E30 - Berbaikan

141 15 1
                                    

Jungkook dan Jimin melangkah keluar dari gedung kantor polisi. Langit gelap tanpa bintang menggantung berat, menekan atmosfer di antara mereka. Jungkook berada di depan, langkahnya tegas dan dingin, sementara Jimin mengikuti di belakang dengan enggan.

Saat mereka mencapai parkiran, Jungkook mendadak berhenti. Dia memutar tubuhnya dengan tajam, menatap Jimin dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kita perlu bicara."

Jimin berhenti dan mengangkat dagunya dengan angkuh. Dia menyilangkan tangan di dada. "Apa lagi, Jungkook? Apa belum cukup drama tadi?" tanyanya, sinisme menyusup ke dalam suaranya.

Nada itu, seolah menambahkan bara pada api yang sudah menyala. Wajah Jungkook mengeras. "Apa? Kamu pikir aku seneng di bawa ke kantor polisi dan diinterogasi?" nada suara Jungkook meninggi sedikit.

Jimin mendengus, bola matanya bergulir seolah tak percaya. "Kalo kamu nggak asal pukul, kita nggak bakal ada di sini," balasnya kesal.

Jungkook melangkah maju, jarak di antara mereka hampir tak ada. Dia menatap Jimin tajam, matanya mengunci seperti sedang menahan amarah yang hendak meledak. "Aku punya alasan. Kamu pergi ke klub sama cowok lain, Jimin! Kamu pikir aku bakal diem aja?"

"Dia cuma temen aku, Jungkook. Kamu berlebihan!" sergah Jimin cepat. "Kamu nggak punya bukti apapun kalo aku selingkuh, tapi kamu langsung nyerang dia gitu aja kayak orang gila." Jimin mengehela napas lelah. Jarinya memijat pelipis.

Kata-kata Jimin itu membuat Jungkook terdiam sejenak. Bibirnya terbuka seolah ingin membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Jimin ada benarnya, itu hanya asumsinya semata. Dia telah dikendalikan oleh rasa cemburu dan telah menyakiti orang yang tak bersalah.

Namun, rasa amarah masih memenuhi dirinya. "Terus kenapa kamu nggak pernah hubungin aku belakangan ini? Kenapa kamu ngejauh, Jimin?"

Jimin mengalihkan pandangan, tidak ingin menjawab. Perilaku Jimin membuat Jungkook geram. Mengapa kekasihnya itu tak bisa mengungkapkan kekesalannya dengan kata-kata. Bagaimana cara ia bisa mengetahui penyebab kekesalan pria manis itu?

Jungkook menghela napas berat. "Apa ini gara-gara kejadian waktu itu? Apa karena aku hampir bikin kita celaka di depan resto?"

"Cukup, Jungkook!" potong Jimin, suaranya menggema tajam di udara yang dingin. "Aku sibuk, oke? Itu aja. Jadi jangan parno cuma gara-gara aku ga ngehubungin kamu selama beberapa hari. Aku juga butuh waktu sendiri."

Jungkook tertawa pelan. "Sibuk?" Nadanya meninggi. "Kamu pikir aku bakal percaya?"

Jimin mendesah, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya yang hampir kehilangan kendali. Dia mengusap wajahnya dengan tangan, seolah mencoba menghapus rasa frustrasi. "Kamu kenapa kayak gini, Jungkook. Selama ini kita kan baik-baik aja. Kalo kamu emang se gak percaya ini sama aku, apa gunanya kita pacaran?! Aku capek tau ga ngejelasin hal yang sama terus menerus!" Kesal Jimin lalu berbalik, berniat untuk mengakhiri percakapan ini.

Tapi sebelum dia sempat melangkah pergi, tangan Jungkook dengan cepat mencengkeram pergelangan tangannya. Pegangan itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat Jimin terhenti.

Jimin membeku di tempatnya, tidak menoleh, tapi napasnya terdengar lebih berat. Ada sesuatu yang mendesak dalam genggaman tangan Jungkook, sebuah rasa tak nyaman yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Jimin," suara Jungkook berubah, rendah dan mengintimidasi. Namun seketika suara itu digantikan dengan suara lembut yang menenangkan. "Aku minta maaf." Ucap Jungkook dengan ekspresi yang menunjukkan perasaan bersalah.

Perlahan, Jimin menoleh. Ia hanya menatap Jungkook tanpa suara, matanya mempelajari setiap garis di wajah pria itu. Lama sekali, seolah dia menimbang sesuatu di dalam benaknya. Jungkook menunduk sedikit, seperti seorang anak kecil yang takut dimarahi.

Akhirnya, Jimin menghela napas berat, memberikan kesan seolah dia melunak. Tapi senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya menyatakan sebaliknya.

Langit yang kelabu mulai menjatuhkan butiran gerimis, menambah suasana yang sudah berat. "Oke," katanya pelan. "Aku maafin kamu. Tapi dengerin aku baik-baik, Jungkook."

Jungkook menatapnya dengan penuh harap.

"Jangan pernah kayak gini lagi," lanjut Jimin. "Jangan nuduh aku tanpa bukti. Jangan juga bikin aku ngerasa kalo kamu nggak percaya sama aku. Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan tanpa adanya rasa percaya, Jungkook."

Kata-kata Jimin menusuk tepat ke hati Jungkook. Dia menundukkan kepalanya sejenak, mengakui kesalahannya tanpa perlu berkata-kata. Saat dia kembali menatap Jimin, matanya dipenuhi penyesalan yang mendalam. "Aku janji, Jimin," ucapnya dengan penuh ketulusan. "Aku bener-bener nyesel. Aku janji bakal berubah."

Jimin mengangguk kecil. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jimin menautkan tangannya pada tangan Jungkook.

Mereka melangkah ke tepi jalan, mengangkat satu tangannya untuk memanggil taksi. Hujan yang perlahan deras membasahi rambut mereka, dan dengan segera Jungkook melepaskan jaketnya untuk memayungi Jimin. Saat sebuah taksi berhenti di depan mereka, Jimin membuka pintu tanpa banyak bicara.

Keduanya masuk ke dalam, duduk berdampingan di kursi belakang. Suara hujan di atap mobil mengiringi keheningan di antara mereka. "Ke apartemen Hannam," kata Jungkook kepada supir.

Setibanya di apartemen, suasana di antara mereka masih terasa berat. Jungkook membuka pintu dengan gerakan pelan, membiarkan Jimin masuk lebih dulu. Suara deras hujan dari luar menjadi latar belakang yang monoton, menambah rasa dingin di ruangan bernuansa hitam ini.

Jimin berjalan masuk, melepas sepatunya dengan langkah malas sebelum menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia membuka jaketnya yang sedikit basah dan melipatnya dengan asal, menaruhnya di lengan sofa. Pandangannya melayang ke arah Jungkook, yang berdiri di dekat dapur dengan tangan di saku, matanya menatap lantai, seolah ragu untuk mendekat.

"Jungkook," panggil Jimin akhirnya, suaranya lembut. "Sini."

Jungkook mengangkat wajahnya, tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat. Dia duduk di sebelah Jimin, menjaga jarak tipis di antara mereka.

Jimin menatap Jungkook dengan sorot mata yang sulit dibaca-seperti sebuah rasa puas karena telah menang dalam pertengkaran besar ini. Tanpa banyak bicara, dia mengangkat tangannya, menyentuh wajah Jungkook dengan lembut. Jungkook tidak menolak ketika Jimin menarik wajahnya lebih dekat.

Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panjang dan dalam. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan malam yang diisi oleh suara kecipak bibir yang beradu, dan suara hujan yang memenuhi latar.

Namun, di balik momen itu, Jungkook merasakan sesuatu yang salah. Pikiran-pikiran gelap mulai menyelinap, menguasai dirinya. 'Kenapa ciuman ini terasa dingin?' pikir Jungkook. 'Kenapa aku ngerasa kalo kamu nggak sepenuhnya ada di sini, Jimin?'

Ketika ciuman itu berakhir, Jimin tersenyum kecil. Ia mengelus pipi Jungkook, sentuhannya ringan, dan terasa nyaman.

"Apa yang kamu pikirin, Sayang?" Tanya Jimin dengan suara lembut. Tatapan kosong Jungkook menarik perhatiannya.

"Bukan apa-apa, Hyung."

Jimin tersenyum tipis. "Aku berharap kita bisa tetap seperti ini. Aku milik kamu, dan kamu cuma milikku, Jungkook." Ucap Jimin, menenggelamkan wajahnya di tengkuk Jungkook.

Jungkook hanya mengangguk pelan. Kata-kata Jimin mungkin terdengar romantis, tapi perasaan tak nyaman itu terus menghantui pikirannya. Rasanya seperti... terperangkap. Seperti berdiri di tengah jaring laba-laba yang perlahan-lahan menjerat tubuhnya. Jaring transparan yang halus namun mematikan.


















Jangan lupa support aku dengan cara vote dan komen ya! Thanks💜

The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang