Author
"Yaah, tuan putri nya pergi..." Leo menghampiri Brian dengan nada mengejek. Brian hanya mendelik ke arahnya. "Ada urusan dia sama Anna." Brian berjalan kembali menuju hotel. Leo mengekornya.
"Lu ga main lagi sama yang laen?" Brian menunjuk ke arah segerombolan anak-anak cowok di tepi pantai yang saling menggoda dan melirik ke arah cewek-cewek di pantai. Sejenis lah kayak Leo.
"Enggak, capek gua siul-siul terus. Entar gua dikira burung."
Brian hanya melempar senyum ke arah Leo. Brian menendang kerikil yang ada di sekitar pasir pantai. Teringat kembali jalan-jalan sebentar nya dengan Vio. Wajah Vio yang memerah karena nya. Ah Vio, satu-satunya cewek yang selalu menghantui pikiran Brian. Tidak pernah satu hari pun Brian absen untuk memikirkan cewek itu. Leo melirik ke arah wajah Brian yang menunduk sambil tersenyum dan tertawa-tawa sendiri.
"Iya, Yan. Tau, Yan. Tadi abis jalan. Sebentar doang sih tapi enak ya, Yan."
"Gua seneng banget bisa ngobrol lagi sama dia. Gua seneng banget bisa ngeliat dia senyum malu-malu gitu ke gua. Gua seneng banget." Brian dapat merasakan sekumpulan kupu-kupu di perutnya berterbangan karena Vio."Menurut lu, gua pake jaket apa tuksedo?" Brian melemparkan pertanyaan yang menurut Leo ke-cewe-an banget. Bertanya soal fashion? Menurut Leo pertanyaan Brian sangat amat ke-cewe-an. Leo memang tidak peduli dengan penampilannya, dia terkesan anak yang cuek dalam berpenampilan dan berperilaku. Bagi Leo, apapun yang dia kenakan pasti membuat dia tetap terlihat ganteng. Apapun yang dia kenakan, sekali pun itu rok balet. Leo juga cuek terhadap masalah cewek, banyak cewek yang dia dekati namun malah menghindar. Kelakuan Leo yang suka menggoda cewek membuat nya menjadi jomblo hingga sekarang. Leo dan Brian adalah pasangan sahabat yang bertolak belakang namun saling melengkapi. Brian yang cuek abis, dan ga ada keberanian buat mendekati cewek. Dan Leo yang careless dan gampang banget buat mendekati banyak cewek.
"Tuksedo? Lu kira ke acara kawinan? Gausah rapi-rapi banget et."
"Yaudah, gua pake jaket kulit warna item bagus ga?"
"Sebenernya bagusan kalo gua yang make, tapi di elu juga ya lumayan lah." Leo berpura-pura memperhatikan Brian dari ujung rambut hingga kaki nya. Brian memutar bola matanya dan melanjutkan langkahnya menuju hotel.
"Eh..Brian ya?"
Brian mengangkat kepalanya dan menuju ke sumber suara.
"Lo yang waktu itu nge-band juga kan di UI?" Cowok itu tersenyum memamerkan gigi nya.
Brian berusaha mengingat siapa cowok ini. Bagaimana dia bisa tahu Brian? Brian mengingat-ngingat wajah cowok ini. Wajahnya terasa familiar.
"Deva?"
"Iya, gua Deva. Band gua juga tampil waktu itu."
"Oh iya, gua inget lu. Gua pernah nonton video cover band lu." Brian tersenyum sambil memperhatikan gaya Deva yang yaa bisa dibilang nge-rock.
"Kenalin, gua Leo. Sahabatnya Briaaaaaaan," suara Leo mengagetkan Brian. Dengan kesal Brian mencari topik lain untum dibicarakan bersama Deva. Brian berniat mengajak nya untuk bernyanyi bersama di acara sekolahan besok malam. Daripada dia harus nyanyi sendirian, pikir nya.
"Jadi bisa besok malem?"
"Yaa semoga aja gua bisa. Nanti gua kabarin lagi aja ya,"
"Sip, Dev. Line gua aja ya, tadi udah gua kasih kan?"
"Sip. Thanks, bro."
Brian mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya ke kamar diikuti Leo.
Hari semakin sore, dan warna oranye yang tadinya menghiasi langit kini berganti menjadi warna hitam, gelap. Namun bintang-bintang masih menghiasi malam di Bali itu. Brian memilih santai di luar balkon kecilnya daripada tidur sambil ngorok seperti yang dilakukan Leo. Brian memikirkan apa yang harus dia katakan kepada Vio besok? Acara mulai jam tujuh malam, kapan waktu yang tepat untuk mengungkapkan nya? Dan yang paling menegangkan adalah, apakah Vio akan membalas perasaannya? Brian sangat takut akan hal itu. Bagaimana jika perasaannya tidak terbalas kan? Jika perasaannya tidak terbalas, Brian nekat akan segera pulang sendirian kembali ke Jakarta. Mungkin berpura-pura sakit atau hal lainnya.
Eh tunggu, itu lebay banget. Bisa-bisa lo dicap ga jantan, Yan. Bego.
Brian menggerutu dan mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Waktu sudah mulai menunjukkan angka 11 malam. Brian menutup pintu balkon dan memejamkan matanya. Berharap besok adalah hari keberuntungannya.
***
"Deva nanti mau nge-band, Pa." Deva meminum kopi panasnya.
Malam itu, Deva dan Gruhan sedang bersantai di starbucks di dekat hotel tempat mereka menginap. Gruhan yang tadinya sibuk memainkan hpnya, kini melirik Deva.
"Ohya? Di Bali?" Gruhan menggaruk dagunya, menandakan kebingungannya.
"Iyap. Disini. Di hotel kita. Jadi, tadi Deva ketemu sama anak band lain nama band nya Brothers. Deva ketemu sama vokalis band nya. Besok malam sekolahnya ngadain acara gitu di roof top hotel, dan... Oh ya, vokalis band ini namanya Brian. Brian ngajak Deva buat nyanyi bareng dia. Mumpung Deva bawa gitar ya yaudah, Deva mau."
Gruhan menyeruput kopi nya dan mengigit beberapa potong donat. Gruhan menganggukkan kepalanya mengerti.
"Ooh yaudah, boleh boleh. Satu tempat juga kan?"
"Iya, Pa."
Suasana kembali hening. Deva memainkan hpnya dan melihat-lihat kontak line. Secara mendadak, Deva teringat akan cewek yang ia temui di lobby tadi, dan cewek yang menabrak nya tadi siang. Benarkah itu Anna? Bagaimana dia dan Anna dapat berada di tempat yang sama setelah satu sama lain tidak memberi kabar? Awalnya Deva mengira cewek yang dia temui di lobby tadi hanya lah orang yang mirip dengan Anna, bukan Anna. Namun, ketika cewek itu datang secara tiba-tiba, dengan menabraknya, Deva semakin yakin bahwa itu Anna. Tapi Anna kelihatan sedang buru-buru sekali tadi. Wajahnya tidak terlalu terlihat, namun postur tubuh dan rambutnya sangat jelas bahwa itu adalah Anna.
Anna ku.
Wait...
Anna 'ku' ? Deva she's not even yours. Lo sama dia juga udah ga pernah berhubungan. Pasti dia juga udah lupa sama..gua batin Deva sambil mengacak-acak donat nya yang sudah tinggal seperempat.
"Oh iya, Deva." Gruhan berdeham beberapa menit sebelum melanjutkan kalimatnya. Deva menaikkan alisnya menunggu Gruhan berbicara.
"Papa tadi ditelfon oleh doktermu. Kata nya, jantung baru mu baru akan tersedia bulan depan."
Jantung. Kelemahan jantung Deva dari kecil ini membuat Deva semakin tidak mempunyai semangat lagi untuk hidup. Deva tersenyum mendengar ucapan Gruhan, berusaha menyembunyikan amarah dan kesedihannya setiap mendengar kata 'jantung'.
"Oke, kita coba jantung baru Deva bulan depan." Deva memakan sisa donatnya dan mengajak Gruhan untuk pulang ke hotel. Gruhan tersenyum mengiyakan ajakan anak laki-laki nya. Deva mengambil posisi supir sedangkan Gruhan berada di sebelahnya.
"Dev.." Gruhan memegang tangan Deva. Deva mengerti apa maksud dari nada sedih Gruhan dan genggaman tangannya yang penuh arti ini. Namun disini, di Bali, bukanlah tempat untuk membicarakan kesedihan, atau hal-hal lain nya yang hanya membuat otak stress. Deva menghela nafas panjang sebelum dapat tersenyum sabar ke arah Gruhan.
"Pa, Deva ga mau ngomongin hal kayak gini an lagi disini. Coba kita santai dulu dan lupain semua permasalahan kita."
Gruhan melepaskan genggamannya dan mengangguk mengerti. Deva melanjutkan menyetir mobil sewaan itu ke hotel.
Sesampainya di hotel, Deva dan Gruhan berjalan menuju kamar hotel mereka. Gruhan memilih untuk berganti baju dan tidur di kasur nya sedangkan Deva memilih untuk mendengarkan lagu dan tidur di kursi balkon.
Deva memutar beberapa lagu. Dan semuanya mengingatkannya kembali kepada Anna.
Dan seketika, semua lagu yang dia dengarkan seperti tertuju kepada Anna. Semua lagu yang dia dengarkan seperti cocok dengan Anna. Semua lagu yang dia putar seperti tentang Anna. Semua nya. Deva menyadari hal ini, bahwa dia harus segera bertemu cewek di lobby dan yang menabraknya itu. Deva yakin seratus persen dia adalah Anna. Anna yang selama ini dia tinggalkan karena menurutnya itu hal yang paling baik yang bisa dia lakukan sebelum semuanya berakhir.

KAMU SEDANG MEMBACA
M I N E
Teen FictionBuku ini menceritakan tentang beberapa remaja SMA yang saling menyimpan rasa untuk satu sama lain. Awalnya semua berjalan mulus, semulus aspal yang baru dipoles. Tapi seiring berjalan nya waktu, semua nya menjadi serumit kabel earphone kalau kita si...