"How do u feel?" tanya Indy saat mobil itu mulai melaju.Gracia menggeleng kosong. Ia seperti tidak lagi memiliki energi untuk menanggapi Indy.
Mendapati itu, Indy berdecak iba. Melihat Gracia berkali-kali menyeka air mata demi apapun sakitnya menular ke dirinya juga.
"Kenapa minta pulang sementara hati Lo, Lo tinggal di sana?"
tanya Indy lagi dan Gracia masih enggan menggubrisnya.
"Mau gue putar balik?"
"Ngga, Ndy jangan,"
Indy menepikan mobilnya di bahu jalan. Merentangkan kedua tangan, disambut Gracia menghambur ke pelukkannya. Di pelukan Indy, Gracia menangis sejadi-jadinya sementara ia bingung atas dasar alasan apa bisa sebegini sakit rasanya.
Indy mengelus punggung sahabatnya yang tiba-tiba menjadi terlihat lebih rapuh dari biasanya.
Gracia masih sibuk dengan isakan di pelukkan Indy, dan tak sepatah katapun keluar dari dirinya.
Indy membiarkan Gracia puas akan emosinya, sampai tangis itu reda, hingga sakit itu sirna meski mustahil sekali rasanya.
"Gue di sini, Ge." Dan Gracia semakin berguncang di pelukkan. Tau kan rasanya dikuatkan? Perihnya malah menjadi berkali lipat rasanya.
"Sorry ya, Ndy?" Suara Gracia mulai bergetar.
"Gue ngerti, Gre. Jangan sakit sendirian ya? Lo punya gue, lo punya kita yang sayang banget sama lo. Jangan lepas pelukkan lo kalo belum merasa lega. Keluarkan semuanya. Waktu gue buat lo. Lo minta satu jam lagi, dua jam, seminggu, seumur hidup sekalipun, silakan."
Mendengar pernyataan panjang lebar sahabatnya, Gracia tersenyum miring ditengah isakkan. Ia melepas pelukan, menatap intens mata Indy, "demi Tuhan ini sakit banget, Ndy. Ga sanggup gue kalo harus sampe seumur hidup." Gracia bercanda, dengan intonasi serius.
"Yang gue maksud itu keberadaan gue, waktu gue. Bukan pesakitan Lo, bodoh!" Sementara tawa berderai diantara keduanya.
"Gimana? Udah legaan?"
Gracia menggeleng kecil.
"Didada gue kayak ada betonnya, Ndy. Ga bisa napas. Berat banget," adu Gracia pada Indy dengan intonasi seolah ia mengadu pada Shani.
"Tarik napas, hembuskan. Lakuin itu pelan-pelan sampe lo legaan. Coba." Indy mengintruksi.
Gracia manut, ia menarik napasnya dalam-dalam sementara titik-titik air berjatuhan di mata kiri dan kanan membanjiri kedua pipi lucunya.
Semakin dalam napas yang Gracia tarik, semakin deras air mata sedangkan itu di luar kendalinya.
Indy membawa kembali Gracia ke dalam pelukkannya, "Gapapa gapapa," kata Indy lagi sembari tangannya mengelus lembut punggung perempuan didekapannya itu. Bisa dibiliang, seumur Indy mengenal dekat Gracia, ini kali pertama ia mendapati Sahabatnya serapuh ini.
••••
"Ayok!" Ajak Indy selagi ia melepas seatbelt milik dirinya.
"Lo turun, kita selesai." Ancam perempuan lain di kursi penumpang.
"Selesai selesai! Urusan lo noh ga selesai selesai!" Indy yang sedari tadi sempat menjelma menyenangkan, kini kembali menyebalkan.
Indy membuka kaca mobil bagian Gracia, di mana sudah ada perempuan menawan dengan senyum khas bidadari menyapa keduanya. Cantik sekali meski matanya tak kalah sembab dengan mata milik Gracia. "Hadeh!" Batin Indy melihat kondisi kedua sahabatnya. Wajah Shani dan Gracia berantakan, sudah barang pasti hatinya tak kalah kacau juga di dalam sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil'sist
General FictionBersama Shani, adalah jenis hubungan paling Gracia suka. Menemukan sosok saudara perempuan yang tidak ia miliki di rumah rasanya seperti ini adalah berkat dari betapa baiknya Tuhan kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Memiliki Gracia di hidupnya...