Shani tersenyum gemas melihat Gracia berkali-kali menguap mengotak atik remot televisi. "ngantuk?"
Perempuan yang masih lucu diusianya yang hampir genap kepala tiga itu kontan menoleh ke sumber suara, suara favoritnya. "He'em!" Gracia melipat bibir lucunya, "Kenapa ya, Ci kalo kenyang tuh bawaanya ngantuk?" Sambungnya lagi dengan hidung dan pelipis mengerut menahan ngantuk. Lima belas menit lalu, Gracia baru saja selesai dengan makan masakan Cici kesayangannya.
Jelas saja hal random Gracia itu masih relevan membuat Shani gemas setiap kali melihatnya lagi. "Bobo kalo ngantuk." Shani meletakkan laptop ke meja, "sini" katanya, selagi tangannya menepuk pangkuan dirinya.
Gracia menggeleng kemudian merebahkan dirinya di sandaran sofa, "kerjaan kamu kelarin dulu, nanti baru aku."
"Zoomnya udah kelar dari tadi. Ini cuma tinggal laporan tipis-tipis. Udh selesai juga ini. Sini?" jelas Shani selagi senyum teduh itu tak juga lepas dari bibir ranumnya setiap kali bicara dengan Gracia.
Disambut Gracia merapat, merebahkan dirinya dipangkuan favoritnya. Kontan tangan Shani membelai lembut surai adik kesayangannya itu, "mau di sini dulu apa bobo di kamar aja?" Shani memastikan.
"Sini dulu aja, Ci."
"Okey."
Perlahan mata Gracia terpejam saat sentuhan lembut Shani membelai hidung mancung miliknya. Entah kenapa meski mata itu ia tutup rapat, Gracia masih dapat melihat jelas wajah menawan Shani di atas dirinya. Menatap intens setiap inchi wajah cantiknya.
Ini bukan hal baru untuk Gracia, tapi tak pernah gagal memberi butterfy effect. Debar tak biasa juga tak pernah alpa menyapanya. Situasi canggung dan bahagia kerap beradu di waktu yang sama. Tak apa, toh sudah biasa. Namun tidak juga membuat ia terbiasa.
Lima menit, Shani mengabaikan tiga dering telepon milik dirinya.
"Diangkat, Ci." Gracia memberi saran. "Berpaling sebentar ga akan bikin aku hilang dari jangkauan kamu," sambungnya lagi sementara matanya masih tertutup rapat.
Kontan Shani tersenyum. Meraup wajah milik Gracia, "dasar!"
Lalu perempuan rupawan itu membungkuk mengambil handphone di atas meja. Rambutnya yang panjang, jatuh membelai halus wajah adik kesayangan dipangkuan dirinya. Lagi, Gracia pasrah. Pasrah akan keadaan jantungnya yang entah sudah se-memprihatinkan apa kondisinya di dalam sana.
"Hallo, Vin."
"...."
"Enzo tidur sama kamu apa sama Mama?" tanya Shani pada seseorang di sambungan telephone sana.
"...."
"Maaf ya aku minta pengertian kalian terus dulu," katanya lagi sementara tangan kananya sibuk mengelus halus pipi Gracianya.
"...."
Obrolan Shani mengular hingga hampir seperemat jam. Membuat perempuan di pangkuannya yang tak segaja mencuri dengar perbincangan dirinya itu nyaris mati gaya membenarkan posis. Kali ini ia membalikan badannya menghadap pada Shani. Menenggelamkan wajahnya pada perut rata perempuan kesayangannya.
"Kalo ada apa-apa segera hubungi aku. Nitip Enzo sama Mama, yaa." Shani mulai tidak fokus akan obrolannya dengan Kevin. Tercuri oleh kelakuan random Gracia di perutnya.
"Kamu gabisa napas itu hey!" Shani berbisik lembut mendekatkan wajahnya ke Gracia. Mendapat respon? Ah tentu tidak. Gracianya terlanjur tenggelam dengan cuddling favoritnya. Betul, ndusel kalau kata dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
General FictionBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...