6

4.9K 111 5
                                    

Anna

Aku menyeka air mata ku. Aku tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi. Aku tidak boleh mendapati diriku tenggelam dan larut dalam kesedihan yang sama berulang kali seperti ini.

Orang bilang,

Jika kamu tidak dapat tertawa pada lelucon yang sama berulang kali, kenapa kamu bisa bersedih kepada kesedihan yang sama berulang kali?

Aku memutuskan untuk duduk di tepi ranjang ku, menenangkan diriku.

Aku berjalan menuju lemari pakaian ku, mengambil baju ganti dan mengganti seragam sekolahku dengan itu.

Aku berjalan lesu kembali ke tempat tidurku dan menjatuhkan diriku diatas nya.

Ketika semua orang kangen dengan masa kecil mereka, yang penuh canda dan tawa, tidak dengan aku.

Masa kecil yang kualami jarang terdengar canda dan tawa, yang aku dengar hanyalah suara Papa dan Mama berbisik di dalam kamar dengan perasaan marah, tetapi mereka tidak berniat untuk menganggu ku.

Mungkin mereka berfikir aku bocah lugu, bocah yang masih kecil yang tidak peduli dengan keadaan sekitar ketika mereka memulai pertengkaran kecil, namun serius.

Aku tidak ingin momen dimana aku melihat kedua orang tua ku bertengkar, kemudian berpisah, di depan mata ku. Tidak, aku tidak akan pernah mau mengulang kembali masa kecil ku.

Aku mengambil hp ku dan mencari kontak Vio, kemudian menelfon nya.

Terdengar nada-nada dering, kemudian terdengar suara santai Vio. Khas banget suaranya.

Aku yakin dia tahu dan mengerti ketika aku berbicara.

Ya, suaraku yang seperti orang pilek dan sesekali menyedot ingus ini, siapa yang tidak mengerti kalau aku habis menangis?

Aku terpaksa berbohong pada Vio. Aku tidak mau menceritkan segala masalahku kepadanya.

Aku bukan tipe orang yang selalu butuh teman curhat di saat kesedihan melanda. Aku justru lebih baik menyendiri, mengurung diriku di dalam suatu ruangan yang sunyi, senyap. Dan membiarkan semua kesedihan yang datang kepadaku menyerang, dan membiarkan air mata ku jatuh.

Mengapa seperti itu? Karena aku tidak ingin terlihat lemah, aku tidak ingin dicap gadis lemah, anak cengeng, dan segalanya.

Aku takut, jika aku menceritakan masalah ku, mereka berpendapat bahwa aku lemah 'ah masalah gini doang udah lembek'. Atau berpendapat aneh lainnya. Karena aku tahu, tidak semua orang bisa merasakan apa yang aku rasakan, dan aku takut jika mencurahkan segala amarah dan kesedihan ku malah membuatku dipandang sebagai cewek lembek.

Vio saja jarang banget aku curhatin.

Aku mengajak Vio untuk refreshing saat weekend.

Aku sudah muak dengan keadaan dirumah. Jujur aku tidak betah, Mama bahkan sama sekali tidak peduli akan marahnya aku kepada nya. She only thinks about her job, her career. Enggak pernah peduli, akan anaknya.

Aku capek, cuman dilirik doang ketika pulang sekolah, enggak ditanya apa-apa. Aku capek kalau harus begini terus. Selama nya aku kayak gini sama Mama? Sampai nanti aku lulus SMA dan kuliah?

Papa sama aja. Hanya memikirkan dirinya sendiri. Ke luar kota untuk memulai hidup baru, aku enggak melarang Papa untuk pindah rumah, tapi tolong pikirkan anak mu yang masih butuh kasih sayang seorang ayah. Jangan main pergi ke luar kota begitu saja. Aku disini kangen sama Papa, Pa.

Enggak akan ada yang ngerti. Enggak akan.

Aku bingung kemana aku akan pergi bersama Vio saat weekend?

bzzz.

1 new messages.

bzzz.

2 new messages.

Aku menjauhkan hp dari telinga dan mengecek siapa yang mengirimi ku pesan.

Brian.

Brian. Cowok ips yang selalu memperhatikan ku. Tapi hal aneh, dia memperhatikan ku ketika aku bersama Vio. Tidak pernah memperhatikan aku di saat sendirian. Brian sudah mendekati ku dengan mengirimi ku pesan singkat hampir setiap hari. Tidak sering juga, namun tiap harinya pasti ada pesan dari dia.

Entah itu sekedar menyapa, bertanya tentang mata pelajaran yang sama denganku, dan hal lainnya. Dia selalu bertanya kepadaku.

Brian: An, weekend ada acara ga?

Brian: Kalo ga ada, nonton Brothers yuk. Di Universitas Indonesia. Biasa, band gua terkenal disuruh ngisi acara jadi ya gitu deh heheheheh.

Wah, kesempatan nih.

Sebenernya aku tidak tahu perasaan ku kepada Brian bagaimana. Namun, kalau dilihat dengan cara dia mendekatiku, sepertinya dia baik, dan juga tidak neko-neko orangnya. Mungkin aku bisa mencoba dengan nya?

Anna: Engga ada, Yan. Sabtu? Atau Minggu?

Brian: Sabtu. Bener? Horee. Hahahaha. Beli tiketnya nih di gua, gocap ya. Sisa empat sih tiketnya, lumayan kejual dua.

Anna: Iya yan, beneran hahahaa. Okay. Dua? Yeh tau aja gue bakal ajak Vio.

Brian: Iyalah, lu berdua kan udah kayak prangko sama amplop, nempel terus. Ajak Vio yak? Biar kejual nih tiket.

Anna: Siap.

Akhirnya aku mengajak Vio. Vio terdengar lesu, paling dia capek basket.

Brian.

Kenapa tiba-tiba aku merasa senang Brian mengajakku?

Oh tidak.

Tidak.

Jangan, Anna, jangan.













Brian,

I think i will put my heart to you this time.

M I N E Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang