20

2.6K 70 0
                                    

Vio

"Maa, Vio berangkat sekolah yaaa." Aku mencium pipi Mama.

"Vio! Kamu tuh kalo sarapan dikit banget sih," Omel Mama.

"Nanti gendut ah, Mama."

"Astaga Vio, kamu tidak boleh berkata 'ah' pada Mama mu sendiri," Mama memegang dadanya. Sok dramatis.

"Aduuh iya iya maaf maaf," Aku kembali mencium pipi Mama dan berlari menuju mobil yang telah disiapkan Pak Pras.

"Pak, gimana keadaan istri bapak?" Aku membuka percakapan ketika mobil sudah berangkat.

"Hm, begitulah, Non. Masih belum membaik." Pak Pras menghela nafas panjang. Membelokkan arah menuju jalan pintas agar lebih cepat sampai ke sekolahku.

"Belum dibawa ke rumah sakit, Pak?"

"Sebenarnya sudah tak bawa, Non. Tapi namanya juga kanker, harus ikut kemoterapi. Saya ndak punya banyak uang toh non non."

Istri Pak Pras mengidap penyakit kanker payudara. Awalnya kanker itu hanya ada di bagian kanan payudara istirnya, dan masih jinak. Seharusnya di operasi, namun Pak Pras waktu itu belum bekerja dan tabungannya sudah sedikit, akhirnya kanker berubah menjadi ganas.

"Bapak bisa meminjam uang orang tua aku, Pak." Aku tersenyum ikhlas ke arah Pak Pras.

"Duh, Non, saya ndak enak, minjem-minjem begitu," Pak Pras menundukkan kepalanya.

Mobil kami akhirnya berhenti di depan sekolahku.

Aku memberi uang lima puluh ribu ku kepada Pak Pras, sedekah juga namanya kan.

"Eh Non, ndak usah ndak usah," Pak Pras berusaha menaruh kembali uang itu di tanganku namun aku sudah turun dari mobil.

"Pak, ambil saja, dan jangan ragu-ragu buat minjem dulu ke uang orang tua saya ya Pak. Demi istri lho." Aku mengingatkan Pak Pras dan berlari menuju gerbang sekolah memasuki nya.

Sampai di kelas, aku menaruh tas ku diatas meja dan memainkan hpku.

Beberapa menit kemudian, Anna datang dan langsung menghampiriku. Wajahnya masih kusut, ditekuk, sama seperti malam minggu kemarin.

Anna menghampiriku kemudian melihat ke arah hpku, agak kaget sepertinya.

Iya, dia melihat ke arah pesan yang dikirim oleh Brian kepada ku.

Dari malam Sabtu kemarin, Brian dan aku menjadi dekat. Sangat dekat, hampir setiap waktu kami mengobrol lewat pesan singkat. Kadang kami juga telfonan.

Aku senang, sangat senang.

Namun di sisi lain aku juga merasa bersalah kepada Anna.

Sahabat macam apa aku?

Anna hendak mengambil hpku namun Bu Nia sudah memasuki ruang kelas untuk memulai pelajaran.

***

"Sebentar ya, Vi. Gue mau ke toilet dulu," Anna menjauhi spaghetti nya dan berlari kecil menuju toilet sekolah.

Brian dan Leo datang menghampiriku setelah membeli makanan dan minuman. Mereka menarik bangku untuk duduk bersama ku dan Anna di meja kami.

"Anna kemana?" Tanya Brian.

"Lagi ke toilet."

"Itu anak ke toilet terus ya, dari kemaren." Leo memakan nasi goreng nya dengan lahap.

Aku hanya mengangkat bahuku tidak mengerti.

"Nanti pas kenaikkan kelas tiga kita bakalan ada perpisahan gitu kan?" Brian menyeruput teh hangat nya.

"Iya, ke Jogja-Bali." Aku mengerlingkan mata ku bersemangat.

"Berapa hari?" Tanya Leo.

"10 hari."

"Nanggung amat, seminggu lebih tiga hari kan?" Leo mengerutkan keningnya.

"Iya, hahahaha."

"Kenapa perpisahan nya pas kita kelas dua?" Aku membersihkan mulutku yang penuh saus dengan tisu basah yang ku bawa.

"Yaa biar nanti kita pas kelas tiga fokus ke ujian-ujian aja." Ujar Brian.

"Sotoy lu, Yan." Leo melempar nasi ke arah Brian.

"Lah kampret juga lu." Brian balas melempar mie rebusnya ke arah Leo.

"Eh sialan, panas banget buset." Leo meniup-niup lengannya yang terkena mie rebus Brian.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua. Masih kayak anak bocah.

"Ehm, Vi, nanti pas perpisahan Jogja-Bali itu, foto-foto bareng gua yang banyak, yak." Brian nyengir sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.

Aku mendadak kaget. Omongan Brian barusan membuat ku salah tingkah, aduh. Aku melipat tangan diatas meja mencoba mengulang kata-kata Brian di otak ku.

Engga. Engga. Engga.

Vio, ingat Anna.

Anna sahabat lo Vio.

Leo mencairkan suasana antara aku dan Brian.

"Foto-foto sama gua juga, Vi, sama cogan." Leo menaik-naikkan alisnya, sok ganteng.

Aku tertawa mendengar Leo. Sebenarnya pura-pura tertawa, karena aku masih terpikirkan dengan omongan Brian.

Brian hanya tersenyum kemudian melanjutkan makannya.

"Iya nanti gue foto sama lo berdua, hahaha. Sampe memory gue full ya,"

Tepat pada saat itu, Anna datang setelah berlama-lama di toilet.

"Lama amat lu di toilet." Aku menepuk bahu Anna, dia hanya tersenyum kecil.

"Boker ya An?" Leo tertawa kemudian beranjak pergi dari bangku nya untuk mengembalikan piring.

"Iya, gua boker." Anna tersenyum kecut ke arah Leo yang sudah pergi meninggalkannya.

"Balik ke kelas yuk, Vi." Anna menarik tangan ku untuk kembali ke kelas.

"Yan, gue duluan ya." Aku tersenyum ke arah Brian.

Brian membalas senyumku.

Setiap melihat senyum itu, jantungku selalu berdetak sangat cepat, dan keras rasanya. Membuat aku menjadi salah tingkah.

M I N E Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang