10

33 6 0
                                    

     

Vote terlebih dahulu 😴

Mataku tidak lepas memandangi rumah yang ada di hadapanku sekarang.

"Ini rumah siapa? " tanyaku, masih fokus memandang rumah tersebut.

Aku tidak mengerti kenapa Bunda dan Ayah membawaku kesini.

Ayah terseyum sembari mengelus ramputku.

"Rumah kita"jawab Ayah.

"Rumah kita? " ulang ku.

Mungkinkah rumah yang di hadapanku ini adalah rumah kami. Entah mengapa aku tidak mempercayain ucapan ayah.

Tidak mungkin kami memiliki rumah sebesar ini. Aku tidak lupa jika kami bukanlah orang dari kelas atas.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku merasa semua yang aku alami saat ini sangatlah aneh.

Apa ini hanya mimpiku saja. Tapi
Jika ini mimpi mengapa sangat nyata, dan jika ini nyata kenapa seperti mimpi bagiku.

Apa mungkin kalung yang melingkar di leherku ini membawaku ke dunia lain, atau mungkin dimensi lain?.

Konyol.

Tapi itulah yang ada dipikiranku saat ini.

"Iya sayang, ini rumah kita. Yuk masuk!" ajak Bunda padaku sambil menarik tanganku.

Kakiku masih rangu untuk melangkah, hingga suara Ayah kembali meyakinkanku.

"Gak mungkin Ra, Papa bawa kamu ke rumah orang" Kata ayah terkekeh.

Sepertinya ayah melihat keraguan dalam diriku. Jika aku tidak begitu percaya dengan perkataannya.

Kaki ku mulai melangkah memasuki gerbang rumah yang ada dihadpanku ini. Tetapi langkahku segera terhenti ketika mendengar perkataan Bunda.

"Kamu pake kursi roda aja Ra, nanti kamu capek"

"Gak usah Bunda kaki Aeera udah bisa jalan kok "

"Enggak sayang, kamu pake kursi roda aja" kata Bunda padaku.

Aku menghelai nafas, lalu menggauk pada Bunda.

Rasanya aneh menaiki kursi roda ini, mungkin ini yang di rasakan kak Angkasa dulu.

Perlahan kursi roda yang aku duduki mulai berjalan di dorong oleh Ayah.

"Ini betul kan rumah kita, kita gak salah rumahkan Ayah? " tanyaku memastikan,  aku masih tidak yakin jika rumah ini adalah rumah kami.

Aku tidak tau apa pekerja orang tuaku sekarang hinggar mereka memiliki rumah sebesar ini.

"Enggak sayang" Jawaban itu datang dari Bunda. Aku mendengar Ayah yang terkekeh kembali. Aku tidak salah kan, aku cuma ingin memastikan apakah kami salah rumah.

Dorrr!!

"Aaaaaa!! " teriakku.

Aku terkejut ketika suara balon meletus terdengar saat ayah membuka pintu.

Aku menyetuh dadaku yang berdetak kecang.

"Kamu itu yah! Suka banget jahilin orang. Kasiankan adik kamu jadi kaget gitu"

" Ehhhh, ampun mah!. Sakit, aku kan cuma kasi surprise"

Rintihan kesakitan itu berasal dari salah satu kakak laki-lakiku.

"Gak ada surprise yang buat orang kaget"

"Yah, kan namanya surprise. Ya bikin keget dong mah! "

Aku ikut meringis saat Bunda memperkuat jewerannya di kuping Kak Angkasah, ehh maksudku Kak Langit.

Mengapa sekarang susah membedakan Kak Angkasa dan Kak Langit. Apa mungkin karena Kak Angkasa tidak memakai kursi roda lagi.

" Halo sayang,,,, kamu udah sampai. Ini mommy masakin kue spesial buat kamu" teriak seseorang dari dalam rumah.

Dari sini aku melihat seorang wanita tengah berjalan sambil membawa sebuah kue. Seyuman di wajahnya tak pernah luntur, sama seperti hari - hari yang lalu saat dia menemuiku.

Aku baru sadar jika di atas kue tersebut terdapat sebuah lilin berwarna merah.

Kinan, wanita itu menyalakan lilin tersebut.

" Aku gak ulang tahun tante" kataku, saat wanita itu menyuruhku meniup lilin tersebut.

" Jangan panggil tante dong sayang, mommy kan udah sering bilang, panggil Mommy jangan tante" ujarnya padaku.

"Eehh, iya maaf Mommy" balasku.

" Tiup dulu dong lilinnya "

"Aku gak ulang tahun Mommy" kataku lagi mengulang perkataanku.

"Emang harus yang ulang tahun yah baru bole niup lili"

"Iya" Jawabku.

Mereka semua terkekeh.
Apa yang lucu, aku tidak melihat kelucuan disini.

" Bentar lagi kan kamu ulang tahun, jadi gak papa dong kalo niup lilinnya sekarang"

Dengan terpaksa aku meniup lili yang berada di atas kue coklat pemberian tante Kinan. Aku merasa seperti seorang anak kecil yang baru saja berulang tahun.

                         

     🍂🍂🍂

Aku memperhatikan setiap inci rumah yang aku masuki, sangat mewah.

Aku merasa sedang berada didalam sebuah istana. Baru kali ini aku memasuki rumah semewah ini.

Beberapa kali aku berpapasan dengan para pelayan, mereka memberi hormat kepadaku dan mengucapkan selamat datang.

Aku makin penasaran apa sebenarnya pekerjaan ayah.

Ditempat ini aku merasakan semuanya sempurna, memiliki rumah yang mewah, keluarga yang lengkap, ini adalah impianku sejak kecil.

Dulu aku dan keluargaku bukanlah orang yang berada. Ayah hanyalah seorang penjul roti.

Hanya aku yang bersekolah di dalam keluargaku dulu. Kak Angkasa dan Kak Langit tidak sekolah, karena keterbatasan ekonomi kami tidak mengizinkan mereka bersekolah .

Kursi roda yang tadinya berjalan, kini berhenti, aku menoleh pada Ayah.

" Ini kamar kamu Ra" kata Ayah sambil membuka pintu yang berada tepat di hadapanku.

Biru, warna yang paling dominan di ruangan ini. Refleks saja aku melihat ke arah kalung milikku, warna kamar ini sangat mirip dengan warna kalungku.

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai warna biru.

Aku sedikit kaget saat merasakan tubuhku diangkat. Lalu diletakkan diatas tempat tidur berwarna biru.

"Kamu istirahat ya"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Sebuah kecupan di keningku diberikan oleh Ayah.

"Papa pergi, kamu istirahatya. Gak usah banyak pikiran" kata ayah lalu pergi dari hadapanku.

Aku tak berhenti menatap setiap sudut ruangan ini. Setiap benda yang ada diruangan ini selalu berwarna biru dan putih. Kamar ini sangat luas, mungkin aku bisa bermain bulutangkis di sini.

Aku membaringkan tubuhku, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Aku masih bertanya dalam benakku, apakah ini memang sebuah kenyataan.

Aku harap ini adalah sebuah kenyataan, disini ada mereka orang yang selalu aku rindukan sejak dulu.

"Semoga ini bukanlah mimpi" gumangku.

Lorong waktu 10.

Maaf banyak typo 😌

Votenya dong...

Lorong waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang