Latter

2.9K 237 2
                                    



Aku Gracia, Demi apapun dipertemukan dengan kamu adalah anugerah yang tidak  akan bisa dikalkulasi nilainya dengan angka. Sebab hampir seluruh bahagiaku, selalu kamu jadi alasannya.

Betul, manusia setengah bidadari itu kamu ... Shani Indira. Memilikimu rasanya sudah tidak lagi menginginkan hal lain di dunia. Semua ada pada kamu. Bahasa cinta seluruhnya dimiliki kamu. Aku tumbuh, utuh bersamamu.

Ci, aku tidak tahu ini akan sampai ke kamu atau tidak. Aku terlalu naif naif mengatakannya langsung ke kamu. Dan jika ini sampai ke kamu, aku cuma mau kamu tahu ... hari-hari yang aku habiskan bersama kamu, tidak ingin ada kata selesai di dalamnya. Aku mau kamu selamanya. Tidak ingin perpisahan menyapa kita.

Ci, aku juga tidak tahu sejak kapan perasaan aku mulai rancu ke kamu. Mungkin saat kamu meminta izin menikah tapi aku masih denial waktu itu. Dimana setelahnya baru aku sadar ternyata melepas kamu dengan setengah ketidakrelaan jujur saja menyakiti aku. Tapi bahagiamu bahagiaku.

Ci, hari dimana aku melihat kamu berjalan di altar memakai gaun putih ... jangan tanya perasaan aku saat itu. Rasanya seperti sedang melihat kamu tengah merayakan pesta perpisahan dengan aku. Perpisahan yang tidak akan ada kata 'kembali' sama sekali. Karna bukan lagi jarak jadi alasannya kali ini. Sepertinya itu akan jadi perpisahan paling lama. Mungkin lebih lama dari selamanya, lebih jauh dari kata jauh itu sendiri.

Untuk semua hal-hal yang sudah kita lalui bersama, aku ingin berterima kasih untuk kesempatan mengenalmu. Menjadi bagian kecil di hidup kamu.

And my last request before the chapter closed ... setelah tidak ada lagi kata kita diantara kamu dan aku, bahagia yang banyak ya Ci. Syukuri apa yang sedang kamu miliki, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, makan makanan enak yang kamu suka, dan jalani semuanya dengan penuh cinta dan suka cita. Aku akan selalu sayang kamu meski temu sudah tidak seperti dulu.'

Shani meremas ujung kertas yang bertuliskan tangan Gracia. Kesabarannya sudah benar-benar terkikis kali ini. Gimana bisa dia seceroboh itu? Mendapti pangkuan Gracia berubah menjadi pangkuan Vieny jelas sangat menyakiti Shani. Dan ini menjadi alasan kenapa dirinya selau terjaga setiap kali tidur bersama Gracia. Ia akan tidur terakhir setelah memastikan Gracia dahulu dan akan bangun lebih awal. Selalu seperti itu.

Mengabaikan Vieny, Shani kalang kabut menyusuri setiap sudut ruang dimana  selama satu minggu lebih full ia habiskan bersama Gracia. Ke balkon, ruang menonton, perpus, kamar mandi. Ia memanggil nama adik kesayangan berharap mendapat sahutan seperti biasanya. Tidak, hanya ada bayangan juga wangi parfume saja yg Gracia tinggal di setiap sudutnya. Sementara langkah frustasi Shani tertuju ke kamarnya, "Ge, kamu lanjut bobo di kamar ya? Kok ga bangunin aku juga sih?"

Tidak ada, hanya ada Kenzo saja di sana. Ketakutan Shani setelah beberapa hari ini dipertemukan kembali dengan Gracia menjadi nyata. Hari ini ia kembali kehilangan adik kesayangannya.

Shani duduk lesu dibawah tempat tidur dimana anak kesayangannya masih lelap di sana. Bersandar di sisi bed, shani memeluk lutut selagi menelungkupkan wajahnya. Demi apapun menangis tanpa suara sungguh menguras sekali energinya yang mana separuhnya sudah lebih dulu dibawa pergi Gracia.

Belum selesai dengan derainya, Shani berbalik ke arah Kenzo. Ia meraih lengan mungil itu. Ciuman lembut Shani menghujani lengan anak semata wayangnya. "Aunty Gege nggga pamit kamu juga ya Sayang?" Shani mengadu.

Sementara di ambang pintu sana Vieny sudah tidak lagi kuasa melangkahkan kakinya. Perasaan bersalah seolah menahan langkahnya untuk mendekat.

Namun sekuat tenaga langkah itu ia ayun. Vieny berlutut persis di sebelah Shani selagi tangnnya mengelus bahu perempuan itu. "Maafin aku ya, Shan. Kalo aja aku ga egois paksa hubungan kamu sama Kevin, mungkin ga akan gini jadinya," kata Vinny dengan rasa bersalah memenuhi kepalanya.

Shani menoleh ke arah suara dimana sudah ada Vinny dengan kondisi yang sama kacau dengan dirinya. Mendapati mata merah dan pipi basah milik Vinny, Shani menghambur, tangisnya semakin jadi dipelukkanVinny, "Enggak, kak ..." Gelengan kepala Shani di bahunya membuat rasa bersalah itu terus bertambah, "aku sama Gracia memang sudah rumit sedari awal. Jangan jadikan Kevin alasan rasa bersalah kamu. Dengan atau tanpa keterlibatan Kevin diantara aku sama Gracia, jalannya akan tetap sama, Kak." Lanjutnya lagi.

Tangis Vinny semakin jadi mendapati pernyataan Shani. Sifat adiknya yang tak gampang menyalahkan, pemaklumannya yang selalu luas bukan justru menenangkannya tapi malah sebaliknya, rasa bersalah Viny semakin bertambah berkali lipat, dengan permohonan maaf yang mungkin sudah sangat terlambat.

"Kayaknya ini akan jadi pemakluman terakhir kamu ke aku, Shan," kata Vinny, disahut gelengan shani dipelukkannya.

Keduanya saling mengeratkan pelukkan, sama-sama mencari kekuatan. Shani sekuat tenaga mencoba menerima kenyataan, sementara Vinny sibuk mencari cara gimana menyampaikan fakta menyakitkan pada adik kesayangan.

Tidak, satu-satunya kenyataan yang akan Shani terima hanyalah keberadaan Gracia lagi. Begitu juga Vinny, menyakiti Shani adalah hal yang samasekali tidak ingin ia ulang dua kali.

Sementara dering telepon Shani di atas nakas mengalihkan fokus keduanya. Secepat kilat perempuan itu mengambilnya berharap bahwa dering itu berasal dari Gracia.

Betul, hati Shani membuncah demi melihat nama favorite di layar handphonenya. Ia kembali luluh, luruh sekejap segala amarah "Haiii," sapa Gracia saat sambungan video call itu terhubung

Beberapa menit Gracia diabaikan. Sapanya tak mendapat balasan. Sementara penampakan Gracia semakin buram di layar handphone Shani. Bukan jaringan internet yang buruk, tapi bulir air di segala sisi mata Shani adalah penyebabnya.

"Kamu marah sama aku, ya?"

Setetes air mata Shani jatuh, disusul serbuan bulir lain menghujani gawainya di mana masih ada Gracia yang masih setia menunggu atensi Cici kesayangannya.

"Kamu di mana? Ngapain?" Akhirnya Shani bersuara. Sementara tangan kirinya sibuk menyeka air mata di pipi basahnya.

"Aku di hotel, Ci. Butuh banget istirahat ini kayaknya heheh," jawab Gracia asal padahal sebelum menelpon, ia sudah menebak pertanyaan Shani dan dia sudah menyiapkan jawaban untuk itu. Ternyata buyar, hilang semua kata di kepalanya.

"Tempat aku ga cukup nyaman ya buat kamu istirahat? Kenapa lebih memilih tempat yang lain? Balik ke tempat aku lagi, ya?" Shani mulai tak bisa mengontrol tangisnya. Ia tak rela melihat adik kesayangannya berada di tempat itu.

Shani tak bisa membayangkan kenyataan lebih buruk dari apa yg dia takutkan selama ini. Tidak mau ini menjadi lebih dari sekadar kehilangan.

"Bahkan lebih dari nyaman, Ci. Aku cuma butuh suasana lain aja."

"Sejak kapan kamu akrab sama suasana seperti itu?" Suara Shani mulai nyaris tak jelas. Sesak di dadanya menelan setengah suaranya.

"Tiga tahun kayaknya." Suara Gracia sama paraunya.

Shani tak lagi memiliki kata-kata, ia kembali menoleh ke arah Vinny, "kak, ini kalian ga lagi bodoh-bodohi aku kan?" Shani sesenggukan.

Vinny hanya menggeleng tak punya jawaban. Fakta yg akan Shani terima dari dirinya jelas akan sangat menyakitkan. Vinny tak ingin jadi perantara rasa sakit Shani lagi.

Shani bangkit berdiri, lembut sekali ibu beranak satu itu membangunkan Kenzo yang masih damai dibuai mimpi.

Setelah selesai dengan anak kesayangannya, Shani menyiapkan keperluan pergi Kenzo. Dari susu hingga baju ganti sudah rapi di travel bag milik Kenzo.

"Kamu mau bareng aku atau kita pergi sendiri-sendiri?" tanya Shani dingin sekali pada Vinny. Dan ini kali pertama ia mendapati Shani seperti ini. Khawatir, takut dan rasa bersalah semakin menambah kekalutan Vinny. Ia paham betul tempat yang akan dituju Shani.

Lil'sistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang