37 | Apa itu seorang korban?

2.4K 407 43
                                    

Hari selanjutnya.

Aku yang dituduh sebagai pencuri, bagiku adalah bencana yang buruk. Siapapun itu pelakunya. Tentunya itu bukanlah niat yang baik dan didasarkan atas rasa kebencian.

Mencari pelakunya akan sulit. Ini bukan berarti  aku tidak bertanya pada teman sekelas tentang kronologi kejadian sebelum aku masuk kelas. Tapi tak ada seorang pun yang mau bicara padaku. Disaat aku menyadari bahwa aku sudah menjadi musuh dari penduduk kelas karena kejadian kemarin, Malvin yang melihat hal tersebut pada akhirnya mengatakan kata-kata seperti, "udah gue bilang lo itu banyak gak disukai sama anak lain."

Aku bingung. Memangnya sejak kapan aku berbuat salah pada mereka?

---Rasanya tidak ada.

Mustahil semua orang langsung terang-terangan membenciku hanya karena aku tidak bermain lagi dengan Sherly. Diantara banyaknya siswa di kelas seharusnya ada satu atau dua orang yang mau bicara padaku. Tapi ...

Aku menghembuskan nafas. Yah ... setidaknya hari ini tak ada kejadian aneh, dan aku bertahan sampai jam pulang sekolah. Hanya tinggal 5 menit sebelum bel berbunyi.

"Shīna, kan?"

Aku menggadah, bahkan cukup bersemangat ada anak yang menyapaku. "Iya?"

"Ada perlengkapan sama spidol baru yang katanya mau dibagiin. Bisa lo ambil?"

"Sendiri?"

"Lo mau gue temenin?"

Aku mengangguk. Bukannya tidak bisa mandiri. Tapi menahannya disisiku mungkin akan membuat kami menjadi teman.

Anak itu mengacungkan tangan. "Bu saya mau izin ngambil peralatan baru."

Guru yang bertugas langsung mempersilahkan, "untuk anak-anak yang lain bisa langsung beres-beres. Tinggal 3 menit lagi bel."

Semua anak langsung membereskan barangnya, sementara aku pergi keluar mengikuti arahan siswi tadi.

"Kita disuruh ngambil dimana?"

Anak itu tidak menjawab. Aku curi pandang mengintip name tag-nya, -Aluna Nabila.

Aku sepertinya hampir tidak pernah bicara dengan anak ini.

"Cuaca belakangan ini cerah yah. Mataharinya bener-bener terik. Kebayang kalau kita belajar gak pake AC." Aku mencoba berbasa-basi, membuat topik pembicaraan.

Aluna tidak menjawab, ia hanya fokus berjalan, hingga dalam waktu 14 menit kemudian kami sampai tepat di hadapan gedung perpustakaan. Aku menjadi orang pertama yang melangkah masuk, mendahului Aluna.

Tapi begitu beberapa langkah ku buat, ku sadari bahwa anak itu bahkan tidak mengikutiku masuk ke dalam. "Kenapa?" Tanyaku.

Aluna tampak termenung, wajahnya sangat serius. Tak ada senyuman sedikitpun, ia melihat ke arahku. "Lo tau anak yang namanya Arrabele?"

Aku mengangguk.

Tentu saja aku tahu, aku baru dituduh mencuri ponselnya kemarin.

"Kalau gitu. Apa lo tau kalau dia sering kena bully?"

Aku kembali mengangguk. "Itu udah jadi rahasia umum, bukannya gitu?"

Aluna mengiyakan dengan gerakan tubuh. "Apa lo pernah bantu dia? Atau cuman pura-pura gak liat dan pura-pura gak tahu?"

Mataku memicing. Aku punya firasat tidak bagus mengenai kemana percakapan ini akan mengarah. "Aku pura-pura gak tahu," jawabku, pelan.

Aku bukannya orang yang sering membantu korban perundangan seperti Fika ataupun Riposha.

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang