Sepertinya Sartika tipe orang yang suka bicara. Sedari tadi gadis itu terus saja bicara. Aku hanya mengangguk dan sesekali menggelengkan kepalaku sebagai tanggapan.
Dia masih belun percaya bahwa aku tidak mengenal gadis yang bernama Dewi yang di katakannya sedari tadi.
Kami sudah keluar dari kanti, dan sekarang aku dan Sartika sedang berjalan menuju kelas. Seperti yang aku katakan tadi, gadis ini masih terus saja berbicara panjang lebar.
"Jadi lo gak kenal gue? "
"Kenal kok, lo teman sekelas gue"aku menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Sartika.
"Ihhh, bukan itu maksud gue"
Sartika terlihat gemas dengan jawabanku. Bukankah tak ada yang salah dengan jawabanku. Aku memang mengenalnya, dia teman sekelasku dan aku baru mengenalnya tadi pagi.
"Jadi apa? " tanyaku padanya tanpa melihat gadis itu.
"Kayaknya lo beneran amnesia deh " katanya, menghelai nafasnya.
Aku tau maksud dari pertanyaan Sartika tadi, tapi aku terlalu malas untuk memperpanjang nya.
"Enggak kok, gue gak amnesia" ujarku padanya, memang benarkan aku ini sebenarnya tidak amnesia. Aku masih ingat siapa namaku dan siapa keluargaku. Bahkan aku masi ingat siapa teman - temanku semasa sekolah.
" Lo mah bikin gue --" Sartika tidak melanjutkan perkataannya.
"Bikin apa? " tanyaku padanya, menaikkan kedua alisku.
"Udah ah, lupain aja"
Setelah itu tidak ada lagi yang berbicara di antara kami. Sartika sibuk memainkan ponsel miliknya sambil berjalan.
Sesekali gadis itu tak sengaja menyenggol bahu siswa yang berjalan melewatinya.
"Kalo jalan itu pake otak dong! " ujar Sartika pada seorang siswi.
Siswi itu tampak sedikit ketakutan mendengar nada tinggi Sartika.Aku menarik tangan Sartika dari hadapan siswi yang sekarang menundukkan kepalanya itu.
"Lo yang salah tapi lo juga yang marah sama dia"
Sartika terkekeh.
"Kalo gue gak marah sama dia, nanti malah dia yang marah - marah sama gue. Ya kali Bidadari kayak gue di bentak - bentak"
Ternyata tidak hanya Karina yang memiliki prinsip hidup yang salah. Sartika juga sepertinya memiliki prinsip hidup yang sama dengan Karina.
Masih ingat karina, dia teman sma ku, yang selalu menjadi langganan guru bk. Sikapnya yang sebelas dua belas dengan lelaki membuat gadis itu terlihat tomboy.
Banyak yang mengatakan Karina itu gadis yang tidak baik. Tapi menurutku dia adalah orang yang cukup baik kepadaku.
Aku melihat ada kemiripan pada sikap Sartika dan Karina.
Langkahku dan Sartika terhenti saat seseorang berdiri tegap di depanku, menghalangi jalanku.
Aku melihat sang empuh, seorang remaja laki-laki berdiri di hadapanku. Di samping laki-laki itu berdiri seorang gadis yang mengenakan kaca mata serta membawa beberapa buku dalam pelukannya.
Gadis itu terseyum kepadaku.
Aku memperhatikan gadis yang tengah terseyum padaku itu. Aku merasa tidak asing dengan wajahnya.
Bukankah gadis dengan rambut sebahu itu adalah siswi yang tidak sengaja aku senggol saat pertama kali datang kesekolah ini.
Tapi mengapa sekarang dia menggunakan kaca mata. Kalau tidak salah pertama kali aku melihatnya dia tidak memakai kaca mata.
Apa aku salah orang.
"Pipi lo kenapa merah? " pertanyaan itu datang dari laki-laki yang ada di samping gadis itu. Dia Bima, lelaki yang menghalangi jalanku.
Aku menyetuh pipiku yang terkena tamparan Sartika tadi, masi terasa sakit jika di tekan. Apa pipiku masih terlihat merah, sampai-sampai lelaki ini menanyakannya.
Ternyata tamparan Sartika sangat kuat. Sampai sekarang aku masih merasa sediki sakit, jika aku menyetuh dan menekannya.
"Di gigit nyamuk"
Aku tertawa dalama hati mendengar jawabanku tadi.
" Nyamuk apa yang gigit lo sampe, seluruh pipi kiri lo merah?"
Aku mengigit pipi bagian dalamku. Ternyata Bima tidak sebodoh itu, aku jadi bingung ingin menjawab apa.
" Kalo pipi lo digigit nyamuk pasti ninggalin bekas benjolan" ujar Bima.
Aku merasa sedang di tuduh melakukan suatu hal yang buruk. Kenapa aku merasa salah tingka saat menjawab pertanyaan Bima tadi.
Kenapa aku harus berbohong, aku bisa berkata jujurkan jika Sartika tidak sengaja menamparku. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan agar aku tidak mengatakan yang sejujurnya kepada Bima.
"Ada yang nyakiti lo" nada suaranya berubah dingin, dia menyentuh pipiku yang merah dan menatapnya.
"Enggak" jawabku lalu menyingkirkan tangannya dari wajahku. Aku risih di perlakukan seperti itu.
" Lo bohong"
Barusaja aku ingin menjawab perkataan Bima, tapi pengakuan Sartika membuat kalimatku menggantung di tenggorokan.
"Anu... Itu kak Bim-a, tadi aaku gak sengaja nampar Aeera. Sumpah kak gak sengaja! " kata Sartika mengakui perbuatannya.
Tatapan Bima beralih pada Sartika, dia melihat sartika dari atas sampai bawah.
"oh" balasan yang keluar dari mulut Bima.
Lelaki itu kini tidak menampakkan wajah dinginnya. Ekspresinya berubah seperti biasa.
Bima memasukkan kedua tanganya kedalam saku.
"Minggir! " katanya padaku, lalu berjalan diantara aku dan Sartika.
Bima menyenggol bahuku kasar."Sialan tuh boca, nyebelin banget gak minta maaf lagi" Kataku pelan, tapi sepertinya gadis yang bersama Bima tadi mendengar perkataanku.
"Maafin Bima ya, dia gak sengaja" katanya membela Bima, lalu pergi mengikuti Bima.
Apa tadi katanya tidak sengaja, aku pikir itu adalah tindakan yang di sengaja. Mengapa harus melewati jalan yang sempit jika ada jalan yang luas tepat di sebelahku.
Memang pemuda itu sangat menyebalkan.
Anak jaman sekarang emang gak tau aturan. Sama orang yang lebih tua gak ada sopan. Gerutuhku dalam hati.
"Gak ada sopannya tuh boca" ucapku sembari melanjutkan langkahku.
"Emangnya lo siapa Ra? , kayak orang udah tua aja lo bicara kayak gitu. Yang ada lo yang harusnya sopan sama senior"
"Gue lebih tu-" ucapanku terhentikan saat aku mengingat sesuatu. Sekarang umurku 17 tahun bukan 27 tahun lagi.
Dan Bima lebih tua satu tahun dari ku di tempat ini.
Jadi siapa yang harusnya bersikap sopan?
Lorong waktu 18.
Vote...
Komen....
Bye ,,,,,see u 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong waktu [END]
Teen FictionDon't forget follow me *=* Hidupku berubah saat aku menemukan lorong yang aneh. Aku pernah mendengar cerita lorong waktu dari kedua kakak laki - lakiku. Mereka bilang mereka ingin membuat benda yang bisa membawamu ke sebuah lorong waktu , sungguh m...