"Lo yakin?"
Pertanyaan itu diajukan untuk yang kesekian kalinya. Di tengah suasana ramai yang mengelilingi, suasana intim juga dapat terjaga. Sebuah pembicaraan empat mata di tempat umum sedang terjadi sekarang ini.
"Gue udah gak punya tempat disini."
"Lo selalu punya tempat."
Vero menggeleng, "gue masuk Aliansi karena sepupu gue. Gue bergerak juga karena dia."
"Dia menang, gue kalah. Gak ada hal lain yang bisa gue lakuin lagi sekarang."
Sang lawan bicara terfokus akan pernyataan tersebut. "Sepupu lo ... sebenernya berapa banyak uang yang dia keluarin?"
Satu ujung bibirnya terangkat, ia membalas seolah merasakan ironi yang gatal, "paling cuman seharga tas."
"Terus kenapa lo gak ngelakuin hal yang sama?"
Vero terdiam sebentar.
Sudah jelas, kan? Itu karena dia tahu diri.
Vero melepaskan kalungnya kepada si lawan bicara. "Pokoknya gue keluar dari aliansi." Ia kemudian berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar kertas merah muda. "Gue gak tahu apa impian kalian. Nama, sifat, kebiasaan, karakter, sejujurnya gue bahkan gak peduli sama hal-hal tersebut."
"Gue punya taruhan buat nempatin posisi ketua sama sepupu gue. Dan gue kalah."
Pihak lain mengeluarkan dana yang tidak masuk akal seolah mereka sedang melakukan promosi partai.
Seharga tas ... tapi tas pun bisa berharga milliaran tergantung apa mereknya. Sejak awal itu adalah tekanan finansial yang tidak masuk akal. Jika ini adalah pemilu caleg, maka ia akan paham-paham saja. Tapi ini, kan-,
Vero menghembuskan nafas kasar mengingat kembali apa saja yang terjadi di tahun kedua.
Singkatnya orang yang menduduki posisi pemimpin di aliansi sekarang ini adalah orang suruhan sepupunya. Tak ada yang spesial. Ketika menang pun, sepupunya tidak memerintah atau mencoba mendapatkan keuntungan dari aliansi. Mudahnya ia langsung pergi dan tidak berhubungan lagi dengan mereka seolah tak terjadi apapun.
Benar-benar penghamburan uang.
Aliansi yang terkenal dan ditakuti itupun tak lebih dari sekedar papan catur untuk permusuhan mereka berdua.
Meskipun begitu ...
Vero menaruh lembaran merah muda itu ke meja, jumlahnya cukup banyak mengingat tingkat ketebalan lapisan. "Kebanyakan dari kalian masih bertahan di sisi gue itu karena uang, bukannya gitu?"
Toh ia melakukan hal yang sama seperti sepupunya
Ini hanya tentang perbedaan jumlah uang yang dikeluarkan.
Mata coklat pria itu menyapu seluruh sudut restoran dimana 'teman-temannya' sedang sibuk memanggang dan melahap daging sapi di atas panggangan.
Sejujurnya ... ia bahkan sudah tidak bisa menghitung traktiran ke berapa yang ia lakukan sekarang ini.
Kemampuan bersosialiasi Vero tidak cukup baik, ia bahkan tidak mengenal sebagian besar orang di restoran sekarang ini. Sifatnya terkesan acuh tak acuh. Bahkan mungkin sampai pada titik tidak peduli pada lingkungan sekitar.
Tentunya hal ini jugalah yang membuat nilai dirinya turun, Vero paham, tak ada alasan bagi orang-orang untuk mengikutinya selain uang. Pemimpin tidak langsung tercipta, mereka harus bersusah payah meraih penghormatan dari seluruh anggotanya.
"Gue tahu diri kalau gue bukan pemimpin yang layak. Sejak awal hubungan gue sama anak-anak disini pun emang gak terlalu dalem. Jadi uang bukan suatu hal yang gue permasalahin karena sejak awal posisi yang gue punya itu transaksional."

KAMU SEDANG MEMBACA
FIGURAN
Teen Fiction🌹 FIGURAN blurb : Shīna Gayatri bukanlah tokoh utama. Dia, hanyalah seorang figuran ... Melihat tokoh utama wanita yang disiksa, melihat tokoh pria yang berjuang mati-matian untuk si cewek, juga melihat si Antagonis yang selalu membuat masalah. Di...