27 | Pecah

7.5K 1.6K 356
                                    

[ Chapter 27 ]

.

.

Fika menatapku. "SHĪN!!!"

Aku hanya tersenyum, "apa?"

"Apanya yang apa? Lo apaan-apaan tadi bilang dukung dia? Dia mau masukkin dirinya dalam bahaya, dan lo malah dukung dia?"

Aku melihat arah milk shake hangat yang tadi ku pesan. "Terus aku harus gimana? Kamu denger sendiri, kan? Itu gak kaya aku bisa kasih dia perintah atau apapun. Riposha udah milih jalannya, dan kita harus nerima itu."

"Walaupun jalannya berujung ke arah jurang?"

"Ya."

Mata Fika terbelalak mendengar apa yang ku katakan. Dia menatapku tajam. Tangannya mengepal. "Lo gila? Lo tau kemana ini bakal ngarah? Kalau gini lo sama aja kaya Riposha!"

"Jangan samain aku kaya Riposha." Aku membuat kontak mata dengannya. "Walaupun tadi aku bilang 'bakal dukung dia', tapi itu gak berarti itu kenyataannya."

"Maksud lo?"

"Aku bohong," ucapku.

Kening Fika seketika mengerut, tidak mengerti dengan apa yang ku maksud.

"Pada dasarnya kita berdua punya pemikiran yang sama. Kita gak suka terlibat masalah. Kita adalah orang-orang egois yang lebih mentingin diri sendiri."

Entah aku ataupun Fika. Kami lebih memilih jalan teraman. Bahkan walaupun harus mengorbankan orang lain. Itu tidak masalah. Kami adalah orang-orang egois yang lebih memprioritaskan diri sendiri.

"Tapi kita berdua juga punya perbedaan." Aku menatapnya, Fika masih diam, fokus terhadap apa yang ingin aku katakan. "Sama kaya Riposha, kamu itu terlalu baik. Kamu egois dengan maksa Riposha buat berhenti dari tujuannya. Dan sama kaya Riposha juga, tujuan kamu itu baik, kamu cuman pengen dia gak terluka. Bukannya itu bikin gak ada perbedaan diantara kalian berdua?"

Riposha bersikap egois dengan mengabaikan keinginan kami dan menolong Lia. Tapi disisi lain, kami pun bersikap egois karena ingin menghentikannya tanpa peduli sudut pandang yang ia punya.

Riposha ingin menolong untuk kebaikan Lia. Sedangkan kami ingin menghentikannya untuk kebaikannya sendiri. Jika dilihat dari kedua sisi yang berbeda, yang kami lakukan hanyalah bersikap egois terhadap satu sama lain.

"Selain itu, tujuan Riposha itu mulia. Kita yang nyoba hentiin dia ... bukannya cuman bikin kita keliatan kaya pendosa?"

Fika terdiam, dia meneguk salivanya berat, cahaya matanya memudar. Jelas sekali bahwa apa yang ku katakan mulai menyerang pikirannya. "Jadi kita ada di pihak yang salah?" tanyanya, ragu.

"Kalau kita liat dari sudut pandang yang kita punya, sebenernya apa yang kita lakuin gak seburuk itu, kita cuman pengen aman." Aku menatap Fika tenang. "Tapi kalau kita liat dari sudut pandang yang Riposha punya ... jelas kita ada di pihak yang salah. Bahkan secara moral sosial pun, kita tetep ada di pihak yang salah. "

Dalam kondisi ini aku akui, sudut pandang Riposha lebih dibenarkan. Dia yang terlalu egois dan naif karena ingin membantu seseorang? Atau kami yang terlalu egois dan mencintai diri sendiri? Di mata publik, mereka akan berpikir, lebih baik 'mendukung orang egois dengan tujuan baik', daripada 'mendukung orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri', kan?

Meskipun nyatanya suatu kondisi tidak bisa dijelaskan hanya berdasarkan benar ataupun salah. Tapi tidak dapat diragukan bahwa pendapat mayoritas yang akan selalu dibenarkan. Jika kami tidak ingin membantunya untuk berbuat kebaikan, setidaknya kami jangan menghentikannya. Perkataan Riposha itu benar.

"Tapi siapa yang peduli sama bener dan salah, kan? Di dunia ini, menang itu segalanya. Kita cuman perlu bikin dia denger pendapat kita tanpa peduli sama faktor lain."

"Jadi maksud lo, gapapa kalau kita ada di pihak yang salah? Bukannya itu berarti percakapan kita balik lagi ke awal?"

Pada tahap ini, yang Fika katakan benar. Pada akhirnya percakapan kami kembali lagi pada tahap 'kami yang ingin Riposha berhenti membantu Lia'. Tapi sekarang, ini yang ingin ku jelaskan ...

"Tadi aku bilang bahwa kita berdua punya perbedaan, kan?"

Aku melihat ke sekitar kantin yang mulai sepi, sepertinya hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum bel masuk. Aku bertanya-tanya apakah percakapan ini akan selesai tepat pada waktunya?

"Buat sampe di tujuan itu, kamu mati-matian ngelarang Riposha, bahkan walaupun dia jadi musuhin kamu. Tentu, awalnya aku pikir ngasih tau dia secara terang-terangan kaya tadi adalah pilihan terbaik. Tapi kamu liat sendiri, kan? Tekad Riposha itu kuat. Kalau kita juga maksain pendapat kita, pada akhirnya itu cuman bakal nyiptain suatu ledakan. Jadi ayo kita lepasin dia ... biarin dia berjalan sesuai keinginannya."

"Tapi lo tahu, kan kalau jalannya itu ke tempat penuh bahaya?"

"Aku tahu. Justru itu tujuan aku. Menurut kamu Riposha itu apa? Dia bukan Lia yang punya mental kuat dan tahan banting. Menurut kamu berapa lama dia bisa bertahan?"

Fika diam sebentar, beberapa detik kemudian dia memperlihatkan tatapan tidak suka. "Gue ngerti apa maksud lo, jadi lo mau bikin Riposha kena mental dan mundur dengan sendirinya. Tapi itu sama aja kaya kita ngebiarin dia terluka."

Aku akui hal itu. Pada dasarnya Riposha tetap mengalami kerugian, dan kerugian itulah yang ingin Fika cegah. Tapi aku berpendapat lain ...

"Justru itu, Riposha harus belajar namanya terluka. Dia pikir selama dia ada di pihak kebenaran, dia bakalan menang. Itu terlalu naif."

Fika menggeleng ke kanan dan ke kiri secara intens. "Gue gak bisa biarin dia terluka. Gue akuin kalau gue pengen Riposha dengerin apa yang gue bilang. Tapi gak gini caranya. Di depan lo bilang bakal dukung dia, tapi tujuan lo sebenarnya pengen dia kena mental dan mundur, bukannya itu terlalu jahat?"

"Aku tahu ..."

Fika memilin bibirnya. "Gue gak setuju. Gue gak mau gunain cara ini."

Aku meminum milk shake tadi dengan sekali tegukan. Rasa hangat langsung menyebar ke seluruh tenggorokan. Setelah puas dengan apa yang ku minum, aku kembali menatapnya. "Aku tahu. Dari awal aku udah bilang, kan? Kalau kamu itu terlalu baik."

Sekali lagi, Fika terperangah. "Jadi lo udah prediksi jawaban gue? Terus kenapa lo susah-susah jelasin jawaban yang udah pasti gue tolak?"

Aku tersenyum.

"Karna belakangan ini kamu jaga jarak sama aku. Jadi aku pikir ... mungkin akan lebih baik kalau aku sedikit lebih terbuka lagi sama kamu."

Kenyataan bahwa seluruh percakapan ini bukan tentang Riposha, tapi tentang aku yang berusaha membagi pikiranku dengan Fika. Kenyataan bahwa aku sadar Fika sedang bersikap waspada dan menjaga jarak denganku. Bersamaan dengan udara pagi yang berhembus, Fika kembali terdiam. Ada getaran di matanya.

"Shīn ..." panggilnya pelan. Dia menatapku ragu, "terkadang gue ngerasa, kalau lo bahkan lebih bahaya daripada murid lainnya. Apa itu aneh?"

Apa itu aneh?

"Menurut kamu?"

Fika menurunkan pandangan. "Gue gak tahu, mungkin cuman perasan gue doang."

Aku tersenyum. "Ya. Itu cuman perasaan kamu doang."



.


.

.

Absen ....

Vote, and comment ...

Ty

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang