hospital

3K 220 0
                                    



Setelah selesai dengan anak kesayangannya, Shani menyiapkan keperluan pergi Kenzo. Dari susu hingga baju ganti sudah rapi di travel bag milik putranya.

"Kamu mau bareng aku atau kita pergi sendiri-sendiri? tanya Shani dingin sekali pada Vinny. Dan ini kali pertama ia mendapati Shani seperti ini. Khawatir, takut dan rasa bersalah semakin menambah kekalutan Vinny. Ia paham betul tempat yang akan dituju Shani.

•••

"Why are you crying, Mammy?" Shani tak menggubris. Entah sengaja diabaikan atau memang ia tidak mendengarnya. Tapi ini bukan pertanyaan pertama kali. Ini adalah pertanyaan Kenzo ke lima dari sejak ia dibangunkan tadi.

"Auntie, ngnapa Mammy menangis terus? Kalian ngenapa?"

Vinny yang fokusnya sedari tadi terpecah antara menyetir, Shani dan Gracia, juga tak segera menanggapi Kenzo. Lagi-lagi anak kecil itu kembali terabaikan.

"Hwaaa Mammy marah? Mammy ngenapaa?" Kenzo mulai tantrum dipangkuan Shani, "Mammy nda bole marah, Enzo takut. Jangan diami Enzo, Mammy!" Anak laki-laki empat tahun itu histeris mencoba mencuri kembali perhatian Shani. Enzo diserang panik, bagaimanapun ini kali pertama ibu kesayangannya itu seperti ini.

Pelan-pelan Vinny menepikan mobil, mengambil alih Kenzo yang masih tantrum dipangkuan Shani.

"No, engga, Sayang. Mammy ga marah sama Enzo hm? Mammy capek, Enzo ngerti kan, Sayang?"

Lima belas menit Vinny berhasil menenagkan Kenzo, anak itu erat sekali memeluk dirinya. Sementara Shani masih setia pada tatapan kosong, sedang di kepalanya riuh sekali akan berbagai pertanyaan soal Gracia, adik kesayangannya.

"Shan? kamu okey? Mau aku lanjut atau bagaimana?"

"Dari kapan, Kak?" tanya Shani tak jelas di telinga Vinny.

Perempuan yang sudah seperti kakak bagi Shani itu menghela napas panjang. Ia tak ingin, tapi tidak ada lagi selain dia.

"Sebelumnya aku minta maaf banget, Sha ..."

"Langsung ke intinya aja, Kak! Aku udah ngerasa cukup. Ini bukan waktu setahun dua tahun!" Shani menyelak, dengan rasa bersalah setelahnya. Mau bagaimanapun ini seperti bukan dirinya. Sabarnya yang selalu luas itu, ketenangannya, pemaklumannya, kali ini menguap entah kemana. Hanya tersisa Gracia saja di kepalanya.

"Mau enam tahun, Shan. Tepatnya delapan bulan sebelum pernikahan kamu sama Kevin. Kebetulan dokter yang megang Gracia ini Marco. Gracia ngga ngomong langsung ke aku soal sakitnya ini. Tapi mungkin karena emang harus ada yang tau, pas hari dimana jadwal checkup Gracia, kebetulan aku pas ada keperluan mendadak sama Marco tanpa janjian sebelumnya," terang Vinny sesaat setelah mobil itu melaju kembali. Dan Marco yang di maksud Vinny adlh dokter specialis kanker yang mana masih satu circle sama Shani juga Gracia.

Gemuruh di hati Shani semakin jadi saat Vinny menyebut nama Marco. Iya, profesi laki-laki matangitu sudah  jelas penyebabnya.

Vinny menoleh ke arah Shani di mana perempuan itu masih mematung di tempat duduknya. "Sebulan setelah akhirnya Gracia mau terbuka sama aku, yang ada difikiran dia bukan dirinya sendiri tapi Cicinya ... kamu, Shan." Vinny mengambil jeda,

"Kalo aku ngga ada, Ci Shani gimana ya, kak? Siapa yang bakal nemenin dia pas tengah malem ga bisa tidur meski cuma lewat handphone? Siapa orang pertama yang ngucapin dia selamat ulang tahun setelah keluarganya? Siapa yang mau ngerti dia saat dia butuh waktu sendiri? Siapa yang akan ngeyakinin dia kalo dia berharga banget setiap dia merasa insecure? Siapa yang ..."

"Kak, stop!"

"Dan Kevin, itu bukan sepenuhnya andil aku, Gracia peran utamanya. Aku setuju sama dia, ikut excited sama permintaannya Gracia soal kamu. Karna aku tau banyak juga soal Kevin. Sempurnanya nyaris setara sama kamu, tipenya mirip-mirip sama Gracia. Begitu Gracia nyebut nama Kevin waktu itu, spontan aku sepakat karna pikir aku, ga ada yang lebih cocok untuk kamu selain dia ... setelah Gracia." Lanjut Vinny lagi. Sementara air terjun di mata Shani semakin deras. Nyeri, rasanya seperti ada ribuan sayatan di ulu hati.

Vinny melirik ke arah Shani, lalu ke bocah kecil yang mulai terkantuk-kantuk dipangkuannya memeluk dirinya.

Vinny meremas tangan Shani sesaat stelah ia memarkir mobil di basment rumah sakit

Sekali lagi, sebelum membuka kunci, Vinny kembali memastikan keadaan Shani. Sudah tentu kacau, maka kembali ia mengelus lembut lengan adiknya itu. Membagi sisa energi yang ia punya, "Jangan bikin dia makin down, ya? Dia udah keren banget nguatin dirinya sendiri untuk sampe di titik ini. Kita datang untuk bikin dia makin kuat kan?"

Shani paham betul apa yang dimaksud Vinny. Tidak boleh rapuh, jangan patah, tidak ada tangis-tangisan. Setidaknya di depan Gracia.

Sementara di dada Shani rasanya seperti ada yang terbakar di dalam sana, mana bisa seperi itu? Tapi mau tidak mau ia harus setuju. Perempuan itu menghambur ke pelukan Vinny tak perduli meski ada Kenzo juga terhimpit di sana. "Aku ga bisa, Kak." Gelengan serta isakkan Shani di bahu Vinny membuat tangis perempuan itu ikut larut juga yang mana sudah mati-matian ia tahan sedari tadi.

•••

Shani menahan lengan Vinny saat perempuan itu hendak keluar dari mobil. "Aku belum siap, Kak," ucap Shani dengan air mata yang belum juga mau berhenti.

"Ini ngga seburuk yang ada di fikiran kamu. Dia baik-baik aja. Akan lebih baik kalo dia melihat kamu ... tapi tidak dengan keadaan kayak gini. Semakin kamu terlhiat baik, itu akan semakin bikin dia lebih baik. Jangan kacau ya?" Vinny mensugesti Shani. Jujur saja ini sulit juga untuk Vinny pada awalnya hanya saja dia sudah berada di fase terbiasa. Vinny sadar betul ini tidak adil untuk Shani.

"Yuk?" Ajak Vinny lagi sembari ia memastikan.

Shani mengangguk dengan ketidaksiapan. Menyeka air di bawah matanya, menepuk-nepuk pipi basah itu upaya membuat dirinya lebih baik. Lagi, ia bercermin di spion memastikan kondisi dirinya sudah cukup layak atau tidak untuk bertemu Gracia.

"Always cantiik," goda Vinny.

"Ngga gitu, Kak. Katanya gaboleh kacau?"

Vinny tersenyum lega medapati reaksi Shani.

•••
Sebetulnya rumah sakit sudah cukup akrab bagi dirinya sebelumnya. Kemelut suara sirine, emergency strecher, koridor tak berujung dan penuh sesak dimana banyak sekali darah, cinta dan ketakutan di sana, tempat tidur putih bersih, ruang mencekam dan keheningan. Betul, Shani sudah biasa dengan semuanya.

Tapi entah kenapa kadatangannya kali ini rasanya menjadi beda sekali. Kepalanya penuh akan segala duka dan kekhawatiran. Beragam hal-hal buruk menghantuinya.

Keluar dari lift, Shani mati-matian mengontrol suasana hatinya. Mengabaikan senyum-senyum getir itu menyapa dirinya. Termasuk senyum wanita paruh baya yang sudah lama sekali ia anggap seperti ibu, juga sapa laki-laki yang hampir enam tahun ini berstatus suaminya. 'Dari sekian banyak orang yg dekat dg kamu, kenapa hanya aku yang tidak tahu, Ge?' Shani membatin perih. Kepalanya serasa digodam, ia ingin sekali berteriak kencang melepas semua sesak yang ada di dadanya. Shani bingung siapa yang harus ia benci sekarang. Gracia? Orang-orang yang turut merahasiakan? Atau justru dia harus membenci kebodohan dirinya sendiri?

Shani luruh di lantai dingin, kakinya tidak lagi mampu menopang beban tubuh ringkih dirinya itu. Segera perempuan lima puluh tahunan menghambur, membawa Shani kedalam pelukkannya. "Sayang, Gracia baik-baik aja, Nak" Mama kesayangan Gracia itu menguatkan. Padahal ia pun sama rapuhnya atau bahkan lebih mungkin.

Shani mengeratkan pelukkan mencari kekuatan, "Tant..." Shani semakin larut, elusan lembut Mama Gracia dipunggungnya membuat ia semakin hancur. Ruang tunggu yang awalnya hening menjadi riuh akan duka dan tangisan. Tangisan saling menguatkan.

Lil'sistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang