45 | Para perempuan yang ringan tangan.

1.7K 280 21
                                    

[ Lo jangan kemana-mana! ]

Aku terdiam untuk sejenak. Beberapa detik kemudian ponsel itu kumatikkan. Sherly nampaknya sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Tidak biasanya ia memaki-maki seperti tadi. Pada kebanyakan percakapan yang kami lakukan, Sherly selalu saja berusaha dengan cara halus dan permainan psikologisnya. Lalu kenapa baru sekarang ia mulai menunjukan warna yang baru?

"Kenapa Dek?"

Aku menatap pria di hadapanku yang sudah siap di atas motor. "Maaf apa bisa saya cancel?"

"Lho kok dicancel?" Itu adalah protes dari rasa ketidaksukaan.

Aku membuka kembali helm yang dipakai dan mengembalikannya. "Soalnya ternyata saya masih ada kelas." Aku kemudian mengeluarkan uang 5000 rupiah dan memberikannya, "maaf udah ngerepotin. Ini anggap aja uang kopi."

Setelah diberi sedikit uang, ekpresi kecut ojek online yang sudah dipesan perlahan berkurang, ia menggantungkan kembali helm yang diberikan di bagian depan motor. "Ya sudah gapapa," ungkapnya, "mari!"

Motor itu kembali melaju, aku ditinggalkan sendirian di tengah kondisi yang hampir senja.

Pandanganku melihat ke arah jam di ponsel. Sherly bilang ... ia ingin ditemui di belakang sekolah, kan?

Itu adalah lokasi yang tidak biasanya ia minta. Dan kenapa pula harus bertemu disana?

Mataku melihat ke arah kedua kaki yang kupunya, lalu mulai melangkah. Batu-batu kerikil ku injak, tanah ku injak, dedaunan pun ku injak. Di tengah perasaan yang seperti ini, sekelibat memori terbayang di hadapanku.

"Belakang sekolah yah?" aku bergumam pelan.

Jika di sekolah lamaku dulu, rumornya tempat itu biasa dipakai untuk memukul atau memalaki orang. Tempat yang benar-benar terlarang dan ditakuti oleh para siswa-siswi.

"Yah ... kayaknya gak akan seburuk itu." Aku menjawabi diriku santai.

Hal-hal tidak akan langsung ku percaya hanya dari sekedar rumor. Dahulu pun seperti itu. Area yang orang-orang takuti, entah kenapa justru sangat bersahabat ketika aku melewatinya, tak ada yang aneh. Orang-orang menyapa ramah, mereka tahu bahwa aku tidak menyukai asap rokok, jadi setiap aku lewat pasti langsung dimatikan. Beberapa bahkan tak segan memberikan makanan ataupun bantuan ketika ku minta.

Bagi orang-orang yang berpikir bahwa melewati jalan tersebut merupakan sebuah pengalaman buruk. Bagiku ... itu hanya seperti angin lalu yang tidak begitu bermakna.

Singkatnya ... teman-temanku di Jepang sangat baik.

Langkah yang ku ambil perlahan mulai mengikis jarak. Aku mulai masuk kembali ke area sekolah dan keluar dari gerbang belakang.

Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu pasti dimana letak tempat yang Sherly sebutkan. Bertanya pada orang pun, sudah jelas bahwa ini bukan area yang ramai dan dilalui banyak orang.

Setelah sampai, tak ada seorang pun disana, aku memutuskan menunggu untuk beberapa menit. Kakiku berayun-ayun, perlahan aku merasakan bahwa perutku mulai bergemuruh lapar. Jika Sherly tidak datang dalam waktu 5 menit kedepan, sudah dapat dipastikan bahwa aku akan langsung pulang dan kabur mencari makanan.

"Eh?"

Kepalaku memiring, benda berwarna hijau itu menarik perhatianku. Aku berjongkok dan memungutnya dari tanah. Jempolku kugerakan di atas roda besi. Mencoba mencari tahu apakah pematik apinya masih bekerja atau tidak.

Hanya dalam satu gerakan, api menyala. Isinya masih banyak, pematiknya pun tidak macet. Dapat disimpulkan dengan mudah bahwa pematik api ini masih dalam keadaan baik. Seseorang pasti tanpa sadar menghilangkannya.

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang