22. Earthquake

1.7K 127 10
                                    

1. Regina Audrey Antika.
2. Regita Claudy Cantika.
3. Rafid Aditya.
4. Alfitra Alifianda.
5. Alvan Virga Dirgantara.
6. Dimas Daniswara.

***

Rafid dan Gina duduk bersama menatap pemandangan dari puncak bukit itu lama. Wajah Gina sedikit memerah karena lelah berjalan mendaki bukit itu. Rafid tidak menyadarinya.

"Mau sore Gin.. Turun yuk.."

"Oke."
Ucapnya menyanggupi.
Rafid turun dengan santai. sementara Gadis itu menuruni lereng itu dengan pelan karena sedikit takut, karena kemiringannya.

Ia ingin memanggil Rafid, namun tak akan berefek apa-apa karena Rafid tak akan bisa memeganginya. Ia memberanikan diri dengan tangan yang berpegangan pada pohon-pohon. Orang-orang menatapnya seperti gadis aneh karena menuruni lereng saja takut kenapa berani naik?

"Bisa gin?"
Tanya Rafid menoleh kebelakang.

Gina menegapkan badannya. "Iya!"
Balasnya.

Sampai di penurunan terakhir ia bisa bernafas lega.

"Gimana kalo kita beli min---"
Ucap gina pelan.

"Selanjutnya kita ke taman bermain ya?"
Ucap Rafid. Karena orang mati tidak merasa lelah maupun butuh makanan.

Gina mengangguk lagi. Ia merasa haus. Namun Rafid mengajaknya ke Taman bermain.

Tidak masalah. Aku bisa membeli minuman disana nantinya.

Mereka berjalan cukup lama. Sesampainya disana Gina langsung duduk di bangku taman karena sangat lelah berjalan seharian.

"Kok duduk Gin? Kita main itu aja yuk?"
Ucapnya menunjuk bianglala.

"Boleh.." Ucap gina. "Tapi tunggu bentar disini ya, Fid. Aku mau beli minum buat kita berdua, kamu pesen tiket aja dulu."

Rafid kesal mendengar hal itu. Sepertinya gadis ini benar-benar lupa jika ia sudah meninggal.

Gina beranjak dari tempat duduknya menuju penjual minuman di dekat gerbang, ia berniat membeli beberapa makanan juga karena belum makan seharian ini.

Rafid menahan tangan gadis itu. Ia sangat kesal seharian ini karenanya.
"Gin! Kamu kenapa sih! Kamu udah lupa ya aku itu udah mati! Mana mungkin aku beli tiket! Mana mungkin aku minum! Mana mungkin aku bayar bis!"
Ucapnya meluapkan kekesalannya seharian ini pada gadis itu.

Gina kaget mendengar Rafid membentaknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Gadis itu sangat menyadari, menyadari jika ia sudah meninggal. Namun karena ia selalu berada didekatnya lah yang membuat gina membayar bis untuknya. Juga karena Gina merasa Hauslah karena itu ia ingin membeli makanan dan minuman.

"Ma... Maa... Maaf.."
Ucapnya berusaha menahan tangisnya.
"A... A... Aku.. Akan be...li mi..nu...man untuk..ku sen.. diri."
Ucapnya lagi kemudian melepaskan pegangan tangan Rafid dan langsung berlari menuju penjual minuman karena air matanya sudah tumpah.

Rafid terdiam bingung karena gadis itu.
Mamanya tiba-tiba muncul dari belakangnya.
"Kau membuatnya menangis ya.."

Rafid menoleh padanya..
"Abis dia sendiri duluan ngeselin ma.."

"Itu bukan salahnya, itu karena kamu selalu ada di sampingnya.. Ia hanya bersikap seperti biasanya. Seperti.. Refleks.. Nak.."

"Refleks? Dia seperti tidak menyadari jika aku sudah meninggal.."

"Tidak menyadari? Bukannya kamu yang tidak menyadari jika dia masih hidup?"

"Maksud mama?"

"Rafid.. Jika dia tidak menyadari kamu sudah meninggal.. Kamu ingat lereng bukit tadi? Saat kamu masih hidup dan menaikinya bukankah kamu lelah? Bukankah kamu takut untuk turun karena lerengnya terlalu miring? Gina menuruninya sendiri. Ia ingin meminta bantuan padamu. Tapi ia sadar jika kamu tidak bisa memeganginya maupun membantunya untuk naik dan turun. Kamu memperhatikan orang-orang menatapmu aneh bukan? Itu karena mereka melihat hanya gadis yang menaiki dan menuruni bukit itu sendiran."

The TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang