaman Shani, segera ia menghambur ke pelukkan Cici kesayangannya. Jujur saja Gracia pun sama rindunya.
Lama sekali kakak beradik itu mengurai rindu seolah berwindu tak bertemu sedang baru saja semalam keduanya menghabiskan waktu. Tentu bukan hal baru, ini sudah berlangsung sedari belasan tahun lalu. Rumusnya; semakin sering bertemu, maka semakin cepat saling rindu. Selalu seperti itu.
Namun sepertinya kali ini alasan itu bertambah satu; takut kehilangan membuat keduanya terus merindu meski saling berada dalam pelukkan satu sama lain.
Menyeka air mata, Shani melonggarkan pelukkan. Perempuan dengan pembawaan selalu tenang itu mengelus penuh cinta punggung kecil didekapannya. Membelai lembut surai adik kesayangannya, lalu menepuk-nepuk halus pipi gembil favoritnya yang sekarang menjadi lebih tirus dari biasanya.
Beberapa menit Shani menahan wajah Gracia agar terus sejajar dengan wajah dirinya. Meneliti setiap lekuk wajah indah perempuan yang sudah bertahun ini menjadi kesayangannya. "Pipi chuby favoritku ke mana?"
Gracia tersenyum perih melihat mata merah Shani juga pertanyaan spontannya itu, "Ak ..."
Shani segera membawa Gracia ke dalam pelukkannya kembali. Berbisik lembut di telinga perempuan itu, "Tapi rahang kamu makin tegas. Cantik banget!"
"Menghibur," timpal Gracia lagi.
Memasang senyum bidadari, ujung telunjuk Shani menyentuh satu-satu kedua tahi lalat di pipi Gracia, "Ini favoritku," katanya selagi jemari lentik itu berjalan ke area hidung, "ini juga. Semua, Ge. Semua yang ada pada kamu favoritku. Kamu favoritku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
Ficción GeneralBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...