31 | Sherly [2]

10.4K 1.3K 403
                                    

Oke. Sebelumnya pengumuman dulu yah. Bagi kalian para pembaca baru ataupun lama. Saya saranin buat follow akun ini dulu. Bukannya apa-apa. Tapi saya sadar diri jarang update. Biasanya para reader kalau authornya jarang update si cerita dilupain dan langsung dihapus dari perpus (karena udah lupa alur biasanya, bahkan gak tau kalau si ceritanya udah pernah mereka baca)

Jadi yuk follow yuk. Jadi nantinya ketika kalian gak sengaja ngehapus ni story dari perpus. Notif pengumuman dari saya bakalan tetep nyampe ke kalian. Ngabarin kalau ni cerita setelah sekian purnama akhirnya dah update.

Info tambahan : mulai baca ulangnya dari part ini yah. Soalnya Chapter ini dirombak sebanyak 80% .... So, selamat membaca kembali.... Ini masih Juli, kan? Tepat di hari ulang tahun Shīna. Alias saya samain hari ulang tahun Shīna sama ulang tahun saya sendiri wkwk. Gak ada yang mau ucapin apa gitu :(?

🌹

"Shīna ...!"

Kata sapaan itu terus menggema di kepalaku selama beberapa hari ke belakang.

Aku melihat orang yang memanggil ku tampak tersenyum riang. Sherly masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Entah apa yang terjadi pada otak anak itu, tapi yang jelas ia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku tidak keberatan, tentu, -selama ia tidak mengangguku. Totalnya, sudah selama 2 minggu kami berada dalam kondisi seperti ini.

Sejak Fika mengatakan agar aku menjaga jarak, pertemanan ku dengan Fika dan Riposha jadi semakin melemah. Kami menjadi jarang bertemu ketika waktu luang. Adanya Sherly disini tentu saja sangat membantuku dengan kehidupan sosial yang ku punya, - hanya jika ia memang benar-benar berniat untuk berteman. Anehnya, bahkan sampai sekarang ... aku masih tidak tahu tujuan anak itu yang sebenarnya.

"Kayak yang udah gue duga, lo ngapain sih duduk sendirian disini! Kan udah gue bilang buat gabung sama kita-kita."

Aku tersenyum canggung. "Aku butuh suasana yang lebih tenang buat belajar. Jam pelajaran ke-4, kan kita ada ulangan," jelasku.

"Belajar? Belajar ngapain? Gak ada gunanya lo belajar. Kecuali kalau lo emang sepinter itu sampe masuk ranking 10 paralel. Baru lo bakalan dapet sertifikat dari sekolah ini. Kalau nggak sih, buat apaan? Buang-buang waktu." Sherly bergumam dan kembali menjilat es krimnya.

Aku hanya menimpali perkataannya dengan anggukkan dan kembali melihat ke arah buku bacaanku.

--- Relativitas oleh Albert Einstein. Materi Fisika kelas 12 SMA ternyata memang sudah sejauh ini. Aku kembali membuka halaman berikutnya untuk melihat rumus-rumus yang harus ku ingat. Semalam sebenarnya aku sudah belajar, tapi tidak ada salahnya membuka kembali materi hanya untuk persiapan. Jika tidak salah materi yang-,

"!"

Dalam seketika Sherly mengambil buku yang ku pegang, dan melihatnya lamat-lamat. "Lo kayaknya emang gak akan ngerti sebelum gue ambil sendiri yah?" Manik coklatnya ia arahkan padaku, Sherly tersenyum, "gue punya cara lebih bagus supaya kita punya nilai bagus tanpa belajar."

Tanpa belajar? Bukankah itu mustahil? Rasanya tidak mungkin bisa mendapatkan nilai yang tinggi tanpa belajar. Kecuali jika kau melakukan cara curang tentunya, seperti membuat contekkan, menyuap atau mengambil kertas ujian sebelum hari H. Jika begitu mungkin saja nilai tinggi bisa didapatkan.

"Caranya?"

"Gue punya anak di kelas kita. Dia seenggaknya selalu ada di kisaran 10 paralel setiap tahunnya. Jadi gak perlu lagi khawatir sama Ujian."

Begitu ...

Jadi sejak awal ia memang sudah mempunyai seseorang untuk menjadi senjatanya di tiap ujian.

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang