Mimpi buruk

116 14 0
                                    

-Flashback on-

Seorang anak kecil mengenakan seragam dan topi kuning khas taman kanak-kanak berjalan santai menyusuri koridor. Langkahnya kecil namun percaya diri. Wajahnya tampak bersih dan tampan, dengan rona polos yang seharusnya membuatnya tampak seperti anak-anak pada umumnya-tapi tidak. Beberapa anak yang melihatnya tiba-tiba terdiam, sebagian berlari menjauh, bahkan ada yang langsung menangis tanpa alasan yang jelas.

Seorang guru perempuan, dengan wajah yang jelas-jelas menyiratkan kekhawatiran, melangkah mendekat. Ia menggandeng tangan mungil anak itu, menuntunnya menuju perpustakaan yang dihiasi rak warna-warni. Gambar-gambar hasil karya siswa tergantung rapi, melengkapi suasana ceria yang kontras dengan atmosfer canggung yang menyelimuti mereka.

Di dalam perpustakaan, guru itu mengarahkan anak tersebut untuk duduk di sofa. Keduanya duduk dalam diam. Mata anak itu lurus menatap gurunya, dengan tatapannya dingin dan tanpa emosi yang biasanya terlihat pada anak-anak seumurannya. Guru perempuan itu mencoba tersenyum, tapi entah kenapa bulu kuduknya berdiri seperti berada di depan seekor predator yang berbahaya.

"Nak, ibu cuma mau ngobrol sebentar. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya lembut.

Anak itu tidak menjawab. Guru itu menelan ludah, mencoba mengusir kegelisahan. "Nak, ibu mau tanya soal kejadian di taman tadi. K-kenapa kamu tiba-tiba membedah perut kucing itu?" suaranya gagap.

Anak kecil itu diam beberapa saat, lalu akhirnya bicara dengan nada polos yang membuat situasi semakin tidak nyaman. "Kenapa ibu guru keliatan takut? Apa aku menakutimu?"

Pertanyaan itu membuat guru perempuan itu tersentak. Ia mencoba mengatur napas, tapi hatinya semakin gelisah. Anak ini memang selalu berbeda. Ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya, dan seringkali menunjukkan sikap aneh dan menyeramkan.

Anak itu melanjutkan perkataannya. "Aku cuma pengen tau, apa kucing itu hamil atau cuma gemuk," katanya santai, seolah yang ia lakukan adalah hal biasa.

Guru itu menahan napas. "L-lalu... apa kucing itu... hamil atau gemuk?" tanyanya, meski ia tak terlalu ingin mendengar jawabannya.

"Ternyata kucing itu hamil," jawab anak itu masih dengan tatapan kosong tanpa emosi.

"Nak, kamu tau kan kalau itu perbuatan yang tidak baik?" Guru itu mencoba berbicara dengan nada lembut. Ia tahu, anak-anak seusia ini sering kali belum memahami apa yang benar dan salah.

"Aku ga perlu denger ini. Kalau ga ada lagi yang mau dibahas, aku akan pergi," ucap anak itu datar, lalu melompat turun dari kursi yang tampak terlalu besar untuk tubuh mungilnya.

Saat ia melangkah pergi, seorang anak lain yang sedang berlari di koridor tak sengaja menabraknya. Tubuh kecil mereka terjatuh ke lantai dengan bunyi keras.

Bruk!

Guru perempuan itu terlihat terkejut. "Jimin!" panggilnya dengan nada panik.

-Flashback off-


~🌸~


Jungkook terbangun dengan nafas terengah-engah. Peluh dingin membasahi dahinya dan jantungnya masih berdegup kencang. Ia mencoba mengingat mimpi buruk yang baru saja membangunkannya, tetapi ingatannya kabur, hanya menyisakan perasaan tak nyaman yang mencengkeram.

Dengan lelah, ia mengusap wajahnya. Pandangannya menyapu sisi ranjang kosong di sebelahnya. Jimin tidak ada di sana. Jungkook bertanya-tanya, mungkin Jimin sudah bangun lebih dulu. Ia bangkit, mengenakan kaos yang nyaman, dan berjalan menuju dapur. Dari kejauhan, aroma roti panggang menyambutnya, dan di sana, Jimin berdiri membelakanginya, sibuk menyiapkan sarapan.

Tanpa suara, Jungkook melingkarkan lengannya di pinggang Jimin dari belakang, membenamkan wajahnya di leher pria mungil itu.

"Oh, kamu udah bangun," ujar Jimin lembut, suaranya menghangatkan udara pagi yang dingin.

Jungkook hanya bergumam kecil, enggan melepaskan pelukan itu. Jimin tersenyum tipis, walau sedikit kesulitan memasak karena Jungkook yang masih memeluk erat. "Sayang, aku hampir selesai. Duduklah dulu," katanya sambil tertawa kecil.

Jungkook mencium pipi Jimin singkat sebelum menurut dan duduk di meja makan. Saat ia menunggu, ponselnya bergetar di atas meja. Nama Namjoon muncul di layar. Dengan cepat, Jungkook mengangkatnya.

"Sorry, Kook," suara berat di ujung sana terdengar lelah. "Gue masih belum nemuin apapun soal kasus Eunha."

Ucapan itu membuat rahang Jungkook mengencang. "Ga ada satupun? Lo udah nyelidikin ini berbulan-bulan, Hyung," balasnya kesal.

"Gue udah ngelakuin yang terbaik. Bukti autopsi dari kantor polisi terlalu sulit didapat. Orang-orang yang lo suruh gue wawancarai juga nutup mulut rapat-rapat," jelas Namjoon.

"Gue bayar lo buat nyelidikin ini, bukan buat denger alasan kayak gini, Hyung!" Jungkook meluapkan emosinya, tangannya mengepal di atas meja.

"Gue ngerti, Kook. Tapi ini bukan hal yang mudah-"

"Gue ga peduli seberapa sulitnya. Gue mau hasil! Gue ga mau tunggu lebih lama lagi!" Jungkook memutuskan panggilan itu dengan kasar, melemparkan ponsel ke meja dengan bunyi yang cukup keras.

Jimin, yang baru saja selesai memasak, datang dengan dua piring di tangannya. Ia menaruh toast di depan Jungkook, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Ada apa, sayang?"

"Namjoon belum dapetin apapun soal Eunha," jawab Jungkook, suaranya dipenuhi keputusasaan. "Rasanya kita cuma berputar-putar di tempat yang sama. Ga ada jalan keluar."

Jimin menatap Jungkook, matanya mencerminkan kekhawatiran yang dalam. Setelah hening beberapa saat, ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah kamar. Ketika ia kembali, di tangannya ada sebuah map cokelat. Ia menyerahkannya tanpa bicara.

Jungkook memandangnya bingung sebelum akhirnya membuka map itu. Jemarinya gemetar saat melihat apa yang ada di dalamnya. Hasil penyelidikan dari Jimin mengejutkannya. Ada daftar panggilan telepon antara beberapa orang dengan ketiga individu yang terlibat di hari kejadian. Lebih dari itu, laporan tersebut menyebutkan bahwa narkoba menjadi salah satu elemen yang bermain di balik kasus ini.

Jungkook membeku sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia temukan. Pikirannya bercampur aduk antara rasa lega dan bingung. Bagaimana Jimin bisa mendapatkan fakta-fakta ini? Ia sendiri sudah mencurahkan segala usaha selama berbulan-bulan tanpa hasil yang berarti.

"Aku nyuruh firma hukum Daeyoung Group untuk menyelidiki secara diam-diam," ujar Jimin sambil tersenyum kecil. "Dan beruntung kita berhasil dapetin ini."

Jungkook berdiri dari kursinya, langkahnya cepat menghampiri Jimin. Dengan perasaan bahagia, ia merengkuh tubuh Jimin dalam pelukan erat. "Terima kasih, sayang. Terima kasih udah bantu aku," ucapnya penuh kehangatan. Sorot matanya berkilat dengan harapan baru. Ia yakin jika menyelidiki berkas ini lebih jauh, ia akan menemukan bukti-bukti tambahan yang selama ini hilang dari pandangannya.

Namun ada sesuatu yang tidak Jungkook ketahui-berkas itu telah dimanipulasi. Salah satu dokumen, yang memuat daftar bandar narkoba tempat Mark mendapatkan barang haramnya, adalah palsu. Tak peduli seberapa keras Jungkook mencoba, penyelidikan ini akan menemui jalan buntu.

Jimin tersenyum kecil, membalas pelukan Jungkook dengan lembut. "Sama-sama, sayang. Aku juga ngerasa aku punya tanggung jawab atas semua ini. Jadi, aku udah lama melakukan penyelidikan sendiri," katanya dengan nada tenang, menutupi rahasia besar yang ia simpan.


















Jangan lupa support aku dengan cara vote dan komen ya! Thanks💜

The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang