"Selagi aku bicara, Cici jangan memotong, jangan marah, jangan protes. Dengerin aja. Setelahnya, Cici boleh maki aku sesuka Cici. Bahkan Cici mau benci aku sekalipun aku terima. Silakan hukum aku dengn hal paling sakit dari yang pernah kamu terima selama ini karena aku."Shani menggeleng nyeri. Takut akan segala kemungkinan pahit yang akan terjadi setelah ini. Takut fakta yang ia terima langsung dari Gracia akan semakin menyakitinya. Takut itu akan membuatnya benci pada adik kesayangannya.
Fakta tentang kanker dan Anin sudah cukup membuatnya murka. Shani tidak ingin mendengar fakta lain yang akan semakin mengundang kebencian lain pada Gracia. Tidak ingin mengotori perasaan berharganya pada perempuan itu. Ingin selamanya sayang, tidak ada perasaan lain.
"Ge, kalo aja aku mau, aku akan tahu segalanya tanpa kamu beri tahu." Shani tidak perduli ruls yang diminta Gracia. Ia berbicara bahkan ketika adik kesangannya itu belum mulai berbicara.
"Aku lima tahun ini berperan menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa hanya karena takut benci sama kamu. Menutup rapat segala informasi apapun dari siapapun soal kamu."
Betul, dan satu-satunya fakta paling ia sesali adalah tentang sakit yang Gracia derita. Ia benci dirinya sendiri soal itu. Penyesalan yang sekarang sedang mati-matian ia berusaha menebusnya.
Gracia beringsut, "Kamu naik sini lah, Ci. Sambil boboan aja kita debatnya. Biar kalo kamu mulai emosi bisa langsung aku peluk," katanya upaya mencairkan suasana yang mulai menegang.
Perasaan yang hampir menjadi dingin itu secepat kilat menghangat lagi. Shani kembali dibuat luluh lagi. Murahan sekali tapi tak apa, bahkan sampai sekarang ia tak pernah keberatan soal ini. Meski sesekali sambil dirutuki.
Shani beranjak naik ke sofa saat Gracia mulai merebahkan dirinya. "Aku yang di belakang ngga sih biasanya?" Cici kesayangan Gracia itu protes.
"Kan kali ini aku yang mau peluk kamu," sanggah Gracia tak mau kalah.
"Kan di pinggir juga bisa sambil peluk? Emang kamu mau membelakangi aku?" kata Shani sama keras kepalanya.
Ah, okey. Gracia bahkan tidak kepikiran soal itu.
"Iya juga ya hahaha." Gracia mentertawakan kebodohan dirinya sendiri karna kedistrack kata 'belakang' yg Shani katakan barusan.
Keduanya mulai mengambil posisi masing-masing. Shani mepet sandaran sofa, sementara Gracia di bagian tepi. Seperti biasanya.
Perempuan itu merentangkan tangan sebelah kanannya untuk menjadi bantalan Gracia. Membawa bayi besarnya itu ke dalam dekapannya.
"Lets sleep now!" ajak Shani bercanda sesaat setelah ia mulai nyaman akan keberadaan Gracia di pelukannya.
Sementara Gracia memicingkan mata, "Ngga gitu tadi konsepnya! Malah ngajak bobo!" protes bayi besar itu bersungut-sungut. Mengundang tawa Shani yang sekaligus membuat semakin hangat suasana.
Tingkah lucu Gracia benar-benar kelemahan Shani. Ia menciumi gemas pucuk kepala kasayangannya itu berkali-kali. "Iya iyaaa. Mau gimana tadi konsepnya?" Perempuan itu merayu.
Dua menit, lima menit. Gracia masih tidak bersuara. "Hey!"
Tak juga menggubris. Gracia terlanjur tenggelam akan aroma tubuh Cici kesayangannya. Special therapy, Gracia selalu dibuat tenang setiap kali mencium wangi tubuh Shani.
"Cici kenapa mau menikah sama Ko Kevin?" Tiba-tiba perempuan itu kembali bersuara ketika Shani mulai hening. Berusaha keras nyembunyikan desiran halus di sekujur badannya saat Gracia menciumi kecil area tulang selangka milik dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
Fiction généraleBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...