Deva
Aku memainkan gitar ku, memetik senar-senar yang terpasang pada gitar hitam yang dipadukan garis putih itu. Raka meneguk air putih dari botol nya, dan menepuk bahuku.
"Dev, jam berapa kita berangkat?"
"Jam empat aja kali ya? Tinggal ngesot kan."
Salsa dan Risya datang menghampiri ku dan Raka.
"Bener ya, Dev? Lu ngesot ya nanti, kita naik mobil." Salsa tertawa diikuti gelak tawa Risya dan Raka.
"Bodo amat dah." Aku ikut tertawa dan menengok ke arah Dariel yang masih ngorok di atas sofa.
"Tuh anak masih tidur aja dah. Begadang terus ya dia sama Alma?" Aku melempar keripik singkong yang sedang aku makan ke arah wajah Dariel.
"Ya iya, begadang sama siapa lagi coba? Alma doang emang, hahahaha." Risya meneguk coca cola nya, melemparnya ke arah tempat sampah ketika sudah kosong.
Saat aku dan teman-temanku sedang mengobrol, terdengar ketukan dari arah pintu.
"Eh, Om." Teman-temanku menyunggingkan senyum nya.
"Kenapa Pa?" Aku menaruh gitarku dan berjalan menuju Papa.
"Papa mau bicara sebentar sama kamu, Dev."
"Eh iya, bentar ya," Aku melambaikan tanganku ke arah teman-temanku, mengisyaratkan kepada mereka kalau aku ada perlu dengan Papa.
Risya dan yang lain mengacungkan jempolnya. "Riel, bangun buset dah." Aku bisa mendengar Dariel terbatuk-batuk karena disiram air oleh Raka, hahaha, dasar.
"Kenapa, Pa?" Aku menutup pintu memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan kami.
"Obatnya sudah habis."
Aku terdiam.
"Aku udah engga apa-apa, Pa." Aku menyunggingkan senyum, menenangkan Papa.
Aku dapat melihat raut wajah Papa yang mengkerut, khawatir. Papa menepuk bahuku pelan, mengelus-elus punggung ku, kemudian memelukku.
Aku memegang dadaku, kemudian balas memeluk Papa dan memegang tangannya. Aku tersenyum sekali lagi, untuk meyakinkan Papa bahwa aku sudah tidak apa-apa.
"Jangan nangis, Pa, aku ga apa-apa."
"Ya ya, Papa engga nangis, nak." Papa tersenyum kemudian menghela nafas.
"Berangkat jam berapa kamu?""Jam empat."
"Papa mau ke pemakaman dulu ya, mumpung masih pagi, masih adem," Papa tersenyum kemudian melanjutkan omongannya, "Papa kangen banget sa..." Sebelum Papa sempat meneruskan omongannya, aku memeluknya sekali lagi.
"Iya Pa, aku tahu. Deva juga kangen."
"Papa balik kesini nanti siang ya, bilang aja kalo mau berangkat, Papa jadi supir kalian." Papa tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Sip, Pa. Ati-ati yaa." Aku melambaikan tanganku ke arah Papa yang berjalan menuju mobil nya, aku kembali masuk ke dalam studio. Sebenarnya ini adalah sebuah rumah, yang dijadikan sebagai studio band ku berlatih.
"Latihan sekali lagi yuk." Aku mengambil gitarku dan menarik Raka menuju ke arah mic.
"Kuy." Risya berjalan menuju drum nya, Salsa beranjak dari sofa menuju gitar kesayangannya.
Dariel yang kelihatannya sudah segar sehabis bangun tidur, melempar hpnya ke arah sofa dan berjalan menuju organnya.
Kemudian kami berlatih untuk persiapan penampilan kami di Universitas Indonesia.
***
"Itu band apa namanya yang lagi tampil?" Aku menunjuk ke arah stage di tengah-tengah Boulevard.
"Brothers. Gue suka banget liat mereka di youtube." Ujar Risya sambik mengikat rambutnya karena gerah.
"Sama, gue juga, Sya." Salsa meneguk fanta nya.
"Keren sih mereka."
"Yeah, not bad at all."
Aku memandangi penonton yang loncat-loncat mengikuti musik yang ada.
"Eh masih jam setengah delapan. Kita perform jam berapa?" Risya melihat ke arah jam tangan putih yang menghiasi tangan nya.
"Jam delapan. Ya engga delapan pas, paling agak lewat gitu." Aku mengangkat bahuku.
"Seru-seruan dulu yuk dengerin Brothers. Entar aja jam tujuh empat lima ke belakang panggungnya." Raka menarik baju ku, mengajakku menikmati Brothers.
Akhirnya kami menikmati Brothers ya walaupun hanya sekitar 15 menit.
"Rak, bilangin yang lain, gua mau ke kamar mandi dulu."
"Yaudah, ada rokok ga lu?"
"Ada, nih. Eh eh, jangan ngerokok dulu entar aja abis kita perform."
Risya yang melihat saku ku yang berisi bungkusan rokok, segera menjatuhkannya.
"Lo mau mati?" Risya menaikkan satu alisnya kemudian berjongkok mengambil bungkusan rokok itu dan memasukkan ke dalam tasnya.
Aku terdiam, ingin marah, tapi Risya benar.
"Yaudah, gua mau ke toilet." Ujarku kesal. Risya menganggukkan kepalanya, dan menarik tangan Raka mengikuti teman-teman yang lain menuju ke belakang panggung.
Aku berjalan menuju toilet, sampai di toilet aku melihat bayangan ku ke arah cermin, kemudian mencuci wajahku dengan air.
Aku menghela nafas, memegang dada ku, merasakan detakannya.
Baik. Tidak ada masalah. Gumamku dalam hati.
Aku berlari kecil keluar toilet menyusul teman-temanku yang pasti sudah bersiap-siap untuk naik ke panggung.
Bruk!
"Aduh, aw." Aku mendengar seseorang meringis kesakitan. Aku menengok ke arahnya, sepertinya aku menabraknya, aku juga hampir ikut terjatuh.
"Lo kalo jalan yang bener dong, ah!" Aku menegur nya. Seorang perempuan. Aku memperhatikannya, rambutnya yang bergelombang, wajahnya yang putih, bibirnya yang pink dibalut dengan lipstick yang senada dengan bibirnya, pink pucat.
"Eh elo lah yang kalo jalan pake mata, main lari aja kayak dikejar setan!" Aku yang sedang memperhatikannya menjadi kaget di semprot begitu.
"Jalan pake kaki." Gerutuku sambil membantunya berdiri.
Perempuan itu melepaskan tanganku yang berusaha membantunya.
"Yeh dibantuin malah ngomel lagi."
"Gausah gue bisa berdiri sendiri." Perempuan itu melanjutkan langkahnya menuju toilet.
"Dih yaudah. Jual mahal dasar." Lagian dibantuin malah nolak, ditegur malah marah balik. Maunya apa.
Aku hendak melanjutkan langkahku, tapi terhenti ketika aku menginjak sesuatu. Hp. Pasti hp perempuan tadi. Dasar. Ngeribetin aja, ngerepotin.
Untung gua nginjeknya pelan, gua injek keras baru nangis dah mohon-mohon biar digantiin.
Aku menggerutu lagi.
Aku melihat ke arah jam tangan hitamku, jam delapan. Waduh.
Aku memungut hp perempuan tadi dan memutuskan untuk mengembalikannya nanti, mungkin aku akan bertemu dia lagi. Aku segera berlari ke arah stage dan mempersiapkan diri untuk perform.

KAMU SEDANG MEMBACA
M I N E
Teen FictionBuku ini menceritakan tentang beberapa remaja SMA yang saling menyimpan rasa untuk satu sama lain. Awalnya semua berjalan mulus, semulus aspal yang baru dipoles. Tapi seiring berjalan nya waktu, semua nya menjadi serumit kabel earphone kalau kita si...