Anna
Ini hari terakhir aku akan menjenguk Deva. Pak Gruhan selalu meminta ku untuk menjenguk Deva sebisa ku setiap pulang sekolah, aku senang karena selalu bertemu dengan Deva. Walaupun dia bertingkah seperti anak kecil, seperti laki-laki yang ngeselin, dengan tingkah nya yang seperti itu, Deva menghibur ku. Aku jadi teringat kembali pertama kali aku bertemu dengan Deva, kesan pertama yang aku dapat ketika pertama kali bertemu dengan nya adalah 'berandalan'. Ternyata hanya gaya nya saja yang seperti itu, aku tersenyum-senyum sendiri mengingat Deva.
"Anna!" Brian menepuk bahuku dari belakang. Aku yang sedang duduk menyendiri sambil memainkan laptop di kantin sekolah kaget.
"Vio kemana?" Aku mengkerucut kan bibirku ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Brian.
Akhir-akhir ini Brian menjauhi ku dan mendekati Vio. Aku juga sudah tidak tahu, apakah aku masih menyimpan rasa untuk Brian atau tidak.
Aku mengangkat bahuku dan melanjutkan memainkan laptopku.
"Tumben sendirian aja." Brian menarik bangku untuk duduk di sampingku.
Aku memperhatikannya dengan tatapan kesal.
"Lo kenapa?" Brian melipat tangannya di atas meja dan melihat ke arah ku.
"Gue enggak apa-apa." Dengan cepat aku merapikan barang-barang ku dan langsung bergegas pergi meninggalkan Brian. Aku tidak menghiraukan tatapan bingung Brian terhadap ku. Yang aku ingin kan hanya kesadaran Brian. Apakah dia sadar, bahwa membuat seseorang merasa bahwa dia menyukai seseorang itu dan seseorang itu sudah terlanjur jatuh hati untuknya, sudah dapat menaruh hati nya untuk dia, dan sekarang dia malah menjauhi mu dan mendekati sahabat baik mu itu adalah kesalahan besar?
Aku segera menuju ke rumah sakit tempat Deva di rawat.
***
"Rutin banget ke sini." Deva meledekku. Sepertinya dia sudah baik sekali keadaannya.
"Nge-game terus ya kayaknya daritadi." Aku mengintip ke arah play station portable merah yang sedang ia mainkan.
"Wes iyalah, udah sehat, bugar, segar." Deva berbicara tanpa melihat ke arah ku, matanya terkunci pada gamenya.
"Gue bawa puding." Aku menaruh plastik berisi puding vanilla dan juga vla coklatnya.
Deva berhenti memainkan game nya dan langsung mengambil puding dari atas meja. Dengan semangat, Deva membuka plastik nya dan membuka kotak yang berisi puding.
Aku membantunya menuangkan vla coklat ke atas puding vanilla tersebut. Deva memakan puding nya dengan senang. Aku memperhatikannya, jika tingkah nya seperti ini sangat tidak cocok dengan wajahnya yang berandalan.
Ketika dia sedang memakan pudingnya, tampak tato berbentuk bunga mawar di pergelangan tangannya. Aku tidak menyadari tato nya sampai hari ini. Tato bunga mawat itu bentuknya kecil, mungkin aku tidak melihatnya karena ukurannya yang kecil. Tidak terlalu kecil sih.
Deva menyadari kalau aku memperhatikan tato nya. Kemudian ia tersenyum dan berhenti memakan pudingnya.
"Bunga mawar adalah bunga favorit nyokap gua. Dulu, sewaktu nyokap gua masih hidup, Mama menanam bunga mawar di taman belakang rumah. Apalagi tas Mama," Deva tersenyum lebar, mengingat Mama nya kembali.
Aku hanya terdiam mendengarkan Deva.
"Tas Mama hampir semuanya motif atau bergambar bunga mawar. Mama juga beli satu buket bunga mawar buat dipajang dirumah. Papa sering membelikan Mama bunga mawar. Pink, merah, putih,"
Deva berdeham sebentar, aku rasa dia berusaha menahan air mata nya agar tidak keluar.
"Mama suka bunga mawar karena,"
Deva menghela nafas, aku yakin dia tidak ingin menangis di depan ku.
"Bunga mawar adalah lambang wanita yang sesungguhnya. Bunga mawar yang romantis sifatnya, bunga mawar yang warna nya melambangkan perempuan. Pink yang berarti perempuan harus bersikap lembut, merah yang berarti perempuan harus bersikap berani, dan putih yang berarti perempuan harus bersih, bersih perkataan atau perbuatan. Terutama, bunga mawar yang bentuknya indah, namun dia berduri, jadi sulit untuk dipegang, dan diambil dari batangnya. Perempuan harus seperti itu, walaupun cantik, tapi harus jual mahal. Playing hard-to-get."
Aku tersenyum mendengar Deva. Deva melihat ke arah ku dan membalas senyum ku.
"Lo harus jadi bunga mawar itu, An." Deva mengelus-elus tato bunga mawar nya. Seketika jatuh air dari mata Deva ke arah tato nya. Deva cepat-cepat menghapus air mata nya.
"Enggak apa-apa, Dev. Menangis itu manusiawi kok. Semua orang menangis, karena menangis itu membuat kita lega. Menangis merupakan salah satu cara kita untuk melepaskan semua rasa sakit yang telah kita pendam."
Deva mendongakkan kepalanya, melihat ke arah ku. Aku melihat mata nya yang sudah merah.
"Waktu pemakaman, gua menjadi orang terakhir yang berdiri di dekat makam Mama. Gua udah nyiapin tiga bunga mawar. Mawar pink, mawar merah, dan mawar putih. Gua menaruh semua bunga mawar itu di tengah-tengah makam Mama."
Aku menenangkan Deva. Meletakkan jari telunjukku di dekat bibir Deva yang merah. Deva hendak membuka mulutnya, namun tidak jadi.
"Udah ya, Deva." Aku mengambil selimut dan menyelimuti Deva. Deva menuruti ku.
Aku hendak menuju pintu keluar namun Deva memegang tanganku.
"Jangan," Deva berusaha menahanku. Pegangan tangannya sangat kencang sehingga mau tidak mau, aku menuruti permintaannya untuk tinggal sementara menemani dirinya.
"Ayah lo kayak gimana, An?"
Deva membuka topik pembicaraan, memecahkan keheningan di antara kami.
"Ayah gue? Dulu waktu kecil, gue kira ayah gue orang yang sabar, bijaksana, namun sekarang gue salah,"
"Ayah lo udah enggak ada?"
"Enggak, iya, gue enggak tau, Dev. Nyokap bokap gue udah pisah. Bokap gue pindah ke luar kota, ke Yogyakarta. Gue kangen banget sama dia, Dev. Tapi bokap enggak pernah ada kabar semenjak itu." Deva tersenyum prihatin mendengarku.
Aku melipat tangan di pinggir ranjang Deva dan menaruh wajahku diatasnya. Deva mengerti bahwa aku tidak ingin membicarakan Papa.
Deva mengelus rambutku pelan, aku ingin berdiri dan pergi meninggalkannya namun, aku tidak mengerti, rasanya sangat nyaman. Membuatku betah untuk tinggal disini. Aku memejamkan mataku untuk tidur sejenak.

KAMU SEDANG MEMBACA
M I N E
Roman pour AdolescentsBuku ini menceritakan tentang beberapa remaja SMA yang saling menyimpan rasa untuk satu sama lain. Awalnya semua berjalan mulus, semulus aspal yang baru dipoles. Tapi seiring berjalan nya waktu, semua nya menjadi serumit kabel earphone kalau kita si...