-Flashback-
Jimin yang saat itu berumur 12 tahun menahan tangis selama perjalanan pulang. Kedua tangannya mengepal di atas paha, sedangkan kukunya mencengkeram kain celananya. Mobil terus melaju melewati jalanan berbatu, semakin jauh meninggalkan kota dan semakin dalam memasuki hutan yang sunyi.
Rumah itu berdiri di tengah hutan, tersembunyi dari dunia luar. Tidak ada tetangga, tidak ada yang bisa mendengar teriakan mereka. Hanya ada dia, ibunya, dan pria yang seharusnya ia panggil ayah.
Hari ini adalah hari dimana Jimin tampil di hadapan para kolega ayahnya, memainkan piano dengan sebaik mungkin, dan menjadi anak kebanggaan. Tapi ia gagal. Ia membuat kesalahan.
Dan kini, ia harus menanggung akibatnya.
"Anak sialan! Kamu mempermalukanku!" Suara ayahnya menggelegar di dalam mobil, penuh amarah.
Jimin menggigit bibirnya, menahan isakannya agar tidak pecah. Ia tahu percuma melawan. Semakin ia mencoba membela diri, semakin besar hukuman yang akan ia terima.
Mobil berhenti dengan rem dadakan. Tanpa menunggu, ayahnya turun, membuka pintu samping, dan menyeretnya keluar. Jimin tersandung, hampir jatuh, tapi tangan besar itu mencengkeram kerah bajunya.
"A-ayah, maafkan aku. Kumohon." Suaranya pecah. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia terlalu takut.
Ayahnya tidak menjawab. Ia membuka pintu rumah dengan kasar dan mendorong Jimin hingga tubuhnya terhempas ke lantai yang dingin.
"Jimin!"
Ibunya muncul dari dalam, matanya membelalak panik. Ia langsung berlari, tubuhnya yang rapuh dan penuh memar berdiri sebagai perisai di depan Jimin.
"K-kenapa ini, sayang?" tanyanya dengan suara tergagap, tangannya berusaha menyentuh lengan suaminya, mencoba menenangkannya.
Tapi itu hanya membuat pria itu semakin marah.
"Sialan! Lihat anak tidak berguna itu! Dia sudah mempermalukanku di depan para kolega!"
Wajah ibu Jimin semakin pucat. Dengan cepat, ia berlutut untuk Jimin yang masih terduduk gemetar. Seperti biasanya.
"Maafkan dia sekali ini aja. Dia sudah berusaha yang terbaik."
Plak!
Tamparan keras mendarat di wajah ibunya, membuatnya terhuyung ke samping. Tapi belum selesai sampai di situ. Satu tendangan dilayangkan ke perutnya, membuatnya jatuh ke lantai. Jambakan di rambut menyusul, menariknya ke atas hanya untuk dijatuhkan lagi.
Rumah itu dipenuhi sumpah serapah, suara benda terlempar, dan isakan kesakitan.
Jimin hanya bisa menatap kosong.
Kenapa selalu seperti ini? Sampai kapan ini akan berlanjut?
Pikiran-pikiran itu berputar dalam kepalanya, menciptakan suara bising yang mengaburkan dunianya. Tangannya gemetar, tapi bukan lagi rasa takut-namun karena amarah yang perlahan menguasai tubuhnya.
Tanpa suara, ia bangkit. Kakinya bergerak menuju dapur yang remang. Tangannya meraba meja, lalu matanya menangkap benda itu.
Benda mengkilap yang tajam.
Ia menatap pantulan wajahnya di pisau daging itu-wajah penuh air mata dan amarah.
"Jika terus seperti ini, kita akan terbunuh."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)
FanfictionPark Jimin, dikenal sebagai "The Queen Bee" di HYBE University, adalah sosok yang diidamkan banyak pria, terutama karena pesona dan daya tariknya yang sempurna. Namun, di balik wajah manisnya, Jimin adalah tokoh antagonis yang licik dan kejam. Apa p...