46 | ⚠️Warna baru, atau warna asli?⚠️

1.3K 254 39
                                    

.

.

17+⚠️
[WARNING: ADEGAN KEKERASAN]
Chapter ini mungkin membuat pembaca tidak nyaman.

.

.








Pada tahap inilah Sherly mendapatkan logikanya kembali. Sherly baru paham bahwa ....

---ia telah ditampar.

Ditampar sampai terjatuh. Hanya dalam hitungan sepersekian detik. Sangat cepat dan keras, sampai untuk beberapa waktu ... tubuh dan otaknya tidak dapat memproses kenyataan yang ada. Rasa sakit itu masih tersisa, bahkan mungkin terasa lebih menggila.

Untuk seseorang yang tidak pernah merasakan yang namanya kekerasan fisik---itu adalah pukulan terhebat yang pernah ia terima.

Shīna memandang teduh, kebawah, ke arah dimana Sherly sedang merangkak kesakitan sekarang.

Gadis berambut coklat itu merasa terhina. Susah payah ia berdiri dan mengabaikan rasa sakitnya.

"Lo gila?" Pertanyaan itu ia ucapkan setengah hati. Matanya bergetar, rasa sakit itu masih terasa. Di antara rasa sakit, dan amarah yang Sherly rasakan. Ada pula perasaan ganjil yang melintas.

---Kenapa?

Pandangan Sherly mulai tak karuan, ia melihat ke sekelilingnya, mencari sosok figur manapun yang bisa tertangkap. Sayangnya lingkungan ini benar-benar sepi. Sherly yang memilihnya, dia yang paling paham seberapa sepinya wilayah di sekitar sini.

Masih dengan memegangi pipi kirinya, Sherly coba untuk menguatkan hati.

"Lo pikir apa yang lo lakuin?! Berani-beraninya lo nampar gue."

Sherly berusaha memecah keheningan. Tapi terhadap Shīna yang bahkan masih tak bersuara. Perasaan ganjil itu akhirnya melambung sampai ke tahap berhasil membuat dirinya tak nyaman.

Sherly bingung, dia berusaha mengenyahkan seluruh emosi negatif.

Itu tadi hanyalah tamparan---benar---tamparan. Giginya menggemertak. Sherly tidak mungkin ciut hanya karena sebuah tamparan, kan?

Kenapa pula dia malah berperilaku seperti ini? Sherly mungkin ditampar, tapi itu tadi hanya karena dirinya sedang lengah saja. Sherly pun menampar Shīna sekali, jadi tak ada alasan untuk dirinya untuk merasakan perasaan lemah. Satu-satunya orang yang seharusnya merasa tegang adalah Shīn-,

Sherly mundur satu langkah. Iris mata Shīna gelap sempurna. Layaknya lubang hitam, tak ada satupun cahaya yang masuk ataupun keluar darinya. Kulit Shīna selalu pucat, tapi baru kali ini Sherly merasa terganggu layaknya digigit seekor serangga yang gatal.

"Lo jangan pernah coba buat main fisik sama Shīna."

Untuk sesaat ... memorinya terulang seperti sebuah kaset lama.

Sherly melihat ke arah luka-luka yang Lia dapatkan. Tidak banyak, tapi sudah dapat dipastikan bahwa itu bukan luka ringan dan cenderung menyakitkan. "Dia yang nyebabin ini semua?"

Lia langsung mengangguk.

Harga yang dibayar untuk memastikan Shīna mempunyai rasa takut akan hal dingin, dibayar dengan sangat mahal---Lia benar-benar sangat kesakitan.

"Dia kuat." Lia memperingati. "Dia gak akan ragu buat ngehantam seseorang."

Memori itu terulang sempurna

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang