Jimin terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Kegelapan kamar itu hanya diterangi oleh sedikit cahaya dari celah jendela yang tertutup tirai. Aroma alkohol dan parfum mahal masih melekat di udara. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Tempat ini sangat familiar-salah satu kamar VIP di klub yang sering ia datangi.
Dengan gerakan lambat, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layar menunjukkan pukul 5 pagi. Namun yang menarik perhatiannya adalah 20 panggilan masuk dari Jungkook sejak jam 1 malam tadi.
Ia mendesah lelah, lalu menoleh ke sisi tempat tidur. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Namun tubuhnya sendiri memberikan banyak jawaban-ia telanjang, badannya terasa nyeri, dan ada rasa perih di lubangnya. Seketika, ingatan samar-samar tentang malam sebelumnya mulai memenuhi pikirannya.
"Sshh... Min Yoongi," desisnya pelan sambil menyentuh lubang analnya yang lecet. Tubuhnya terasa berat saat ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Langkahnya tertatih menuju kamar mandi. Ia menyalakan lampu dan menatap bayangan dirinya di cermin besar di atas wastafel.
Bekas-bekas di tubuhnya langsung mencuri perhatian. Lehernya penuh dengan tanda merah bekas cupangan dan juga... 'Bekas apa ini?' Tangannya perlahan menyentuh bekas cengkeraman yang begitu jelas, membentuk lingkaran merah gelap di kulitnya.
"Bajingan itu..." gumamnya, suaranya penuh dengan kejengkelan. Rasa sakit membuatnya meringis kecil. "Apa dia nggak bisa lebih lembut? Sial."
Jimin menghela napas panjang dan meraup air dingin dari wastafel untuk membasuh wajahnya. Sekarang bagaimana caranya ia menyembunyikan semua bekas ini dari Jungkook? Butuh waktu beberapa hari hingga bekas-bekas ini memudar.
Tak ambil pusing, ia pun kembali ke kamar dan memungut pakaian yang berantakan di lantai. Crop top dan jeansnya penuh kerutan, namun itu tak lagi penting. Dengan tergesa-gesa, ia memasukkan crop top itu ke dalam tasnya dan memakai sweater yang ia gunakan sebelum pergi.
Saat ia melangkah keluar, pikirannya sibuk mencari cara untuk menghadapi Jungkook. Jam menunjukkan masih terlalu pagi; jadi Jungkook mungkin masih tertidur pulas di apartemen mereka.
Jimin menarik napas dalam sebelum meninggalkan klub malam itu. Di luar, langit mulai berubah warna, pertanda hari baru. Tanpa ragu, ia pun masuk ke mobil dan melaju kencang menembus kota Seoul yang anehnya sepi.
.
.
.Jimin memasukkan kode pintu perlahan. Saat pintu terbuka, ia melangkah dengan hati-hati, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia berjinjit melewati ruang tamu yang remang, tetapi usahanya sia-sia.
Begitu ia menyalakan lampu, sosok Jungkook sedang duduk di meja makan dapur mereka. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, wajahnya tertunduk dalam.
Jimin menahan napas. Atmosfer berat serasa menyelimuti ruangan.
"Kamu kemana aja?" suara Jungkook terdengar serak dan berat. Wajahnya terangkat perlahan. Lampu di atas meja memancarkan cahaya redup yang membuat kantung matanya tampak lebih jelas. Ekspresinya lelah dan rambutnya berantakan. Ia terlihat seperti orang yang habis terjaga semalaman.
Jimin tergagap, tetapi ia memaksakan senyum. "A-aku dari rumah Jennie. Kan aku udah bilang kemarin," jawabnya, mencoba terdengar santai.
Jungkook mengulang dengan nada datar, "Rumah Jennie?"
"Iya... Tapi sayang, kenapa kamu keliatan berantakan gini?" Jimin mencoba mengalihkan perhatian.
Namun Jungkook tidak termakan trik itu. "Kenapa teleponnya nggak kamu angkat?" tanyanya dengan pandangan kosong menatap Jimin.
"Semalem aku ketiduran. Jadi aku nggak tau ada telpon masuk dari kamu."
Jungkook tertawa sinis. Ia menunduk, jemarinya mengetuk meja dengan irama pelan sebelum berkata, "Karena itu, aku langsung nelpon Jennie sunbae."
Jimin tertegun. "Ya?" Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, tetapi suaranya mulai bergetar.
"Dia bilang kamu nggak ada di sana."
Jimin membeku di tempatnya. Mulutnya bergerak-gerak, mencoba merangkai kata. 'Sial, gue lupa bilang Jennie buat samain cerita kemarin.' batinnya mencaci diri sendiri.
"Aku nggak kemana-mana kok!" Jimin berseru tiba-tiba, "Atau... kamu tanya ke Taehyung aja. Semalem aku pergi sama dia!"
Jimin menatap Jungkook dengan mata memelas, berharap alasannya kali ini cukup untuk menenangkan situasi. Tetapi Jungkook tidak bergeming. Ekspresinya tetap datar dan sulit ditebak.
Hening melingkupi mereka berdua. Detak jam dinding terdengar jelas di ruangan yang mendadak terasa terlalu sunyi. Dalam kebisuan itu, Jungkook bangkit dari duduknya. Langkahnya pelan menuju Jimin, dan saat ia berdiri tepat di depannya, tangan kuat itu terangkat, dan menarik kerah baju Jimin ke samping.
Jungkook menundukkan kepala sedikit, matanya menelusuri bekas-bekas di leher Jimin. Bekas cupangan yang memalukan, jejak cengkeraman yang memerah di kulit halus itu-semuanya berbicara tentang apa yang terjadi semalam.
Hening melingkupi mereka, hanya napas berat Jungkook yang terdengar di antara keduanya. Ia tahu sejak lama bahwa Jimin selingkuh darinya. Ia hanya memilih untuk berpura-pura tidak tahu, terlalu takut kehilangan satu-satunya orang yang selalu berada di sisinya, yang menjadi alasannya bertahan. Namun kini, rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu menyesakkan, hingga ia merasa muak.
Jimin menelan ludah, mencoba merangkai kalimat yang sekiranya mampu membela dirinya, tetapi ia tak dapat menemukan apapun.
"Jadi, ini yang kamu sembunyikan dari aku?" suara Jungkook pelan, nyaris seperti bisikan. Ia melepas genggamannya perlahan, dan tatapan matanya sendu. "Apa aku belum cukup baik buat kamu, Jimin?"
Pertanyaan itu seperti menggantung di udara. Mata Jungkook mulai berkaca-kaca, menahan rasa sakit yang meluap dari dadanya. Suaranya gemetar saat ia berusaha mengutarakan perasaannya. "Apa semua yang aku lakuin masih nggak cukup?"
Jimin menunduk, tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuh lengan Jungkook. "J-Jungkook, aku bisa jelasin ini..."
Tapi Jungkook tidak menghindar. Air mata mulai mengalir di pipinya, membuatnya terlihat begitu menyedihkan. "Aku cinta banget sama kamu, Jimin..." ucapnya dengan nada yang penuh keputusasaan. "Tapi gimana bisa kamu selingkuh dari aku?"
Jimin menggigit bibir bawahnya. "A-aku mabuk, Jungkook," ucapnya akhirnya, terputus-putus. "Aku nggak bermaksud... aku nggak sadar, aku nggak sengaja. Aku juga cinta banget sama kamu! Aku nggak mungkin ngelakuin ini kalau aku sadar!"
Jungkook mundur selangkah, menatap Jimin dengan ekspresi kekecewaan yang begitu kentara.
"Jungkook, aku mohon dengarin dulu penjelasan aku!" suara Jimin terdengar lebih keras, hampir seperti tangisan. Ia mencoba meraih tangan Jungkook, tetapi pria itu menghindar.
Jungkook menggeleng pelan dengan air mata yang masih mengalir. Ia lalu berkata dengan suara lirih yang terdengar begitu menyakitkan, "Ayo putus, Jimin."
Jangan lupa support aku dengan cara vote dan komen ya! Thanks💜

KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)
FanfictionPark Jimin, dikenal sebagai "The Queen Bee" di HYBE University, adalah sosok yang diidamkan banyak pria, terutama karena pesona dan daya tariknya yang sempurna. Namun, di balik wajah manisnya, Jimin adalah tokoh antagonis yang licik dan kejam. Apa p...