Kematian Jungkook

634 25 1
                                        

Jimin berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit, suara langkah sepatunya menggema di lantai yang mengkilap. Bau khas antiseptik bercampur dengan aroma samar kopi dari meja perawat, memenuhi penciumannya.

Sampai di meja administrasi, ia mengetuk konter kayu dengan ujung jarinya, menarik perhatian seorang suster yang sedang sibuk menatap layar komputer.

"Aku mau bertemu dengan dokter Lee," ucapnya tanpa basa-basi.

Suster itu menoleh, tersenyum sopan. "Tentu, Tuan. Apa Anda sudah membuat reservasi?"

"Ya," jawab Jimin singkat.

"Kalau begitu, saya akan mengabari dokter Lee. Mohon tunggu sebentar."

Suster itu segera mengambil telepon, suaranya terdengar sopan saat berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sementara itu, Jimin menyandarkan tubuhnya ke konter, mengetuk-ngetukkan jarinya dengan ritme lambat, jelas tidak sabar.

Lima menit berlalu sebelum seorang pria berusia cukup tua datang. Senyum ramah tergambar di wajahnya saat ia mengulurkan tangan.

"Selamat malam, Tuan Park."

Jimin tidak membalas. Ia hanya melirik sekilas sebelum berjalan melewatinya.

Dokter Lee tidak menunjukkan ekspresi terganggu. Jelas dia sering berhadapan dengan keluarga konglomerat yang sombong. Dengan tenang, ia melangkah mengikuti Jimin menuju lift. Keduanya naik ke lantai tiga, suasana dalam lift sunyi, hanya terdengar suara dengungan mesin yang bekerja membawa mereka ke atas.

Saat tiba di lantai yang dituju, tidak ada tanda-tanda orang lain di depan kamar Jungkook. Wajar, sekarang bukan jam kunjungan. Rumah sakit sudah jauh lebih sepi, hanya suara langkah kaki petugas sesekali terdengar dari kejauhan.

Ia berhenti di depan pintu kamar yang dicari, menatap gagangnya sebelum akhirnya meraihnya dengan perlahan.

Jungkook terbaring di atas ranjang rumah sakit, tubuhnya nyaris tak terlihat di balik selimut putih yang membungkusnya. Kabel-kabel dan selang infus menjulur dari lengannya, menghubungkannya dengan berbagai alat medis yang terus berbunyi monoton. Lampu redup di dalam ruangan membuat bayangan samar di dinding, menciptakan suasana yang semakin dingin tanpa harapan.

Jimin mendekat, nyaris tanpa suara. Ia menatap sosok yang kini tak lebih dari tubuh ringkih yang bertahan hidup hanya karena mesin.

"Menyedihkan," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ritme stabil monitor detak jantung.

Jungkook yang baru-baru ini berdiri tegak, menatapnya dengan tatapan tajam penuh kebencian, kini terbaring tak berdaya. Wajahnya hampir tak bisa dikenali di balik perban yang menutupi luka-luka yang pasti menyakitkan.

Jimin menyilangkan tangannya, mengalihkan pandangan ke dokter Lee yang berdiri tak jauh darinya. "Apa ada peluang dia bisa hidup?"

Dokter paruh baya itu menggeleng sebelum menjawab, "Peluangnya sangat kecil. Bahkan jika dia sadar, kemungkinan besar dia akan berada dalam kondisi vegetatif seumur hidupnya."

Jawaban itu membuat Jimin tersenyum kecil. Tatapannya kembali tertuju pada Jungkook. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi yang dibalut perban dengan lembut, seolah-olah membelai sesuatu yang rapuh.

"Padahal dulu aku sangat mencintaimu, Jungkook." Suaranya datar, namun jika diperhatikan baik-baik, ada kepahitan samar yang terselip di dalamnya. "Kamu yang membuatku seperti ini."

Sesaat, ada kilasan emosi di wajah Jimin. Sesuatu yang mirip dengan kesedihan. Namun itu hanya sekejap. Ia menggeleng kecil, menepis perasaan bodoh yang sempat muncul. Tidak, ini bukan saatnya ragu.

The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang