Jimin terbangun dalam kegelapan. Pandangannya buram, dan kepalanya berdenyut pusing. Ia bisa merasakan sekelilingnya terasa begitu pengap, seakan-akan udara di ruangan itu berat dan lengket.
Tubuh Jimin terasa sakit, sisa-sisa dari pingsannya yang berkepanjangan di sebuah kursi keras. Dengan susah payah, Jimin mencoba menggerakkan tubuhnya, namun segera terhenti oleh rasa perih dari tali yang melilit pergelangan tangannya. Ini membuat Jimin sadar, dia sedang diculik.
Jimin berteriak dengan suara panik, "Seseorang! Tolong! Siapapun!" Suaranya menggema di ruangan yang sepi, menembus keheningan malam yang mencekam.
Di balik kegelapan, terdengar suara langkah kaki pelan, bergema dari dalam bayangan. Dengan emosi yang mudah meledak, Jimin kembali berteriak, "Siapa di sana! Cepet lepasin gue sekarang juga! Lo nggak tahu keluarga gue siapa, Hah?!" Suaranya penuh dengan amarah dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
Tak lama setelah itu, terdengar tawa kecil yang mengejek. Di saat yang bersamaan, sebuah saklar lampu di dekat pintu masuk ditekan, menerangi ruangan dengan cahaya kuning lampu yang redup.
Jimin mengerjapkan matanya. Tempat itu terasa familiar. Ia dapat melihat dinding ruangan itu dipenuhi oleh deretan foto polaroid yang tergantung miring. Namun ia tak dapat melihat apa isinya.
Matanya kemudian tertuju pada sosok di depan pintu: seorang pria berhoodie hitam yang berdiri dengan tenang, tanpa gerakan yang berarti. Jimin berusaha untuk melihat wajah pria itu dengan jelas, namun semua usahanya sia-sia.
"Siapapun lo, kalo lo mau uang, gue bisa kasi! Jadi lepasin gue sekarang juga!" Suaranya panik.
Pria berhoodie itu hanya diam. Tubuhnya terlihat jauh lebih besar, sehingga membuat Jimin semakin khawatir ia tak akan bisa kabur dengan mudah. Pria itu mendekat. Dengan setiap langkah yang diambil, rasa khawatir merayap di dalam diri Jimin.
Pria itu sampai di hadapannya, tangannya terangkat perlahan seolah hendak menyentuh wajah Jimin. Saat jarak antara mereka semakin berkurang, Jimin memaksa matanya untuk melihat dengan jelas. Dan di balik tudung hitam itu, wajah yang sangat dikenalnya perlahan tersingkap. Wajah itu begitu familiar, wajah yang seharusnya terbaring di dalam peti mati.
"Jungkook?" Gumam Jimin tidak percaya, seolah fakta itu baru saja menghantam dunia di sekelilingnya.
Ia mengingatnya dengan jelas, Jungkook sudah mati di rumah sakit. Namun, kini di depannya, berdiri sosok Jungkook. Wajah pria itu berseri-seri, senyum lebarnya menampakkan gigi putih yang rapi.
"Jungkook? Gimana mungkin?" tanya Jimin masih tak percaya.
Jimin berpikir apakah ia sedang bermimpi. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap Jungkook yang memandangnya dengan intens.
Ini pasti ulah iblis yang menyamar menjadi Jungkook untuk mengacaukan pikirannya.
"Kamu terlalu naif, Park Jimin," Jungkook akhirnya membuka suara. Tanpa banyak bicara, ia mendekat dan mencengkeram pipi Jimin, memaksanya untuk menatapnya lebih dekat.
"Lihat aku, sayang. Apa aku terlihat tidak nyata bagimu?" tanya Jungkook.
Jimin merasakan cengkeraman tangan Jungkook semakin keras, dan itu membuatnya meringis. "Apa lo hantu Jungkook yang muncul untuk membalas dendam?" tanyanya dengan susah payah.
Tiba-tiba, Jungkook tertawa kecil. Lalu setelah beberapa saat, tawanya mereda. "Haa... kamu masih saja lucu, ya."
"Jelaskan, apa-apaan semua ini, Jungkook?" desak Jimin.
Tanpa menjawab, Jungkook berjalan menjauh menuju tembok yang dipenuhi banyak foto polaroid. "Aku sudah lama mengincarmu, Jimin."
Jimin menyipitkan mata, berusaha menyesuaikan penglihatannya dalam gelap. Saat itu, tiba-tiba sesuatu menyeruak ke dalam pikirannya. Tempat ini... bukankah ini kamar di rumah tua di tengah hutan yang dulu ia tinggali?
Dalam keheningan yang pekat, Jimin mulai mengenali setiap detail ruangan itu. Semua furniture masa kecilnya masih utuh, berdiri kokoh seolah waktu tak pernah menyentuhnya. Sebuah ranjang kayu usang, lemari kecil, serta meja belajar yang dulu menjadi tempat favoritnya.
Perlahan-lahan, matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Sehingga ia dapat melihat foto-foto polaroid yang tergantung di dinding ruangan itu. Beberapa foto itu adalah foto dirinya saat di masa-masa SMA. Jimin merinding. Bagaimana mungkin foto-foto itu ada di sini? Ia tidak pernah mengenal Jungkook sebelumnya.
"Apa kamu suka foto ini?"
Jungkook mengambil sebuah foto polaroid dari dinding, lalu menatapnya dengan pandangan yang penuh arti. "Yang ini memang cantik. Kamu baru pulang sekolah sama teman-temanmu. Oh, lihat, ada Seungmin juga. Orang yang kamu bunuh."Jimin tersentak mendengar kata-kata itu. Apa Jungkook tahu masalah itu juga?
Meskipun begitu, Jimin mencoba tetap tenang. Wajahnya menyeringai sinis, seolah menantang pernyataan yang baru saja didengarnya. "Apa ini? Apa lo berhubungan sama si sialan Seungmin itu? Terus berusaha balas dendam seperti di drama-drama picisan?"Tanpa menjawab, Jungkook mendekat lagi. "Apa kamu pikir ini film?" ujarnya datar, "Siapa yang peduli dengan cecunguk itu? Yang aku peduli hanya... apa yang kamu lakukan padanya." Saat itu, senyum Jungkook semakin lebar, membuat suasana di ruangan itu semakin mencekam.
Jimin merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, seolah ia sedang berhadapan dengan seekor predator. Dengan suara yang mengecil karena gentar, ia bertanya, "Maksud lo apa?"
Di hadapannya, Jungkook tampak begitu berbeda. Ia berjongkok pelan di depan Jimin dan berkata, "Jimin. Mungkin kamu belum tahu ini, tapi kita sangat mirip. Mulai dari hobi, sifat, hingga... keinginan untuk membunuh."Kata-kata itu membuat Jimin bingung. "Keinginan membunuh? Lo udah gila ya?" teriaknya, berusaha melepaskan diri dari tali yang masih mengikatnya.
"Aku juga penderita ASPD. Sama sepertimu."
Namun Jimin seperti tidak memperhatikan. Ia terlalu sibuk memberontak dan berusaha lepas dari tali yang mengekangnya.
Jungkook menghela napas. "Ayolah. Aku sudah lama menunggu momen ini. Kamu tahu berapa lama aku harus menahan diri untuk tidak langsung menculik mu di pertemuan pertama kita?" ucapnya dengan nada sedih yang dibuat-buat.
Tanpa jeda, Jungkook merogoh kantong hoodienya dan mengeluarkan sebuah jam perak yang berkilauan. Ia mengangkat jam itu di depan wajah Jimin, "Aku bahkan membantumu menyingkirkan orang yang kamu benci. Lihat jam tangan ini. Aku mengambilnya untuk dijadikan soufenir. Bukankah itu menarik?" ujarnya sambil tersenyum puas, lalu perlahan menyimpannya kembali ke dalam kantongnya.
Wajah Jimin berubah drastis. Itu adalah jam tangan milik Yoongi yang sering dipakainya. "Maksud lo? Yoongi udah... mati?" tanyanya, suaranya nyaris pecah karena keterkejutan.
Jungkook menoleh dengan santai, sambil tersenyum tipis, "Ya. Kamu tidak keberatan, kan?"
Jimin bergumam kecil, "Dasar psikopat gila..."
"Haha, Yah, aku memang sudah melakukan hal gila. Sejak pertama kali aku melihatmu membunuh Seungmin, aku benar-benar ingin memilikimu. Aku mengawasi setiap langkahmu selama 4 tahun—mengikutimu sampai masuk universitas yang sama, bahkan mengikuti semua permainan kecilmu. Hingga akhirnya, sekarang aku tak perlu pura-pura lagi."
Kepala Jimin sibuk berputar, memikirkan tentang hal yang sedang ia alami saat ini. Apa-apaan ini? Seorang pemburu, kini menjadi yang diburu? Jimin menatap Jungkook yang berdiri di depannya. Sejak awal, ia telah dibodohi.
Masih dengan senyuman, Jungkook mendekat, meraih dagu Jimin dengan lembut, dan mencium bibirnya sekilas. "Sekarang, kamu tak akan bisa pergi dariku, Jimin. Karena sampah sepertimu, harus bersama dengan sampah sepertiku."
-Tamat-
Terima kasih bagi para pembaca yang sudah membaca buku ini sampai tamat. See you in the next project! Byeee

KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)
FanfictionPark Jimin, dikenal sebagai "The Queen Bee" di HYBE University, adalah sosok yang diidamkan banyak pria, terutama karena pesona dan daya tariknya yang sempurna. Namun, di balik wajah manisnya, Jimin adalah tokoh antagonis yang licik dan kejam. Apa p...