E34 - Ini semua salahku

321 24 1
                                        

Jimin dan Lisa duduk di salah satu ruangan privat sebuah restoran tradisional Korea. Lampu gantung berbentuk lentera kertas menerangi meja mereka, sementara dinding kayu tebal memastikan tak ada yang bisa melihat atau mendengar apa yang terjadi di dalam. Jimin mengenakan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya, matanya tajam mengamati Lisa yang tampak gugup.

"Buktinya udah lo ilangin, kan?" tanya Jimin.

Lisa menelan ludah, lalu mengangguk cepat. "Udah. Narkoba itu gak bakal ketauan asal-usulnya. Keluarga Jackson adalah pemilik dari narkoba itu, dan mereka punya koneksi kuat buat nutupin kasus ini. Mark, Daniel, sama Taeil juga udah kabur ke luar negeri. Jadi polisi gak bakal bisa nyentuh mereka." Suaranya berbisik meski ruangan itu kedap suara.

Jimin tersenyum tipis. Semua berjalan sesuai rencana. Tak akan ada bukti yang memberatkan dirinya. Polisi takkan pernah tahu bahwa saat itu Eunha sedang berada di bawah pengaruh narkoba, dan menjadi korban dari skenario yang sudah dia atur rapi. Video pemerkosaan itu direkam atas perintah Jimin, tanpa satu pun jejak yang mengarah padanya.

"Ck. Mental tempe. Cuma gara-gara video gitu aja sampe bunuh diri," gumam Jimin, nada bicaranya penuh ejekan.

Namun, raut wajah Lisa masih terlihat panik. "J-Jimin... kalo kita ketauan, lo gak bakal ninggalin gue, kan?" tanyanya dengan nada memelas, hampir seperti memohon.

Jimin memiringkan kepalanya sedikit, menatap Lisa dengan ekspresi setengah bosan. "Kita?"

"M-maksud gue Mark, gue dan lainnya." balas Lisa terbata, mencoba memperbaiki kata-katanya.

"Makanya, kalian harus beresin ini dengan benar kan?" Jimin menghela napas pendek, sebelum kembali menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap tajam ke arah Lisa.

Lisa tergagap, buru-buru mengangguk. "T-tentu aja kita bakal beresin semuanya. J-jangan khawatir."

Tanpa berkata apa pun lagi, Jimin berdiri. Ia melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah santai, meninggalkan Lisa yang masih gelisah di balik meja.


~🌸~


Jimin menekan password apartemen dan melangkah masuk ke dalam apartemen Jungkook. Suasana di dalamnya terasa begitu suram. Padahal masih sore, tapi tirai tertutup rapat, membiarkan kegelapan mendominasi. Lampu pun dibiarkan mati, seolah tak ada kehidupan di dalam tempat itu. Dengan gerakan pelan, Jimin meletakkan kantong belanja berisi tteokbokki dan ayam goreng di meja ruang tamu. Dia menekan saklar lampu, dan ruangan akhirnya diterangi oleh cahaya lampu.

Langkahnya terarah menuju kamar Jungkook. Ia mengetuk pintu yang terkunci. "Jungkook? Sayang, buka pintunya," panggilnya dengan lembut.

Hening sejenak sebelum pintu kamar itu berderit terbuka. Di sana, Jungkook muncul. Wajahnya terlihat begitu kacau, mata sembab dan hidung merah karena menangis terus-menerus. Tubuhnya tampak lebih kurus, sepertinya ia telah kehilangan banyak berat badan dalam waktu singkat.

Sudah beberapa hari berlalu sejak kematian Eunha, dan selama itu Jimin belum sempat melihat keadaan Jungkook. Bukan karena dia tak peduli, tetapi karena sibuk memastikan segalanya beres bersama Lisa.

"Sayang..." Wajah Jimin menunjukkan kekhawatiran saat ia menggenggam tangan Jungkook dan membawanya keluar dari kamar. Ia mendudukkan Jungkook di sofa, lalu berlutut di hadapannya.

"Aku tau kamu sedih. Tapi kamu harus makan, kalau enggak, kamu bakal sakit," ujar Jimin sambil membuka bungkus ayam goreng yang dibawanya.

Namun, Jungkook hanya menggeleng pelan, menolak dengan tatapan kosong.

"Jimin, semua ini salahku..." suara Jungkook terdengar serak, penuh rasa penyesalan yang membebani dadanya. Air matanya kembali tumpah, membasahi wajah yang sudah begitu lusuh. Tanpa berpikir panjang, Jimin langsung merengkuhnya dalam pelukan.

"Nggak, Jungkook. Ini bukan salah kamu," bisik Jimin dengan nada yang lembut, tangannya mengelus punggung Jungkook untuk menenangkannya. "Kamu nggak tau apapun tentang keadaan Eunha. Jadi berhenti nyalahin diri kamu sendiri."

Jungkook membenamkan wajahnya di dada Jimin, isakan tangisnya semakin keras, membuat kaos yang Jimin kenakan basah oleh air mata. "Seharusnya aku ada di sana, di masa-masa sulitnya," kata Jungkook di sela tangisnya, suaranya gemetar. "Kalau aja aku tau dia sedang depresi... aku pasti ada di sisinya untuk mendukungnya. Dengan begitu, dia nggak akan bunuh diri."

Jimin mengelus belakang kepala Jungkook dengan penuh kasih sayang. "Yah... ketidaktahuan memang sebuah dosa," gumamnya dengan suara pelan.

Jungkook mendongak dari pelukan itu, menatap Jimin dengan dahi berkerut. "Apa?" tanyanya, merasa samar-samar mendengar sesuatu yang aneh.

"Bukan apa-apa, sayang," Jimin menjawab cepat dengan senyum tipis. Ia mencium mata Jungkook yang sembab. "Kamu makan dulu, ya. Kamu bisa sakit kalau terus begini. Liat badan kamu jadi makin kurus."

Namun, Jungkook menggeleng pelan. "Aku nggak punya nafsu makan sekarang..."

Jimin menghela napas. "Kalau kamu nggak makan, aku juga akan mogok makan. Aku nggak akan makan apapun sampai kamu mau makan lagi," ucapnya tegas, matanya menatap Jungkook dengan ekspresi serius.

Jungkook langsung mengusap air mata di wajahnya. "Jangan. Kamu bisa sakit kalau nggak makan," katanya sambil menggenggam tangan Jimin, nadanya penuh kekhawatiran.

"Makanya ayo makan bareng. Aku khawatir sama kamu, sayang," kata Jimin sedih.

"Sebagian juga kesalahanku." suara Jimin mulai bergetar, dan air mata perlahan menetes dari sudut matanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dekat sama kamu... mungkin kamu masih sama Eunha. Ini semua salahku..."

Jungkook tertegun, ekspresi khawatirnya berubah menjadi panik saat melihat air mata Jimin. "S-sayang, jangan berpikir begitu. Ini bukan salah kamu," katanya dengan suara lirih, tangannya bergerak ragu untuk menghapus air mata Jimin.

Jimin mendekat, tangannya yang dingin menyentuh bahu Jungkook. Dengan suara yang nyaris seperti bisikan, dia berkata pelan di telinga Jungkook, "Aku juga ngerasain hal yang sama dengan kamu, Jungkook. Secara nggak langsung, aku udah membunuh Eunha."

Senyum tipis melengkung di bibirnya, tapi mata Jimin tetap tajam, memantau setiap reaksi Jungkook.

Jungkook terlihat membatu. Ucapan itu menggema di kepalanya, menciptakan labirin rasa bersalah yang semakin dalam. "Secara nggak langsung... aku telah membunuh Eunha," pikirnya. Kepalanya terasa berat, pandangannya mulai kabur oleh air mata yang kembali tumpah.

"Jungkook yang malang," bisiknya lirih penuh kasih. "Semua kesedihan kamu pasti akan berlalu." Jimin menatap mata Jungkook dalam dalam. Ia memeluk Jungkook sekali lagi, mengusap punggungnya perlahan untuk menenangkannya.

"Yaudah, sekarang kita makan, ya?" Jimin melanjutkan dengan nada yang lebih ringan. Tangannya dengan lembut menepuk bahu Jungkook, mencoba mengangkat suasana yang terasa begitu menekan.

Jungkook mengangguk pelan, tubuhnya terasa lemah, pikirannya terlalu kalut untuk menolak.

Mereka akhirnya makan bersama di meja makan yang sunyi, hanya diiringi suara sendok dan garpu yang bersentuhan. Perlahan, luka itu mungkin akan sembuh oleh waktu. Dan Jimin? Dia akan tetap ada di sana untuk mendukung Jungkook. Atau mungkin... diam-diam menunggu saat untuk menghancurkannya?


















A/N : Babak baru penderitaaan Jungkook akan segera dimulai nih. Untuk para pembaca, siapkan popcorn dan kencangkan sabuk pengaman kalian! Roller coaster emosi akan segera berangkat!

Dan jangan lupa support aku dengan cara vote dan komen ya! Thanks💜

The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang