Part 6

2.3K 98 0
                                    

Sejak saat itu, hal yang paling aku sukai adalah mengurung diri dalam kamar, dengan lampu yang redup, hanya sinar matahari dari sekat-sekat jendela yang membuat ruangan ini terlihat lebih nyata. Lingkaran hitam yang tampak seperti mata panda, bibir yang pucat dan sisa air mata yang mengering di pipiku, membuat diriku terlihat sangat buruk, tidak hanya hatiku, tapi penampilanku pun sama.
Suara ketukan pintu menyentakku dari lamunan. Siapakah dia? tidak tahukan bahwa sekarang aku benar-benar kosong?
"Zoya, ini aku Belva." Terdengan suara yang samar dari balik pintu.
Untuk pertama kalinya Belvara mengunjungi kamarku. Aku segera membukakan pintu untuknya.
"Hey, kenapa kamu masih menangis?" tanya Belvara sambil menghapus air mata dipipiku.
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa memandang wajahnya. Belvara pun masuk dan duduk disisi tempat tidur. Terlihat Belvara datang ke kamarku tanpa tangan kosong, ia membawakan semangkuk sereal dan juga segelas susu cokelat untukku.
"Kamu sarapan dulu Zoya." Kata Belvara sambil menarik tanganku.
Aku pun duduk disampingnya.
"Kamu mau makan sendiri atau aku yang menyuapi?" tanya Belvara menggoda.
Perkataannya mampu melukiskan senyum tipis di wajahku, akhir-akhir ini Belvara menjadi sosok yang sangat menyenangkan.

Semakin hari, Belvara rutin mengunjungiku didalam kamar, entah membawa makanan atau sekedar menanyakan kabar.
Pada suatu saat ayah mendapatkan tugas di Korea Selatan, sudah dipastikan bunda mendampingi ayah, kemanapun ayah pergi, disitulah bunda setia mendampinginya. Ayah menitipkan aku pada Belvara, ayah percaya pada Belvara untuk menjagaku. Segala tanggung jawab diberikan pada Belvara, mulai dari rumah sakit, rumah kami dan kesehatanku. Belvara tidak pernah lupa mengingatkan aku untuk makan, bahkan sesekali jika aku bosan menyantap makanan buatan bibi, Belvara dengan senang hati mengajakku makan diluar rumah.

Malam itu, sungguh hatiku sangat kesepian, aku sendiri pun bingung ingin melakukan hal apa, setelah aku pikir-pikir, mungkin menyenangkan jika aku pergi ke club yang pernah dikunjungi Adryan, siapa tahu aku bertemu dengannya. Terkadang aku merindukan kehadirannya. Aku memutuskan untuk pergi ke club tengah malam, berharap Belvara tidak menangkap basah kepergianku. Aku melihat sekeliling rumah dan sudah tidak ada siapapun yang beraktifitas, lampu-lampu rumah pun sudah padam. Perlahanku raih kunci pagar dari balik pintu rumahku dan berjalan dengan sangat hati-hati menuju gerbang seperti seorang maling yang sedang mengendap-ngendap. Beruntung aku berhasil kali ini, waktunya menghabiskan malam dengan bersenang-senang.

Sesampainya di club, aku cukup bingung dengan situasi ini, sangat ramai, sampai-sampai penglihatanku tidak jelas, karena memang lampu yang tersedia sangat terbatas. Aku memesan beberapa wine pada barista, saat pertama kali mencoba, sangat terasa aneh. Aku pun memesan gelas keduaku dan menenggaknya. Tubuh ini memaksaku untuk menari dibawah lampu disko, ku nikmati disetiap alunan musik, hingga aku memesan gelas-gelas wine selanjutnya. Saat aku ingin menenggak wine yang ke enam kalinya, aku melihat dari kejauhan, seperti seseorang yang menghampiriku dan menggendongku. Dengan keadaan setengah sadar, aku meronta-ronta dan dari situlah, aku sudah tidak sadar.

Aku terbangun dengan rasa sakit yang hebat di kepala, ku pandangi sekelilingku, dimana aku? rupanya aku berada didalam kamar. Apakah rencanaku untuk pergi ke club hanya sebuah mimpi?
Belvara pun datang, seperti biasa, dia membawakanku sarapan.
"Untuk apa semalam kamu pergi ke club?" tanya Belvara sinis.
"Aku... hmmm... aku tidak tahu." Jawabku polos.
"Jangan pernah datang ketempat itu lagi, aku tahu kamu berniat menemui Adryan, karena sebelumnya kamu menjemput dia di club itu kan?" tuduh Belvara.
Bagaimana Belvara tahu? Jadi malam itu, Belvara mengikutiku?
Aku pun mengiyakan tuduhannya, memang sebenarnya niatku seperti itu.
Tanpa banyak bicara lagi, Belvara sudah kembali pada sifat aslinya dan pergi meninggalkan aku begitu saja. Kenapa Belvara harus marah jika aku mencari Adryan, apakah dia cemburu?

Siang itu, aku keluar dari kamarku dan menghampiri Belvara yang sedang sibuk dengan komputer kecil miliknya. Perlahan aku duduk dihadapannya dan melontarkan beberapa pertanyaan.
"Apa sebelumnya kamu pernah memiliki kekasih?" tanyaku.
"Apa maksud kamu?" mata tajamnya sesekali memandangku.
"Aku hanya bertanya, jawab saja." Kataku dengan kesal.
"Tidak." Jawabnya singkat.
"Itu berarti kamu tidak pernah mencintai perempuan." Kataku sambil tertawa.
"Tidak juga."
Seketika tawaku berhenti. Mengapa dada ini sesak, apa Belvara sempat mencintai perempuan lain? tunggu, tapi kenapa harus aku pikirkan?
"Beruntung sekali ya perempuan itu."
"Jika perempuan itu beruntung, apakah dia akan mencintaiku sama seperti aku mencintainya?" Belvara menatapku.
"Sudah dipastikan, kamu adalah laki-laki yang baik Belva, tidak mungkin ada perempuan yang menolak cintamu." Ujarku.
Saat sedang asyik berbicara dengan Belvara, tiba-tiba saja Belvara mendapatkan panggilan. Aku melihat ada ketakutan di wajahnya, raut wajahnya menjadi cemas, dia mengambil tas dari dalam kamarnya. Dengan spontan aku mengikuti langkahnya dan bertanya.
"Kamu mau kemana Belva?" tanyaku panik.
"Ada panggilan dari rumah sakit, aku harus segera kesana." Jawabnya setengah berlari.
"Jangan pulang larut malam Belva!" kataku sedikit berteriak.
Tak ada jawaban dari Belvara kali itu.

Sekitar pukul 00:45 tidak ada kabar atau pesan singkat yang diberikan Belvara, aku mulai cemas, dimana dia sekarang, apakah tugasnya belum selesai juga?
Lama menunggunya aku pun tertidur sejenak dan terbangun ketika mendengar suara mesin mobil, aku langsung berlari keluar rumah dan mendapati Belvara dengan wajah yang sangat kusut.
"Belva?" tanganku menyentuh pipinya.
Air mata?
"Belva kamu kenapa?" tanyaku bingung.
Tanpa jawaban, Belvara langsung memelukku. Aku hanya terpaku tanpa membalas pelukannya.
Cukup lama Belvara memelukku dan akhirnya dia pun melepas pelukannya itu. Segeralah aku meminta dia masuk kedalam rumah dan duduk di sofa.
"Kamu kenapa menangis Belva?" tanyaku sambil menghapus air matanya dengan jemariku.
"Aku adalah seorang dokter yang tak berguna, menyelamatkan seorang ibu yang memiliki satu orang anak kecil pun aku tidak mampu." Jawabnya frustasi.
Melihat penyesalannya, aku langsung kembali memeluknya.
"Bukan kamu yang tidak berguna Belva, tapi sudah kehendak Tuhan untuk mengambil nyawa seseorang. Kamu sudah melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan, jika itu diluar kendali kamu, biarkan Tuhan yang mengaturnya." Kataku sambil terus memeluknya.
Aku pun meminta Belvara untuk beristirahat, karena Belvara sudah pergi kerumah sakit sejak siang.

Aku sengaja memaksakan diri bangun pagi-pagi karena ingin menyiapkan sarapan untuk Belvara, dia sudah sering merawatku seperti anak kecil, tapi sekalipun aku tidak pernah melakukan hal yang sama padanya. Kali ini kesempatanku untuk mempersiapkan sarapannya. Belvara adalah seseorang yang sangat mementingkan hidup sehat, berbeda denganku, mungkin Belvara tidak pernah menyentuh makanan cepat saji atau makanan yang mengandung bahan pengawet lainnya. Pagi saja Belvara hanya sarapan buah-buahan dan segelas yogurt, aku sudah tahu menu sarapannya, karena dia sering menyantap sarapannya itu sambil membaca koran. Tapi berbeda sekarang, pagi-pagi seperti ini dia belum bangun dari tidurnya, mungkin karena dia kelelahan semalam.
Aku sangat ragu untuk mengetuk pintu kamarnya, antara iya dan tidak. Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamarnya, kebetulan pintunya tidak di kunci.
"Belva, ini sudah siang, biasanya pagi-pagi buta kamu sudah bangun." Kataku menggodanya.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membangunkannya.
"Kamu yang mempersiapkan?" Belvara menunjuk sarapan yang sudah aku buat.
Aku hanya menganggukan kepala sambil tersenyum.
"Kita makan diluar saja Zoya, tidak baik makan dalam kamar." Belvara bangkit dari tempat tidurnya.

Saat duduk dimeja makan, aku hanya memperhatikan wajahnya. Laki-laki yang sangat angkuh, ternyata memiliki hati seperti malaikat. Sangat lucu jika memperhatikan dia memakan makanannya. Akhirnya Belvara pun mampu menyentak lamunanku.
"Kamu kenapa Zoya?" tanyanya sambil menahan tawa.
"Hah? Tidak apa-apa." Jawabku malu.
"Kamu tidak sarapan?"
"Nanti saja."
Belvara bangkit dari tempat duduknya dan menuju dapur, entah apa yang dia lakukan disana. Tidak lama dia melakukan aktifitas dalam dapur, tiba-tiba dia membawa semangkuk sereal dan segelas susu cokelat untukku. Sereal dan susu cokelat adalah makanan kesukaanku untuk sarapan. Rupanya dia sudah menghafal dengan baik. Akhirnya kami menyantap sarapan kami bersama di meja makan.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang