0;

1.8K 288 65
                                    

[ Jepang ]

.

.

.

"Kau membakarnya lagi?"

Aku menoleh ke belakang, melihat Rei yang berdiri dengan santainya sambil meminum kopi dingin kalengan. "Ya," jawabku singkat.

Ia kemudian mendekat, dan berdiri di sampingku. "Apa kau tidak berpikir bahwa itu mubazir?"

Aku melihat ke dalam kobaran api. Sedikit demi sedikit semua kertas itu terbakar habis, bau pembakaran menyerbak ke dalam hidung, dan rasa hangat seakan memelukku erat.

Jika ditanya apakah mubazir, tentu saja jawabannya mubazir. Sungguh suatu pemborosan untuk membakar setumpukan buku yang baru dibaca sekali.

"Memangnya kenapa jika memang mubazir?"

Tapi bukannya berarti aku peduli pada hal tersebut.

Anak laki-laki itu menarik satu ujung bibirnya. "Tidak ada. Kau bebas melakukan sesukamu."

Aku berdiri dari posisiku, kemudian berhadapan dengannya. Perawakan tinggi anak itu membuat bayangannya menghalangiku dari teriknya sinar matahari.

"Kau masih memakai anting itu?" lanjutnya.

Aku refleks menyentuh anting yang ia sebutkan. Warnanya merah, lalu ada bulatan mutiara dan bunga mawar pada ujungnya. Kurang lebih, jika tidak salah sudah 2 tahun sejak pertama kali aku memakai benda ini.

"Memangnya kenapa?"

"Saat ulang tahunmu dulu Yuuji menghadiahkan anting, kan? Aku ikut patungan dan membantu memilihnya untukmu. Tapi rasanya kau bahkan tidak pernah memakainya."

Ingatanku melayang. Lembaran kertas memori itu terbuka bak buku tua. Seingatku ia memang pernah menghadiahkan hal seperti itu—sepasang anting berbentuk angsa cantik dengan matanya yang dihiasi batu merah.

"Ah~ aku ingat."

"Kenapa kau tidak pernah memakainya?"

"Aku memakainya saat di rumah kok."

Lagipula mana mungkin aku melewatkan kesempatan untuk memakai benda secantik itu?

"Tidak  maksudku kenapa kau tidak memakainya saat keluar atau ke sekolah?"

"Aku takut hilang."

Umumnya benda mahal hanya akan dipakai ketika acara spesial saja, bukankah begitu? Aku tidak butuh untuk memakainya setiap hari.

"Bilang saja jika kau tidak suka." Rei mengangkat bahu dan mendesah dalam kekecewaan. "Bahkan jika kau mengatakan takut hilang pun, hal itu tidak masuk akal. Itu hanya anting murahan, jika hilang bisa beli lagi. Memakai pemberian seseorang justru terkesan lebih menghargai."

Murahan?

Tinggi juga ego anak ini sampai mengatakan suatu benda adalah murahan. Memangnya dengan taraf ekonomi siapa ia menilai bahwa antingnya murahan? Padahal dia sendiri yang bilang bahwa ia sampai patungan dengan Yuuji untuk membelinya.

"Aku menyukai hadiahnya. Hanya saja anting yang ini mempunyai kenangan spesial."

Aku kemudian memperlihatkan anting merahku padanya.

"Kenangan?"

"Ini satu-satunya benda peninggalan Ibuku. Sejak kecil ... aku tidak pernah mempunyai kesempatan untuk melihat wajahnya. Hanya ini satu-satunya yang ia tinggalkan."

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang