Setelah sambungan telephone itu terputus, Feni membuang napas kasar selagi memeijat halus pelipis yang terasa seperti ada yang mendidih di dalam sana. Di satu sisi dia tidak bisa menolak permintaan Gracia, sementara di sisi yang lain rasa bersalah juga berhasil merongrong perasaannya karena sudah sebebgitu lancang berbicara seberani tadi pada Shani. Jujur saja Feni tak sampai hati menyakiti sahabat kesayangannya itu dengan cara seperti ini.
__"Mpen?"
"Iya?"
"Aku bisa minta tolong kamu sesuatu ngga?"
"Apa? Kamu mau diambilin sesuatu atau apa?"
"Bukan. Soal Cici yang ini. Tapi aku ngga begitu yakin sih kamu akan setuju."
Feni termenung, ia takut kalau benar tidak akan bisa melakukannya. "Selagi aku bisa, bilang aja kamu mau aku gimana?" Berpura yakin, sisanya Feni dihantui keragu-raguan jujur saja.
Sementara Gracia mengambil napas panjang, tak kalah ragu mengatakan ini kepada Feni yang mana sejauh yang dia tahu, perempuan itu tidak pernah tak berpihak kepada Shani. "Kamu udah lihat kan dengan mata kepala kamu sendiri gimana yang terjadi sebetulnya antara aku sama Cici? Aku berkali-kali minta pergi bukan karena sudah ngga sayang dia, tapi ada hal-hal yang mau tidak mau untuk kita korbankan upaya menyelamatkan hal-hal yang jauh lebih berharga dari hanya sekedar memenangkan ego ngga berdasar." Kesayangan Shani itu sengaja menjeda, mengetes respon Feni akan kata-kata dirinya barusan.
"Tar dulu ini konteksnya apa kalo boleh aku tahu? Kamu to the point aja deh biar aku ngga salah menebak-nebak."
"Tadi Ko Kevin ke sini cuma untuk minta tanda tangan Cici, Mpen. Gila ngga sih aku membuat mereka berada di posisi seperti ini? Rasanya sudah kaya tembok yang tiba-tiba menjadi penyekat keharmonisan ketiganya. Aku ngga bisa kaya gini terus. Selain ini akan menyakiti hati aku, jujur aja dihantui rasa bersalah juga ngga kalah sakit Mpen rasanya." Gracia kembali mengambil jeda, memberi kesempatan Feni untuk menanggapi pernyataannya.
Sementara Feni mulai masuk pada apa yang Gracia maksud. Demi apapun bahkan hanya mendengar secuil penuturan Gracia, Feni dapat merasakan kekalutan perempuan malang itu. Perasaannya yang tidak bisa dituntut hilang begitu saja, perasaan bersalahnya akan keutuhan keluarga kecil itu, ah, bahkan membayangkannya saja Feni sudah dibuat frustasi lebih dulu. Tekanan yang tidak semua orang bisa tahan segini jauh, dan hebatnya Gracia mampuh. Ditambah dengan beban penyakit tak biasa seolah menjadikan genap penderitaannya. "Kamu mau aku ngapain?" tanya Feni setelah ia menimbang serius. "Aku akan bantu semampu aku asal itu bisa bikin perasaan kamu menjadi jauh lebih baik setelah ini." Tambahnya lagi tulus.
"Selama ini kamu sudah menjadi penengah setiap pertengkaran hebat aku sama Cici. Selalu jadi penenang disaat kita lagi sama tegang. Berkali-kali jadi penghalang setiap aku hilang kendali dan selalu berujung memilih pergi. Mpen, kalo sekarang aku minta kamu untuk berada di pihak aku, kamu bersedia ngga? Sekali ini aja aku janji." Ini terdengar seperti permohonan paling serius dari yang pernah Gracia minta sebelum-sebelumnya.
"Iya, aku harus ngapain?" Ragu-ragu Feni setuju.
"Stop jadi penghubung aku dengan Cici." Gracia kembali menggantung. Tidak yakin kalau Feni akan setuju akan ide gilanya ini. "Bantu aku yakinin Cici kalau aku sudah tidak lagi butuh keberadaan dia di dekat aku. Misalkan besok dia masih meyempatkan datang ke sini, mungkin aku udah ngga bisa menerima dia seperti biasanya lagi." Tambahnya lagi dengan air mata mulai menganak sungai di pipi tirusnya.
"Yakin, Ge?"
Gracia mengangguk perih dengan deraian yang merangsek jatuh meski sudah ia paksa berhenti sedari tadi. "Yang menjadi korban di sini tuh Kenzo, Mpen. Anak kecil empat tahun yang lagi butuh-butuhnya banget peran seorang ibu. Dan dengan penuh kesadaran aku merenggut itu dari dia sekarang. Bahkan iblis sekalipun ngga ada yang sejahat aku kayanya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
Ficción GeneralBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...