055

1.1K 188 30
                                    

Setelah semua percakapan antara Fatah dan yang lainnya tadi, Devon merasa kebingungan. Dia masih duduk bersandar pada tubuh Arson yang sejak tadi setia di sampingnya, memberikan rasa aman di tengah semua yang terjadi.

Devon ingat dengan jelas alasan kenapa Alter dibentuk, tapi dia tak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Bahkan, tidak pernah terpikir olehnya untuk bekerja sama dengan Sinister begini.

Jujur saja ketika tadi Fatah bertanya kenapa Devon mau jadi ketua, dia sendiri juga tidak punya alasan yang pasti. Awalnya, dia pikir menjadi ketua itu keren, tapi ternyata menjadi ketua itu lebih sulit daripada yang dia bayangkan. Nyatanya, ini bukan hanya soal keren, ini tentang tanggung jawab, dan Devon merasa kewalahan dengan semua beban yang kini ada di pundaknya.

Devon mengingat ketika tadi Noval meledak marah saat membicarakan Sagara yang katanya membunuh Banu. Devon bisa mengerti kenapa Noval bersikap begitu, tapi dia juga tidak terlalu yakin kalau Sagara yang benar-benar membunuh teman mereka. Fatah dan Sultan juga bilang mungkin saja mereka dibohongi, tapi yang lebih berat dari itu, Devon mulai meragukan apakah semua keputusan yang diambil Alter selama adalah hal yang benar.

Hingga keputusan akhirnya, Fatah bilang kalau Alter tidak perlu dibubarkan, tapi juga tidak boleh aktif untuk sementara. Devon menerima keputusan itu, tapi sekarang dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan semua ini kepada anggota Alter lainnya.

"Hei, kenapa diem aja?" Devon tersentak kecil saat Arson mengelus lembut pipi kanannya. Dia mendongak, menatap wajah Arson yang juga sedang menatapnya penuh perhatian. "Kenapa, sayang?" Arson bertanya lagi dengan suaranya yang selalu terdengar lembut.

"Kenapa ya jadi gini?" lirih Devon. Matanya yang bulat kini tampak sendu, memancarkan penyesalan.

Arson tersenyum simpati, mengangkat tangan untuk mengelus pucuk kepala Devon. "Yang udah terjadi biarin terjadi. Kita gak bisa ngerubah masa lalu juga, kan? Yang penting sekarang kita selesaikan masalah ini dulu, ya?"

Devon hanya mengangguk kecil. "Iya..."

Tiba-tiba, suara lembut Vico menyapa mereka. "Devon, haloo! Ih, kamu kenapa gak mam? Ayo sini mam, ini aku yang masak, tau" ajaknya.

"Iya makan yuk, sayang," kata Arson ikut membujuk.

Seperti biasa, Devon tidak langsung merespon. Dia menatap bergantian antara Vico dan Arson dengan mata bulatnya. "Emm... Emangnya boleh makan di sini?" tanyanya ragu.

"Boleh lah!" Bukan Vico ataupun Arson, melainkan Fatah yang menjawab pertanyaan itu.

Ketua Sinister itu mendekat pada mereka bertiga yang sedari tadi hanya duduk. "Gua marah ya kalau kalian ke sini, tapi nggak makan! Ayo, buruan ambil makannya! Enak tuh Vico masak," katanya dengan wajah galak, tapi di balik itu tersirat nada perhatian.

Kemudian Fatah berpaling, melihat ke dua orang lainnya yang juga hanya duduk diam selagi yang lainnya mengambil makan. "Itu juga Noval sama Yasa, kenapa gak ngambil makan sih? Aish..." desisnya kesal. "Buruan, ambil makan, sana!"

Devon terkikik kecil melihat Fatah sudah seperti ibu yang memarahi anak nakalnya. Terlihat seperti induk itik, ketika banyak yang mengikuti kemana pun dia pergi. Terutama satu cowok yang sedikitpun tidak pernah lepas dari sisi Fatah, membuat ketiga anggota Alter itu penasaran.

Noval bergeser mendekat, lalu menyikut Arson pelan. "Geng lo emang gini ya?"

"Gini gimana?" Arson mengernyit, bingung dengan pertanyaan Noval itu.

"Ya gini. Itu ketua lo ditempelin terus sama cowok yang tinggi itu. Terus teman lo yang itu berisik banget, kaya lagi pdkt," Noval menunjuk Fatah yang terus diikuti oleh Gilang, kemudian beralih pada Sultan dan Rian yang seperti biasa selalu berdebat tentang hal yang tidak penting. "Apalagi yang itu, dari tadi ngeliatin lo mulu," tunjuknya pada cowok yang sedari tadi memperhatikan Vico.

Arson mengedarkan pandangannya mengikuti arah yang Noval tunjuk, dua diantaranya dia sudah maklum, tapi yang terakhir membuat dia merasa heran. "Siapa tuh orang?" tanyanya pada Vico.

"Itu Argam, temennya bang Gilang," jawab Vico sambil ikut menengok.

"Kenapa ngeliatin lo mulu gitu? Lu ada masalah sama dia?" Arson kembali bertanya, memperlihatkan sikap protektifnya. Sebab di Sinister mereka terbiasa menganggap Vico sebagai adik bungsu yang harus dilindungi karena umurnya yang lebih muda dibanding yang lain. Itu juga lah yang membuat Arson tanpa sadar bersikap begini.

Vico menghela napasnya. "Aman kok. Sebentar ya, aku kesana dulu." Dia kemudian berdiri dan menghampiri Argam yang duduk di sudut lain.

Mata Arson semakin memicing mengamati mereka. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi jelas terlihat kalau gerak-gerik Argam seperti sedang berusaha mendekati Vico.

"Wah, di pepet tuh teman lo, Son," Noval kembali menyikut Arson, mengompori.

"Sstt... Diem ah, Pal!" Yasa membekap mulut kekasihnya, lalu langsung menariknya dalam dekapan erat. Mencegah cowok itu bicara lebih banyak.

"Anjrit!!" pekikan tertahan mengejutkan mereka dari arah belakang, membuat semua menoleh.

Seketika, Arson langsung menghela napas berat sambil memejamkan mata sejenak saat melihat pelakunya adalah Sultan. Sudah hapal sekali apa yang akan terjadi berikutnya.

"Woyy, kalian ngapain peluk-pelukan gitu, anjir? Ini lagi pangku-pangkuan, aduh, tolong aba-aba dulu lah, jantung gua nggak siap ini dapet asupan mendadak gini!!" Sultan menjerit riang.

Reaksi Sultan itu sesuai dengan yang Arson perkirakan. Selalu seperti itu, jika berada di dekat Sultan maka jangan pernah mengharapkan ketenangan.

"Berisik!" Suara dua orang bergema menyatu. Satu suara berasal dari Noval yang tidak tahan dengan ocehan Sultan, sedangkan satunya sudah pasti dari Rian.

"Ih sewot amat lo, dasar uke!" Sultan balas menyahuti Noval dan mengabaikan Rian.

Tidak terima diejek, Noval memberontak, melepaskan diri dari dekapan Yasa, lalu menatap Sultan sinis dari atas hingga bawah. "Gak pernah ngaca ya lo? Lo tuh yang kaya uke," balasnya.

Sultan tidak tersinggung sama sekali. Dia justru bereaksi terkejut mendapati ada orang yang mengerti bahasa yang dia gunakan. "Lo?? ANJIR FUDAN JUGA KAH? Atau gay?" tanyanya, mengubah intonasi suara di pertanyaan terakhir.

Noval merotasi matanya. "Dua-duanya. Kenapa?" jawabnya sinis.

Sultan langsung memekik kegirangan. Dia bahkan jingkrak-jingkrak sendiri karena senang menemukan teman yang menurutnya sefrekuensi.

"Lo tuh kenapa?" tanya Noval kebingungan menatap Sultan.

"Maklumin aja ya, dia emang gitu" kata Arson yang merasa malu sendiri dengan kelakuan temannya.

"Etss-sstt stt... udah ini mah kita langsung aja hunting asupan gak sih? Lu sukanya apaan aja? Gua sih lebih suka baca manhwa bl gitu sih daripada noton series," kata Sultan sambil menarik tangan Noval agar duduk di dekatnya.

Noval melotot terkejut ke arah Sultan, memandangnya dengan tatapan aneh. "Bisa-bisanya lo gak nonton series bl?? Fudan gadungan lo!"

"Heh! Sembarangan banget cocot lu, gua nih rill fudan. Series mah masih gua nonton kalau ceritanya bagus."

"Coba apa aja series yang lo tonton? Paling juga cuman kaleng-kaleng."

Begitu lah percakapan keduanya terus berlangsung, mengabaikan sekitarnya yang tidak mengerti dengan bahasa aneh yang mereka gunakan. Sultan dan Noval terlalu asik dalam dunia mereka, tanpa menyadari bahwa dibalik itu ada dua pasang mata yang terus menatap ke arah mereka dengan hati yang panas.

"Sayang, ayo kita ambil makan aja. Mau banyak apa sedikit makannya?" tanya Arson sambil mengandeng pergelangan tangan Devon agar bangkit mengikutinya.

"Emm... sedikit aja, apa boleh?" tanyanya ragu-ragu.

"Boleh sayang, tapi nanti kalau rasanya enak, nambah lagi juga gak papa, oke?"

"Okeii!" jawab Devon sambil tersenyum manis.

Arson terkekeh gemas mendengar nada riang yang keluar dari mulut Devon. Tidak bisa menahan diri, untuk mengusap pucuk kepala pacarnya itu.

___________________
Yg mungkin bingung atau lupa soal apa yg mereka bahas di markas Sinister ini, bisa baca cerita Be Mine dulu chapter 015 yaa

Secret InnocenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang