Namanya gang buntu. Aku tinggal di sana.
Di rumah paling pojok dengan pagar besi setinggi satu meter yang dicat warna hitam beberapa hari sebelum lebaran tahun ini. Rumah dengan tiga kayu besar tempat Ibu memajang tanaman anggreknya yang mahal dan beraneka warna. Rumah paling pojok bersebelahan dengan tembok batu raksasa yang menutup jalan tikus di gang ini. Keberadaan tembok itulah yang menjadikan nama gang ini sebagai gang buntu.
Saat kecil, aku sering memandangi tembok itu. Kepala masa kanak-kanakku sempat berpikir kalau rumahku berada di ujung dunia. Seperti rumah terakhir yang ada di perbatasan Bumi. Tembok ini adalah buktinya. Di luar tembok adalah dunia yang tidak pernah dijelajahi atau ditemukan. Seperti misteri yang amat seru. Ibu bilang aku tidak boleh mengintip lubang yang ada di tembok atau berusaha memanjatnya. Kata Ibu saat itu, "Dunianya berbeda."
Kukira "dunia yang berbeda" itu artinya dunia alien atau dinosaurus.
Usiaku sepuluh tahun saat lubang di tembok itu membesar. Tidak besar seperti lubang yang bisa dilewati dengan mudah, tapi besar seperti bisa meloloskan wajah anak kecil di sana. Usiaku sepuluh tahun saat aku sedang menyirami tanaman Ibu sore itu dan menemukan wajah anak kecil di lubang tembok. Menyembul seperti hantu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, menemukanku, dan berteriak kencang.
Aku juga berteriak tak kalah kencang. Justru aku jatuh dengan selang yang kupegang. Air yang mengucur dari selang menyiram badanku. Tanah jadi lembek, becek. Celana yang kupakai langsung kotor.
Dari balik tembok, suara tangis terdengar kencang. Ada juga suara-suara yang lain.
"Jangan nangis, dong! Cengeng amat!" kata satu suara. Perempuan.
"Bel, kayaknya kita nggak usah di sini," sahut suara yang lain.
"Kita ngapain sih di sini?" gerutu yang satunya.
"Ayo pulang."
Aku tahu kalau hantu tidaklah memakan orang. Hantu juga tidak akan menyakiti orang. Apa yang diperlihatkan di film-film dan diceritakan di buku itu salah. Hantu cuma seram, tapi tidak akan bisa melakukan apa pun pada orang yang masih hidup. Jadi aku tidak perlu takut. Begitulah kata guru mengajiku dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...