*Bab ini masih ditulis menggunakan TalkBack, mohon maaf jika kurang rapi.*
Akhir-akhir ini, keraguan di pikiranku tidak kunjung hilang meski waktu terus berjalan. Aku butuh pendapat seseorang, tapi aku tidak tahu kepada siapa harus bicara. Hingga orang yang tak terduga datang.
"Jadi, apa kita akan membahas tentang Alexia?"
Ibuku, Larinne, selalu datang memeriksa kondisiku setiap 6 bulan sekali. Ditambah lagi sekarang Marin juga pindah ke akademi di sini, ibu pasti sangat khawatir. Namun, ini sudah melebihi jadwalnya datang, yang membuatku sedikit cemas dan takut terjadi sesuatu.
Tapi sungguh, kenapa ibu bisa bertemu Alexia?
"Itu salah satu yang ingin kubahas," jawabku, menahan pipiku yang berkedut. Kemudian aku mulai bertanya dengan lemah. "Bagaimana kabar ayah? Apa ayah sehat?"
"Ah, ayah tidak apa-apa, kok. Hanya saja, bulan-bulan ini agak banyak pekerjaan, jadi itu sebabnya ibu sedikit terlambat ke sini," jawabnya dengan riang, seolah membuatku tidak perlu khawatir.
Mendengar bahwa tidak terjadi apa-apa, bahuku menjadi turun dan menghela nafas lega. Namun, di saat yang sama, rasa bersalah menusuk hatiku. Sebagai seorang anak, aku seharusnya tidak membiarkan kedua orang tuaku bekerja di masa tuanya, dan aku yang merawat mereka.
Aku bisa saja pulang ke rumah, tapi aku yakin malah menyusahkan mereka. Di sana, kota tempat kelahiranku, guild petualang tidak begitu populer karena monster jarang muncul, membuatku tidak bisa mencari uang dari mengambil misi.
"Maaf, Bu. Aku tidak bisa banyak membantu..." Kedua tanganku yang tersalin terasa sakit, tertusuk kukuku sendiri.
Ibu menghela nafas panjang, tampak kesal. "Sudah berapa kali ibu bilang. Ini adalah tugas kami sebagai orang tua untuk menjaga anak-anaknya, kamu tidak perlu merasa bersalah."
"Meski begitu..." Suaraku bergetar, penuh penyesalan.
"Al, dengarkan ibu. Ibu mengerti apa maksudmu, ibu juga tahu dengan apa yang telah kamu lakukan selama ini, dan ibu sangat berterima kasih."
Suara ibu begitu lembut, membuatku semakin sakit, begitu menyakitkan karena tidak bisa membalas kebaikannya. Namun, itu hanya pikiran negatifku yang terus membayangi. Saat aku mengangkat wajahku yang terus menatap ke bawah, aku melihat senyum ibu.
Wajah ibu, senyumnya yang lembut dan penuh kasih sayang, aku takut tidak bisa melihat itu kembali. Tapi, di saat yang sama,, senyuman ibu dan suaranya berhasil menghapus kekhawatiranku, menyelimuti hatiku dengan kehangatan.
"Ayah dan ibu sudah sangat bahagia hanya dengan melihatmu baik-baik saja, kau tahu?" ucapnya dengan senyum tulus. Kemudian alisnya terangkat, seolah mengingat sesuatu. "Kamu juga mengirimi kami uang, kan? Ibu berterima kasih, tapi apa kamu tidak memaksakan diri?"
"Aku baik-baik saja, lagipula aku tidak bisa mengirim banyak," balasku sambil tersenyum pahit.
"Yang terpenting bukan nominalnya, tapi usaha kerasmu dalam mendapatkannya," kata ibu tegas. "Ibu sangat bangga padamu."
Sudut mulutku terangkat sedikit, membuat senyuman kecil. "Apakah begitu? Terima kasih, Bu."
Sebanyak apa pun aku membalas kebaikan orang tuaku, terutama ibu, aku tidak pernah bisa membalas setetes keringat mereka. Meski begitu, aku ingin membuat mereka bahagia. Aku ingin membuat mereka tersenyum walau pun jika aku tidak bisa melihatnya lagi.
"Jadi, kapan kita akan membahas Alexia?" tanya ibu penuh semangat, matanya bersinar.
"Ugh..."
Aku memang ingin bertanya tentang itu, tapi pergantian topik yang tiba-tiba ini membuat hatiku tak tenang seperti tertiup topan.
KAMU SEDANG MEMBACA
10% Vision
RomansaAl menderita penyakit misterius yang menyebabkan penurunan fungsi penglihatannya secara drastis, hingga mata kanannya tidak bisa melihat lagi. Penyakit itu juga membuat dia dikucilkan oleh lingkungan sekitar, bahkan ejekan dari mereka tidak luput di...