Part 7

2.1K 90 2
                                    

Aku sedang asyik menonton kartun kesukaanku dan perlahan Belvara duduk tepat disampingku.
"Zoya?" sapanya.
Aku yang sedang fokus menonton kartun tidak menghiraukan panggilannya. Tiba-tiba Belvara merebut remote televisinya dan mematikan kartun kesukaanku.
"Belvaaaaaaa!" aku berteriak dan mencoba merebut remote televisi dari tangannya.
"Aku sedang memanggilmu dan kamu mengabaikanku." Katanya dengan nada meledek.
"Apa?" aku menatapnya.
"Temani aku ke toko buku ya? aku ingin mencari buku tentang macam-macam penyakit dalam." Jawabnya.
"Iya! tapi kembalikan dulu remote televisinya Belva, sebentar lagi kartunnya sudah habis." Dengan kasar aku merebut remote televisi dari tangannya.
Belva pun menunggu aku menonton film kartun hingga selesai. Dan seperti yang sudah aku janjikan, aku akan menemaninya ke toko buku.

Sesampai kami di mall hal yang pertama dilakukan adalah menuju toko buku. Belvara sedang mencari buku tentang ilmu kedokterannya dan aku berniat menuju kebagian komik.
"Belva, aku kesana dulu ya?" sambil menunjuk rak buku koleksi berbagai komik.
"Setelah selesai, kembali lagi kesini, aku tidak pergi kemana-mana. Dan ingat! jangan lama-lama." Belvara tersenyum sangat manis.
Dengan gembira aku memilih komik-komik favoriteku, sekitar 12 buku aku beli. Setelah memilih-milih, aku pun kembali ketempat Belvara mencari buku. Aku melihat dari kejauhan, Belvara sangat amat serius dengan bukunya itu dan aku berhasil mengejutkannya.
"Sebanyak ini?" menujuk kearah buku bawaanku.
Aku hanya menganggukkan kepala, lalu tertawa.
"Sudah selesai kan?" tanya dia.
"Sudah."
"Berikan. Biar aku yang membawanya." Dia mengambil tumpukan komik yang aku pegang.
Aku hanya berdiri dibelakangnya saat dia membayar buku-buku kami, lebih tepatnya bukuku, karena komikku yang menjadi dominan.

Belvara menawariku menonton film di cinema, aku tidak keberatan sebenarnya, tapi aku ingin langsung pulang, karena sangat sulit membawa buku-buku jika berjalan-jalan lagi. Dengan kepandaiannya, Belvara menitipkan buku-buku kami pada penitipan barang dan sudah tidak ada lagi alasanku untuk menolak ajakannya.
Belvara memesan tiket film drama romantis dan tidak lama kami masuk dalam cinema, karena jam tanyang yang sangat singkat dengan pemesanan tiket kami, sebenarnya aku ingin sekali membeli popcorn dan minuman dingin.
Saat sudah dalam cinema, Belvara meminta izin padaku ke kamar kecil dan aku mengiyakannya, film sudah dimulai sekitar 20 menit dan cukup terkejutnya aku, melihat Belvara membawa popcorn dan minuman untukku. Dibalik sikap dinginnya, Belvara sangat perhatian padaku. Dengan wajah yang terkejut sekaligus tidak percaya, aku menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira.

Kegiatan kami hari ini sudah selesai, saatnya kami pulang. Saat dalam perjalanan, terlihat seorang anak kecil, berusia 9 tahun tertabrak motor. Sontak Belvara menghentikan mobilnya dan menghampiri anak kecil tersebut. Aku tidak ikut menghampirinya, karena aku sungguh takut akan darah segar. Tampak Belvara meminta bantuan warga sekitar untuk membopong anak kecil tersebut masuk kedalam mobil kami. Selama diperjalanan, anak kecil ini terus menerus menangis dan menjerit kesakitan, aku sangat takut dengan keadaan seperti ini, aku hanya bisa duduk diam dan memegang erat tas genggamku.

Setibanya kami dirumah sakit Belvara menggendong anak kecil tersebut dan melangkah cepat masuk kedalam ruang gawat darurat, karena memang keadaan anak kecil itu cukup parah. Aku hanya menunggunya didalam mobil, dengan hal yang sama, menggenggam erat barang disekelilingku. Aku sangat takut jika melihat banyak darah yang mengalir deras.

Sekitar dua jam aku menunggu Belvara, dari kejauhan aku melihatnya berlari kecil menghampiri mobil kami, Belvara pun masuk dan langsung memelukku.
"Semuanya baik-baik saja Zoya, jangan takut. Ada aku disini, aku tidak akan meninggalkanmu lama-lama." Belvara mengusap rambutku.
"Bagaimana anak kecil itu?" aku memegang erat tangan Belvara.
"Dia sudah aku tangani, sekitar 5 hari mungkin jahitannya sudah bisa mengering." Katanya menenangkanku.
Aku masih gemetar dengan kejadian itu.
"Sangat berat memang mejalani profesi sebagai seorang dokter, harus siap kapan saja dan dimana saja."
"Jika begitu kenyataannya, aku tidak ingin menjadi seorang dokter." Aku memeluk Belvara kembali.
Belvara pun hanya tertawa mendengar ucapanku.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali tidak aku dapati Belvara di kamarnya ataupun di setiap ruangan dirumah, aku mencoba mengirimnya beberapa pesan dan menghubunginya, tapi tidak ada satupun pesan yang dia balas ataupun mengangkat panggilanku. Terdengar suara mobil, tapi aku tahu ini bukan mobil Belvara, aku sudah sangat mengenal suara mobil Belvara. Saat aku membuka gerbang rumah, apa yang aku dapati? Adryan berdiri dihadapanku.
"Mau apa kamu kesini?" tanyaku gusar.
"Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu." Dengan wajah yang menyedihkan.
"Jelaskan sekarang."
"Tidak disini." Katanya.
Aku pun mempersilahkan dia masuk kedalam rumah. Saat aku sudah masuk kedalam rumah bersama Adryan, dia langsung mengunci pintu rumahku.
"Mau apa kamu Adryan?! jangan macam-macam atau tidak aku akan teriak!" ancamku.
"Kamu mau kemana lagi sayang? hari ini sepenuhnya kamu adalah milikku, tidak ada seorangpun yang mampu merebut dirimu dariku." Adryan tertawa puas seperti iblis.
Aku langsung berlari menuju lantai atas dan Adryan mampu mengejarku dengan mudah. Ketika aku tertangkap, dia langsung mengangkatku ke atas sofa dan mencoba memperkosaku. Sebelum dia melucuti pakaianku, aku mampu menendang kelemahannya dengan sangat kencang, hingga dia terjatuh tak berdaya. Ini adalah kesempatanku untuk keluar dari rumah dan meminta pertolongan warga. Dengan cepat Adryan sudah mengejarku dari belakang, tapi aku berhasil membuka pintu keluar yang masih terdapat kunci yang menggantung. Aku berlari menuju gerbang sesekali menoleh ke belakang dan aku menabrak seseorang hingga terjatuh. Belvara?
Belvara tampak bingung dengan tingkahku yang ketakutan. Dia terus bertanya tapi aku tidak menjawab dan hanya memeluknya. Adryan pun muncul dari dalam rumah dan mulai tertawa.
"Jadi kamu meninggalkanku demi laki-laki seperti ini?" kata Adryan sambil menunjuk ke arah Belvara.
Wajahnya mulai memerah, urat-urat di lehernya pun sudah mulai terlihat. Belvara mulai menggulung lengan kemeja putih yang ia kenakan dan menyuruhku menjauh darinya.
"Mau apa lagi kamu kesini?" tanya Belvara.
"Aku hanya ingin menjemput kekasihku, itu saja." Jawabnya enteng.
"Kekasihmu? siapa yang kamu maksud? Zoya?"
"Yaa, siapa lagi." Katanya dengan nada meledek.
"Jangan pernah dekati dia, atau aku akan membunuhmu ditempat kamu berdiri sekarang." Perlahan Belvara mendekati Adryan.
"Ohhh rupanya kamu mencintai Zoya? hahaha.. mau saja kamu menerima perempuan yang sudah pernah aku PAKAI." Adryan menekankan kata pakai.
Tanpa ampun, Belvara langsung menghajarnya hingga terpental jauh dari tempat dia berdiri. Mereka saling beradu kekuatan, hingga pada akhirnya Adryan mengambil gunting rumput yang terletak dekat ia terjatuh dan melukai dada Belvara. Bukannya Belvara semakin lemah, justru Belvara semakin tidak bisa menahan diri dan menghajar Adryan habis-habisan, hingga bibirnya sobek dan terkapar tak berdaya dilantai. Petugas keamanan kompleks perumahan akhirnya mengetahui keributan yang terjadi dirumahku dan membawa Adryan ke pos keamanan.
Aku membantu Belvara untuk bangkit dan mengambil kotak obat dikamar bunda. Aku mencoba mengobati lukanya dengan caraku sendiri.
"Bodoh!" ucap Belvara kasar.
Aku hanya terperanga mendengar kata-katanya.
"Alkohol dulu baru obat merah!"
"Aku bukan seorang dokter Belva!"
Aku menghentikan kegiatanku mengobati lukanya dan Belvara mengobati lukanya sendiri.
Dalam sunyi kami saling tak bicara.
Akhirnya Belvara kembali bersuara.
"Kenapa kamu mengajak Adryan datang kerumah ini?"
"Aku tidak mengajaknya Belva!" mataku sudah berlinang air mata.
"Tidak mungkin! kamu bisa menolaknya jika memang benar dia datang kerumah ini." Dia mulai meninggikan nada bicaranya.
"Kamu tuh aneh ya Belva! sebentar-sebentar kamu manis dan kembali lagi ke sifat asli kamu!"
Belvara hanya diam.
"Kamu kenapa sih mukulin dia?!" tanyaku teriak.
"Kenapa? kamu tanya aku kenapa? kamu tidak menerima jika aku menghabisinya?! iya?!"
"Bukan seperti itu!"
"Seperti apa?!" semakin lama langkah Belvara semakin mendekat.
"Seperti apa?" tanya ulang Belvara.
"Aku tidak mau kamu terluka karena aku!" air mataku kini sudah jatuh bebas di pipiku.
Aku bukan menghawatirkan Adryan, tapi aku tidak ingin Belvara terluka karena aku.
"Jika aku tidak datang..."
Belum selesai Belvara berbicara, aku memotongnya.
"Aku tahu, aku bukan perempuan baik-baik."
Aku berlari menuju kamarku dan meninggalkannya.
Belvara tidak lagi mengejar langkahku.
Kami sama-sama saling memberi waktu untuk menenangkan diri.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang