Jungkook duduk di meja makan dengan ekspresi hampa, hanya ditemani cahaya redup dari lampu di atasnya. Pandangannya terpaku pada ponsel yang tergeletak di tangannya. Jarinya bergerak perlahan, membuka satu aplikasi ke aplikasi lain, mencoba menemukan pesan dari Eunha yang mungkin terlewat.
Namun, semakin lama ia mencari, semakin kosong hasilnya. Tak ada satupun pesan dari Eunha. Jungkook mengerutkan keningnya, rasa gelisah merayap ke dalam pikirannya.
Dia kembali ke layar utama ponsel dan membuka kontak. Saat matanya menemukan nama Eunha, jantungnya berhenti sejenak. Tepat di bawah nama itu, status "Terblokir" terpampang jelas. Napasnya seketika tercekat.
Bagaimana mungkin? Ia tidak pernah merasa memblokir Eunha.
Hanya ada satu kemungkinan. Jimin.
Jungkook mendongak, menatap kosong ke arah ruang tamu yang sunyi. Jimin adalah satu-satunya orang yang memiliki akses ke ponselnya. Tapi jika benar Jimin yang melakukannya, kenapa? Kenapa Jimin tidak pernah mengatakannya?
Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Pikirannya berputar-putar tanpa arah. Antara amarah, kebingungan, dan rasa pengkhianatan.
"Kenapa lo sembunyiin fakta ini dari gue, Jimin? Gimana mungkin orang yang paling gue percayai juga berkhianat?" gumamnya lirih, suaranya terdengar putus asa. Pandangannya jatuh ke ponsel di tangannya, seakan benda itu bisa memberinya jawaban yang ia cari. Tapi semua yang ia dapatkan hanyalah keheningan, dan semakin lama, keheningan itu terasa seperti beban yang menyesakkan.
Suara pintu apartemen yang terbuka memecah kesunyian malam. Jimin masuk dengan langkah pelan, terlihat lelah setelah seharian bekerja di perusahaannya. Matanya sedikit mengantuk, namun sorotnya langsung berubah khawatir ketika melihat Jungkook duduk di meja makan dengan tubuh lesu dan rambut yang acak-acakan.
Jimin meletakkan tas dan jasnya sembarangan di sofa, pandangannya terpaku pada Jungkook. Ada sesuatu yang salah, pikirnya. "Jungkook? Kamu kenapa, sayang?" tanyanya cemas sambil menghampiri pria itu. Ia menyentuh bahu Jungkook dengan lembut.
Namun, gerakan refleks Jungkook menepis tangannya membuat Jimin tertegun. "Sayang, apa yang terjadi? Kenapa kamu kayak gini?"
Jungkook menghela napas berat, kedua tangannya menutupi wajahnya yang penuh kegelisahan. "Maaf, Jimin. Aku nggak bermaksud begitu. Ini bukan apa-apa," jawabnya singkat.
Tapi Jimin tidak mudah percaya. Ada yang salah, dan dia tahu itu. "Jungkook, kamu tau kan? Apa pun itu, kamu bisa cerita ke aku," katanya lembut sambil duduk di samping Jungkook. Tangannya perlahan mengelus punggung Jungkook, menawarkan ketenangan yang sangat dibutuhkan pria itu. Namun, tangan yang biasanya hangat itu entah mengapa terasa begitu dingin.
Jungkook tak bisa diam saja, ia butuh kebenarannya. Ia mendongak menatap Jimin, walau ia sendiri terlihat ragu. Akhirnya, dengan suara yang sedikit serak, ia bertanya, "Jimin, apa kamu yang ngeblokir nomor Eunha dari HP aku?"
Pertanyaan itu langsung membuat Jimin tersentak. Ekspresi terkejut melintas di wajahnya, meski hanya sesaat. Dengan cepat ia mengatur wajahnya agar tetap tenang. "Apa maksud kamu, Jungkook? Aku nggak ngerti," jawabnya dengan nada biasa saja, berusaha menyangkal.
Namun, Jungkook tidak terpengaruh. "Aku cek kontak Eunha di HP aku. Nomornya keblokir. Dan kamu satu-satunya orang yang punya akses ke ponsel aku. Jadi... apa kamu yang ngeblokir nomornya?"
Jimin merasa tubuhnya dingin seketika, tetapi ia tahu ia harus tetap tenang. "A-apa? Jungkook, aku ga ngelakuin itu. Buat apa juga aku begitu?," ucapnya dengan suara yang sedikit goyah.
Tatapan Jungkook yang terlihat lelah membuat Jimin semakin tertekan. "Jimin, aku nggak akan marah sama kamu. Kalau emang kamu yang ngelakuin itu, kamu cukup jujur. Aku cuma pengen tau kebenarannya," kata Jungkook dengan nada memohon.
Namun, alih-alih mereda, kata-kata Jungkook justru membuat Jimin merasa seperti terpojok. Panik mulai merayap ke pikirannya, dan ia tahu bahwa satu langkah salah saja bisa menghancurkan citra sempurnanya di mata Jungkook.
Brak!
Jimin menggebrak meja makan di depannya dengan keras. Wajahnya memerah karena emosi. "Aku bilang kan, bukan aku!" serunya dengan nada tinggi.
"Kenapa kamu semarah ini, Jimin?" tanya Jungkook datar, tapi pandangan matanya tajam dan menusuk. Di balik tenangnya suara itu, Jimin bisa merasakan bahwa dugaannya semakin mengarah padanya. Jungkook mulai melihat apa yang telah ia sembunyikan.
Jungkook memijat pelipisnya dengan keras. Itu benar Jimin. Bagaimana mungkin kekasihnya itu berbohong padanya? Ia merasa telah dikhianati.
"Jungkook, apa kamu nggak percaya sama aku?!" Mata Jimin berkaca-kaca. "Aku udah bilang kan, aku nggak suka dituduh tanpa bukti!" lanjutnya sambil membentak. Suara itu memecah keheningan apartemen yang semakin sesak.
"Percaya?" Jungkook hanya bergumam pelan, hampir tak terdengar. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan melewati Jimin begitu saja. Ia harus keluar dari sini, begitulah pikirnya. Ia butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.
Namun, saat ia hendak mencapai pintu, suara Jimin memanggilnya keras. "Jungkook!"
Prang!
Suara vas bunga di meja makan terhempas ke lantai. Pecahan kaca berserakan, beberapa di antaranya memantulkan kilauan kecil di bawah cahaya lampu apartemen. Langkah Jungkook terhenti dan ia berbalik dengan ekspresi terkejut.
Jimin berdiri di sana, napasnya terengah-engah, wajahnya kacau. Tangannya terlihat berdarah, tertusuk pecahan kaca yang baru saja ia hantamkan ke lantai.
"Apa yang kamu lakukan, Jimin?!" Jungkook segera menghampirinya, kekhawatiran mulai terlihat di wajahnya. Ia langsung meraih tangan Jimin untuk memeriksa luka itu.
Jantung Jungkook berdegup cepat saat matanya terpaku pada darah yang mengalir dari tangan Jimin, membasahi lantai putih itu hingga menggenang.
"Jungkook... aku..." suara Jimin bergetar sebelum air matanya mulai jatuh. "Ini semua salahku... Aku nggak berani bilang ke kamu, karena aku takut... aku takut kamu bakal benci sama aku," katanya susah payah di sela-sela isakan.
Tatapan Jungkook melunak seketika. Di balik segala kekacauan yang ia alami, ia tidak pernah membayangkan melihat Jimin sedih seperti ini. "Jimin..." Jungkook mencoba menenangkannya.
"Maafin aku..." Jimin menunduk, tangannya gemetar di sisi tubuhnya. "Aku... aku terlalu cemburu waktu itu. Aku nggak mau ada orang lain yang deket sama kamu. Aku takut kamu ninggalin aku..." ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Jungkook terdiam. Rasa bersalah mulai menghantam dirinya. Ia terlalu keras pada Jimin. Mungkin, Jimin juga sudah menderita karena menyembunyikan ini.
Dengan lembut, Jungkook memegang tangan Jimin yang terluka. Ia mendekatkan tangan itu ke bibirnya dan menciumnya. "Aku yang harusnya minta maaf, Jimin. Aku udah terlalu keras sama kamu."
"Hiks... tolong jangan benci aku, Jungkook. Jangan tinggalin aku..."
Semua ini terasa seperti deja vu yang menakutkan-kecemburuan seperti waktu itu, perkataan memohon untuk tidak meninggalkannya. Ia teringat pada Eunha-bagaimana ia mengabaikan gadis itu dan segala kekhawatirannya. Mungkin ini adalah karma, dan rasa bersalah itu, akan terus menghantuinya hingga akhir hidupnya.
Jangan lupa support aku dengan cara vote dan komen ya! Thanks💜
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen Bee (Jikook)/(Kookmin)
FanfictionPark Jimin, dikenal sebagai "The Queen Bee" di HYBE University, adalah sosok yang diidamkan banyak pria, terutama karena pesona dan daya tariknya yang sempurna. Namun, di balik wajah manisnya, Jimin adalah tokoh antagonis yang licik dan kejam. Apa p...
