First insiden

2.7K 202 1
                                        



"Geee?" Shani masih saja berusaha.

"Ci udah ... aku ngantuk."

Shani nyerah, ia melepas pelukkannya dari Gracia. Mengambil napas panjang meredam sesak di ulu hati. Tidurnya kini terlentang menatap plafon kamar masa lajangnya yang baru ia sadar ternyata sudah lama sekali tidak lagi ia tinggali. Terakhir kali tidur di kamar ini adalah bersama Gracia sebelum ia pulang ke Jogja untuk pesta pernikahan. Setelahnya, ia tinggal di apartement elite hadiah pernikahan dari Kevin.

Seulas senyum itu terbit, memorinya kembali ke waktu di mana ia masih sering menghabiskan malam bersama Gracia. Tidak ada kegiatan special waktu itu, hanya mengobrol random. Deeptalkpun hanya sesekali. Sisanya makan atau bermain permainan jadul koleksi Shani. Bahkan tak jarang hanya sekadar rangka Gracia menumpang tidur, setelahnya berpisah kembali di pagi hari tanpa ada bincang samasekali. Tapi entah kenapa moment-moment seperti itu yang  sangat Shani rindukan setiap hari. Tanpa alpa, tanpa jeda.

Bahkan Shani tak menyangka akan kembali menemukan malam serupa. Tidur di kamar yang sama, dengan orang yang sama pula. Rasanya seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan.

Perempuan yang masih asik mengenang masalalu itu dibuat terperanjat saat tiba-tiba Gracia turun dari tempat tidur berlari ke kamar mandi.

"Gee?" Shani mengetuk pintu itu berkali-kali. "Kamu gapapa? Aku masuk ya?"

Shani panik menggedor-gedor pintu itu tak sabaran mendengar Gracia memuntahkan isi perutnya di dalam sana. "Buka, Geee! Gracia!"

Saat kesabarannya berada di puncak, mata Shani otomatis tertuju pada sumber ceklilan handle pintu. Sedikit lega saat melihat Gracia keluar dari kamar mandi. Secepat kilat perempuan itu membawa Gracianya kedalam pelukan. "Kepalanya sakit? Aku telpon Marco yaa?"

"Ci aku gabisa berdiri lama ini kayaknya." Kode Gracia.

"Oh oke iya maaf." Segera Shani melepas pelukannya, membawa Gracia duduk di sisi tempat tidur. Sementara ia sendiri berlutut diantara kaki Gracia. Menggenggam erat kedua tangan itu dipangkuan adik kesayangannya. "How do you feel? Ayo ngadu ke aku." Air mata keduanya lolos menyerbu dua pasang tangan yang sedang saling genggam di pangkuan.

"Ci?"

"Iyaa? Aku di sini," sahut Shani lembut sekali.

"Kalo ternyata sebenarnya aku ga sakit, kamu akan menyesal ngga pernah ngelakuin ini ke aku? Bakal kamu tarik kembali ngga pernyataan-pernyataan kamu itu?"

Shani menggeleng yakin. "Itu adalah  harapan besar yang sedang aku upayakan. Perpisahan kita waktu itu, sakit kamu, aku selalu berharap kalo ini semua hanya mimpi buruk di tidur panjang aku. Tapi kalo ini bukan mimpi, aku tidak akan pernah menyesal samasekali, sedikitpun."

Gracia tertawa remeh, "Padahal aslinya ini tak lebih dari skedar belas kasihan kan, Ci?"

"Ge apa sih?!"

"Faktanya memang seperi itu, Ci. Kamu ini sedang mengasihani orang yang harinya sudah bisa dihitung jari. Entah itu sore atau pagi. Iya?"

Shani memejamkan matanya kuat Membenamkan wajahnya dipangkuan Gracia diantara kedua pasang tangan itu. Ia bahkan lupa gimana caranya mengambil napas. Tak menyangka akan kata-kata yang keluar dari bibir adik kesayangannya. Shani kelabakan mengais sisa kesabaran

Merasa cukup, perempuan yang  tengah tercabik perasaannya itu mendongak menatap nanar manik mata perempuan favoritnya. "Kenapa pikirannya jahat banget gitu sih?"

"Kamu kalo ga dapet izin Ko Kevin juga kita ga akan pernah ada di sini. Kalian-kalian itu hanya sedang mengasihani aku .... termasuk kamu, Ci!"

"Cukup, Ge, stop!"

Lil'sistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang