*Bab ini masih ditulis menggunakan TalkBack, mohon maaf jika kurang rapi.*
"Hey, kita mau pergi ke mana?" tanya laki-laki berambut hitam.
Menggandeng lengan gadis yang menuntunnya, laki-laki itu melangkah dengan hati-hati, berusaha agar tidak menginjak kaki sang gadis. Lelaki itu memandang sekeliling, dan mencoba mencari tahu dengan telinganya. Namun, hanya langkah mereka yang terdengar, jadi dia tidak tahu di mana mereka sekarang.
"Kita hampir sampai," jawab gadis berambut putih dengan lembut.
Tak lama kemudian, mereka sampai ke tujuan. Gadis itu mengarahkan agar duduk di bangku kosong, dan laki-laki tersebut mulai meraba-raba untuk mengambil tempat duduk.
"Apa kita sekarang di taman?" tanya laki-laki berambut hitam, hidungnya bergerak-gerak mencium aroma khas bunga.
"Ya," jawabnya.
Lelaki itu memandang sekitar, mengenali setiap bunga yang membuatnya rileks. Namun, saat dia meraba bangku kosong di samping, seketika menjadi bingung.
"Kenapa kamu tidak duduk?"
"Maaf, aku harus pergi." Gadis itu menatap ke bawah, suaranya dipenuhi penyesalan.
Terkejut, laki-laki itu berdiri, dan bertanya dengan takut. "Pergi? Tapi kenapa?"
Alih-alih memberi jawaban, gadis tersebut berbalik dan berjalan menjauh.
"Hey, tunggu!" Laki-laki itu berjalan mengejar, tapi karena tidak ada yang menuntunnya, dia langsung terjatuh.
Tidak ingin merasakan kesendirian yang menakutkan lagi, dia bangun dan terus mengejar bayangan samar sang gadis. Namun, dia tetap tersandung di setiap langkah, tak bisa menggapainya.
"Tidak … tunggu! Jangan pergi!"
Kembali berdiri, dia berjalan sempoyongan sambil meraih-raih sesuatu di depan, tapi hanya udara kosong yang dia dapatkan. Lalu, tanah tiba-tiba hilang, membuat laki-laki itu jatuh ke jurang kegelapan.
***
'…Apa aku sedang bermimpi?'
Jantungku berdebar, tanganku terasa berat, dan pandanganku sangat kabur. Apa aku memang masih bermimpi … tidak, cahaya samar ini…
'Ini kamarku, kan?' Sambil berkedip beberapa kali, aku memandang seisi ruangan.
Yah, aku memang tak dapat melihat dengan benar, tapi tidak salah lagi sensasi empuk ini adalah kasurku. Sedikit tenang, aku mencoba mengingat mimpi yang baru saja terjadi. Namun, aku hanya merasa kehilangan yang tersisa di hatiku…
"Uh, aku tidak ingat," gumamku sambil mencoba bangun, tapi badanku begitu berat. Terutama tangan kiri, seolah ada yang menahannya.
"Hmm, Al? Al … kamu bangun!"
"Eh? Alexia—"
"Syukurlah, syukurlah … kamu sudah bangun…" Memelukku erat, dia membenamkan wajahnya di dadaku.
Aku tidak mengerti kenapa Alexia bisa di sini. Tapi, ketika dia memelukku, aku segera mengingat semuanya. Aku yang bermaksud sembunyi dari King Orc berubah menjadi pertarungan bertahan hidup. Karena aku tidak bisa melihat saat itu, detail pertarungannya sangat samar kuingat.
'Sungguh, ini pertama kalinya aku berada di ujung kematian. Jika tidak ada yang melindungiku…'
"Bagaimana keadaan Piyu?" tanyaku, mengingat sensasi tubuh Piyu yang menyerap setengah tendangan King Orc.
"Piyu masih sulit bergerak, tapi tubuhnya sudah kembali normal," jawab Alexia.
"Syukurlah…"
Aku senang Piyu tidak terluka parah, aku harus memberinya hadiah nanti. Tapi sampai kapan dia terus memelukku? Ini tidak baik bagi jantungku yang baru bangun…
"Maaf, ini semua salahku…" Saat aku memikirkan berbagai hal, gumaman Alexia menyadarkanku.
"Ini bukan salah siapa pun," balasku lembut.
"Tapi, lagi-lagi … karena aku … kamu jadi terluka." Suaranya lemah, genggaman pada bajuku semakin kencang.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, ini hanya kecelakaan," kataku penuh ketegasan. Apa dia masih mengingat insiden pertama di ruang penelitian?
"Tapi…"
"Kamu yang menyembuhkanku, kan? Terima kasih." Aku tersenyum tipis, sambil menepuk punggungnya dengan hati-hati.
Mendengar perkataanku, Alexia buru-buru melepas pelukannya. "M-maaf, apa dadamu baik-baik saja?"
"Masih terasa berat, tapi aku tidak apa."
"…Al." Mungkin karena aku tidak menghadapnya dengan benar, dia bertanya khawatir.
"Mata kiriku akan segera pulih, jadi jangan terlalu dipikirkan," ucapku menenangkan, dan mengganti topik. "Ngomong-ngomong, berapa lama aku pingsan?"
"…Sekitar 6 jam, sekarang jam 8 malam."
"Selama itu?" Mataku melebar heran.
"Ya. Marin juga terus menunggumu bangun, tapi karena sudah malam, dia kembali ke asrama sekarang." Terdengar Alexia menuangkan sesuatu, lalu aku merasakan sentuhan di kulit tanganku. "Minumlah dulu."
"Terima kasih." Mengambil gelas yang diberikan, aku tersenyum kecil danmembawanya ke mulutku.
Meski hanya air putih, itu menyegarkan tenggorokanku yang kering. Aku menatap gelas kosong, memproses semua informasi di pikiranku.
Sekeras apa pun aku melawan King Orc, aku tidak bisa mengalahkannya sendirian. Bahkan jika aku dalam keadaan normal, aku akan menghindarinya. Namun, saat pertarungan terakhir, aku merasa ada yang aneh dengan sihirku, seperti ketika aku pertama kali menggunakan sihir es. Sayangnya, kondisiku begitu buruk, jadi aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi.
'Lalu … kenapa aku bisa di sini? Dan siapa yang mengalahkan King Orc? Apa paman Ben mengalahkan monster tersebut bersama para guru?'
"Alexia, apa yang terjadi pada King Orc?"
"Itu Leon, dia yang mengalahkan King Orc," jawab Alexia, suaranya diwarnai emosi tak terlukiskan.
"Eh, Leon? Kenapa dia?"
Entah mengapa, dadaku terasa sesak. Aku meminta penjelasan detail, menatap Alexia dengan serius meski aku tidak tahu di mana dia duduk. Tapi, suara ketiga mengganggu pembicaraan kami.
Alexia tertawa kecil. "Ayo makan dulu, aku sudah masak tadi. Kamu tunggu di sini."
"Y-ya, terima kasih." Aku memalingkan muka sambil memegang perutku, mengutuknya dalam hati. Aku baru sadar kalau hanya makan pagi tadi…
Tak lama kemudian, langkah Alexia terdengar kembali, membawa aroma sup yang lezat. Aku pun duduk di tepi kasur, bersiap menerima piring dengan tangan terbuka. Namun…
"Aku akan menyuapimu." Bersikeras melakukannya, Alexia memberi suapan pertama dan berkata. "Aaa…"
Meski wajahku memanas, aku makan dengan hati-hati, sambil mendengar penjelasan Alexia. Ternyata, saat kelompok terakhir dalam perjalanan, mereka bertemu Leon. Alexia, yang mengenalinya, segera memimta bantuan dan bergegas ke arahku. Untungnya, mereka sampai tepat waktu saat aku baru jatuh, lalu saat spmuanya berakhir, aku dibawa kembali menggunakan kereta kuda.
'Aku menuduh yang tidak tidak pada Leon, aku harus meminta maaf dan berterima kasih nanti.'
Banyak orang yang menjenguk saat aku tidak sadar, dari Leon, paman Ben, dan para guru pengawas ujian. Bahkan guru Vale datang memberi perawatan pada dadaku agar lebih baik.
Perwakilan akademi juga datang, meminta maaf serta berterima kasih atas apa yang kulakukan. Mereka memberi tahu aku akan menerima kompensasi sepadan karena sudah menyelamatkan para murid. Aku sedikit tidak enak, karena niat awalku ingin bertemu Alexia…
"Dengar, Al! Sepertinya sihir pemulihanku naik ke tingkat lanjut!" Dengan antusias, aku merasa Alexia tersenyum lebar sekarang.
"Wah, selamat, aku senang mendengarnya."
Alexia mulai menjelaskan ketika sihirnya menjadi warna emas. Aku ingin terus mendengar, tapi sayangnya kelopak mataku semakin berat, sehingga aku berbaring kembali. Dia tidak berkomentar kalau aku mendengar dalam posisi ini, jadi aku terus menyimak kisahnya seperti dongeng pembawa tidur.
'Kuharap, saat aku bangun nanti, aku bisa melihat senyumnya.'
KAMU SEDANG MEMBACA
10% Vision
RomanceAl menderita penyakit misterius yang menyebabkan penurunan fungsi penglihatannya secara drastis, hingga mata kanannya tidak bisa melihat lagi. Penyakit itu juga membuat dia dikucilkan oleh lingkungan sekitar, bahkan ejekan dari mereka tidak luput di...