5

5.3K 136 0
                                    

Vio

Aku terus memikirkannya. Ugh, ada apa sih dengan diriku? Why he's running through my mind? Vio, coba berhenti mikirin dia. Apa dia juga mikirin kamu? Enggak kan? Yaudah, kenapa kamu masih memikirkan dia, Vi?

Seketika itu, hati dan otak ku beradu pendapat. Memikirkan dia, atau berpikir dengan logika 'untuk apa memikirkan dia? Dia enggak mikirin kamu kan?'

Aku meletakkan tas ku dan berganti baju menjadi kostum basket. Ya begini, kalau lagi sedih aku biasanya bermain basket melampiaskan segala kekesalan yang ada pada diriku. Aku segera berlari menuju halaman belakang rumah ku.

Melampiaskan segala amarahku, kekesalan ku, terhadap Brian. Iya, Brian. Brian, apa yang kamu mau dari Anna? Kenapa kamu tidak jelas seperti ini.

Aku iri dengan Anna? Aku kesal dengan Anna?

Tidak, aku tidak akan kesal hanya karena seorang laki-laki. Anna dan aku adalah sahabat, kita dekat sejak kecil, dan hanya karena laki-laki ini aku membenci dan mengutuk Anna seperti ini?

Aku merasakan pening nya kepala ku disaat memikirkan semua itu.

Tepat saat aku men- shoot bola basket ke keranjang basket, hp ku berdering.

Anna.

Anna menelfon ku. Aku menghela nafas panjang. Aku juga tidak mau menjadi seorang teman palsu.

Di depan dia aku bersikap manis, bersikap seolah-olah dia adalah sahabatku, namun di belakang dia, aku berubah menjadi seseorang yang berbeda, menjelekkan dia, menjatuhkan dia di depan orang lain, mengutuk dia.

Tidak.

Ya memang ku akui aku kesal dengan Anna, tapi bukan berarti aku bisa menjadi seorang teman, apalagi sahabat palsu seperti itu.

"What's up, An?"

"Vi, weekend ada acara engga lo?"

Apa aku salah dengar? Suara Anna sangat sesegukkan. Terdengar seperti orang selesai menangis. Ada apa dengan Anna?

"Na? Lo baik-baik aja? Na, gue sahabat lo, lo bisa ceritain semua masalah lo disini sama gue." Aku menjatuhkan bola basket ku dan membiarkannya memantul dan bersembunyi dibalik semak-semak.

"Enggak apa-apa, Vi. Gue habis nangis ngeliat iklan Thailand di youtube, sedih deh pokoknya. Huu."

Apa dia berbohong?

Anna sangat tertutup apabila dia mendapat suatu masalah. Dia tidak ingin merepotkan orang untuk mendengarkan masalahnya. Dia tidak mau. Dia akan mulai menceritakan masalahnya jika dia sudah tidak kuat untuk menahannya.

"Are you sure?"

"Yeah, I'm sure. Jadi, weekend ada acara engga?"

"Nope."

"Pergi yuk. Mau refreshing. Butuh refreshing banget."

Aku tahu Anna berbohong. Anna tidak mau jika dirinya dipaksa untuk bercerita. Menumpahkan segala kesedihan dan amarahnya pada masalah yang sedang ia hadapi.

Walaupun Anna adalah anak broken home aku salut kepada nya. Anna tidak pernah menunjukkan kesedihannya. Anna juga tidak pernah mengatakan kepada ku bahwa orang tua nya telah berpisah, jika aku tidak menanyakan hal itu.

Aku masih ingat pertama kali melihat Anna menangis di pelukan ku.

Ketika itu aku pergi ke rumah nya untuk mengerjakan suatu tugas bersama. Aku memasuki pintu kamarnya, dan yang aku dapati pertama kali adalah pecahan frame foto seorang bapak-bapak berambut hitam kecokelatan dengan matanya yang cokelat tua menyunggingkan senyum lepas. Foto nya sudah lusuh, dan tercoret dengan tinta pulpen merah.

Aku mengambil frame itu dan saat itu juga Anna memasuki ruang kamarnya.

Sebelum aku dapat mengatakan sesuatu kepada nya, Anna menghambur kepelukanku. Aku memeluknya erat, membiarkan air mata nya menetes membasahi baju seragam sekolah ku.

Dan saat itu, dia mulai bercerita tentang orang tua, dan mengapa ia bersikap agak dingin kepada ibu nya.

"Woi!!!!!! VIOOOOOOOOOOOOOO!!"

Aku tersentak dari lamunanku. Ohya, aku masih telfonan sama Anna.

"Gilak, lo lagi ngapain woi. Gua jadi ngakak." Anna menertawaiku dan menghela nafas.

"Eh iya, itu, gue capek banget abis main basket tadi, terus gue bengong."

"Yeh. Sok lu."

"Elu sok. Sok galau tapi engga mau cerita." Aku meledeknya dan Anna berdeham menahan tawa, juga menahan kesedihannya.

"Apasih. Eh ya, gimana kalo hari Sabtu kita nonton Brothers konser aja?"

Brothers? Band yang dalam anggota nya ada sosok misterius as know as Brian?

I knew it.

She likes him.

Dan aku yakin seratus persen bahwa Brian lah yang mengajak Anna untuk menontonnya.

Bahkan mungkin, Brian sudah memesan kan tiket untuk Anna?

"Males ah."

"Ayo dong. Besok kita beli tiketnya, sisa empat nih."

Berarti, Brian hanya menawarkan tiket saja, tidak membelikan.

"Dimana deh?" Kalau jauh gue ga mau ya. Males, An."

"Engga jauh sayaang, deket. Di Universitas Indonesia."

"Ngisi acara kampus gitu ya?"

"Iya, namanya juga di kampus et dodol lo."

Aku tertawa sambil mengulang pertanyaan bodoh ku itu.

"Yaudah, ikut deh gue. Jam berapa?"

"Brothers mulai jam tujuh malem sih buat closing nya. Acara kampusnya mulai jam sebelas."

"Ehm, yaudah kita dateng jam tigaan aja, An."

"Bener yak? Yeaaay. Yaudah besok jangan lupa bawa lima puluh ribu ya, buat beli tiketnya."

"Okay, gue lanjut basket dulu, An. Byee."

"Okay, bye!"

Percakapan kami di telfon berakhir. Aku hanya bisa memandangi sepatu basket ku yang kini telah basah terkena genangan air yang berada di sekitar halaman belakang rumahku.

Aku melanjutkan basketku dan berusaha untuk tidak peduli kepada apapun untuk saat ini.

M I N E Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang