Part 15

1.6K 82 0
                                    

"Ayah." Zoya panik mengangkat panggilan dari ayahnya.
"Ayah, bicara yang jelas." Zoya semakin panik.
"Kamu pulang sekarang sayang, keadaan bunda sangat kritis." Suara ayah tidak begitu jelas.
"Iya ayah. Aku langsung kerumah sakit saat sampai di Jakarta." Air mata Zoya mulai berlinang.
Zoya membuka isi tasnya dan mengambil dompet. Beruntung ia membawa kartu atmnya. Zoya yang saat itu berada di persimpangan jalan raya depan kampusnya mencoba mencara taksi. Sialnya saat itu tidak ada taksi yang terlihat, bahkan angkutan umum penuh dengan penumpang. Terlihat dari kejauhan mobil Arva yang keluar dari gedung kampus, sontak Zoya berlari ke arah mobil tersebut. Mengetahui gadis itu berlari menghampirinya, segeralah Arva menghentikan laju kendaraannya.
"Ada apa Zoya." Arva turun dari mobil.
"Please anterin aku ke airport, sekarang." Zoya melipat kedua tangannya.
Arva menarik pergelangannya dan membukakan pintu untuk Zoya.
Di dalam mobil raut wajah Eva terlihat tidak senang dengan kegagalan kencan mereka yang sudah direncanakan, sementara Zoya panik mencoba menghubungi bandara untuk memesan tiket menuju Jakarta. Arva melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat maksimal namun terkendali.

"Makasih ya." Zoya menepuk bahu Arva dan keluar dari mobil sesampai di depan airport.
Arva ikut turun mengejar langkah Zoya.
Ketika sudah sampai di loket tiket, Arva melontarkan pertanyaan pada Zoya yang sedang menunggu pencetakan tiket.
"Sebenarnya ada apa?" Arva mengangkat dagu Zoya yang sedang menunduk.
"Bunda. Bunda kritis dirumah sakit." Buliran air mata Zoya mulai membasahi pipinya.
Arva berusaha menenangkan Zoya dan mendekapnya dalam pelukan. Zoya yang terlihat sangat sedih tidak menolak pelukan hangat yang diberikan Arva. Dalam diam, gadis itu mulai menangis ketika Arva memeluk tubuhnya semakin erat.
"Semua akan baik-baik saja. Percayalah." Arva membelai lembut rambut Zoya.
Tidak ada balasan apapun dari Zoya.
"Ini mba." Kata petugas loket.
Mereka berdua terkejut saat mendengar suara tersebut. Dengan tangan yang gemetar, Zoya mengusap air matanya.
"Aku duluan ya, makasih kamu udah anterin aku." Zoya tersenyum memandang Arva.
"Apapun Zoya." Arva mengusap air mata Zoya yang masih membasahi pipinya.
Dengan langkah yang pasti, Zoya pergi tanpa menoleh kembali ke arah Arva. Arva hanya tersenyum memandangi Zoya dan membayangkan kembali pelukan hangat yang terjadi di antara mereka berdua.

Pesawat yang di tumpangi Zoya mulai mendarat di ibu kota Jakarta. Beruntung tidak sulit mencari taksi di airport. Tapi saat hendak ingin memasuki taksi yang Zoya tuju, seseorang berteriak memanggil.
"Zoya!"
Suara itu terdengar tidak asing baginya. Dengan penuh keraguan, Zoya membalikan tubuhnya.
Seketika pandangannya mampu menangkap seseorang dengan jelas, sosok yang selama ini sangat ia rindukan.
"Belva." Kata Zoya lirih.
Belvara berjalan mendekat. Tidak ada yang berubah dari dirinya. Sama sekali tidak ada yang berubah.
"Aku tahu keadaan bunda kamu, karena itu aku kesini." Kata Belvara.
Zoya menghindar saat Belvara ingin memeluknya.
"Maafkan aku selama ini." Kata Belvara.
"Maaf? untuk apa? tidak ada yang perlu dimaafkan." Zoya menatap tajam bola mata Belvara.
"Aku menghilang tanpa kabar." Belvara menyentuh jemari Zoya.
Zoya tidak menolak sentuhan Belvara kali ini, ia ingin mendengar penjelasan yang selama ini ia tunggu dari Belvara.
"Aku akan jelaskan nanti, sekarang kita langsung kerumah sakit."
Harapan Zoya pupus untuk mendapat penjelasan dari Belvara, tapi apa yang dikatakan Belvara adalah benar, saat ini yang terpenting adalah bundanya.
Mereka berdua segera menuju rumah sakit.

"Ayah." Zoya berlari saat melihat sosok yang sedang berdiri tak berdaya di ambang pintu.
Mereka saling berpelukan.
"Gimana kondisi bunda?" Zoya mulai menangis.
"Batang otak bunda pecah. Kecil harapan bunda untuk melewati masa kritisnya." Jelas ayah.
Perlahan Zoya mendekat ke arah jendela kamar bunda dengan tatapan tidak percaya.
"Bunda harus kuat, Zoya udah pulang."
Belvara mulai melangkah mendekat.
"Jangan menangis Zoya. Kamu harus...."
"Kamu suruh aku jangan menangis? karena yang terbaring tidak berdaya disitu bukan ibu kamu! kamu mudah untuk mengatakannya, tapi tidak untukku!" kata Zoya penuh emosi.
Belvara mengerti apa yang Zoya rasakan. Tidak sedikitpun kata-kata Zoya yang ia masukkan dalam hati. Ingin sekali Belvara memeluknya, tetapi ia tahu Zoya pasti akan menolak, setelah apa yang Belvara lakukan padanya.

Dokter yang menangani bunda Zoya mulai berlarian menuju ruangan itu dengan raut wajah yang panik. Ayah Zoya mencoba bertanya pada dokter itu namun tidak mendapatkan tanggapan. Semua orang mengerti, karena terlihat napas bunda Zoya yang sudah semakin tidak terkontrol.
"Bundaaaaaa.." Zoya semakin berteriak.
Terlihat dari jendela, dokter yang menangani bunda Zoya sudah menggunakan pemancing detak jantung.
"Jangan ambil bunda Tuhan." Zoya melipatkan kedua tangannya.
Dokter itu terlihat sudah sangat berusaha, namun hasil yang ia dapat, nihil.
Detak jantung bunda sudah berhenti, itu berarti Tuhan telah memanggilnya.
Ayah Zoya yang terlihat shock tidak bergerak sama sekali, ia hanya memandangi istrinya. Sementara Belvara memeluk Zoya yang sudah menjerit.
Para suster perawat sudah membenahi peralatan yang dipasangkan pada tubuh bunda Zoya. Sang dokter terlihat melangkah ke arah pintu dan perlahan mendekati ayah dengan raut wajah yang penuh penyesalan.
"Maafkan kami, tapi Tuhan lebih menyayanginya." Dokter menepuk bahu ayah.
Ayah tidak bergerak sama sekali. Setelah beberapa menit ayah mulai masuk kedalam ruangan itu seorang diri.
"Saat ini, kamu sudah dahulu pergi meninggalkan aku dan putri kita. Kamu dulu pernah berkata padaku, berharap kita tumbuh tua bersama dan melihat putri satu-satu yang kita punya memiliki keluarga. Tapi sekarang kamu yang meninggalkan harapan itu. Entah apa dosa yang aku lakukan hingga Tuhan lebih dulu memanggilmu. Saat ini Zoya sudah kehilangan bundanya, aku berjanji padamu, putri kita tidak akan pernah merasa kekurangan cinta kasih dari seorang ibu. Akulah yang akan menggantikan tanggung jawabmu. Tenanglah kamu disana, berdoalah untuk putrimu, agar dia selalu bahagia dalam hidupnya." Ayah mengecup bibir bunda dengan penuh kelembutan.

Tidak lama, Ayah keluar dari ruangan itu dengan mata yang sangat sembab.
"Temuilah bunda." Ayah mengelus puncak kepala Zoya.
Zoya melirik ke arah Belvara, Belvara pun menganggukan kepala.
Perlahan Zoya masuk dan menemui bundanya seorang diri.
Zoya merekatkan sela-sela jemarinya yang jenjang pada jari-jari bundanya.
"Bunda, aku tidak pernah menyangka bunda akan meninggalkanku, bahkan untuk saat terakhir bunda masih disini, aku tidak menemui bunda. Aku terlambat bunda. Maafkan aku, aku belum sempat membahagiakan bunda. Jika kali ini bunda marah padaku, hukumlah aku bunda. Tapi jangan tinggalkan aku. Bunda telah banyak mengajarkan aku berbagai macam hal, tapi satu yang tidak bunda ajarkan, yaitu cara menjalani hidup tanpa bunda." Zoya memeluk jasad bundanya yang semakin dingin.

Zoya terus menangisi kepergian bundanya, tidak ada henti-hentinya Zoya memeluk tubuh bunda, hingga ayah dan Belvara mulai menjemput Zoya kedalam ruangan itu dan membawanya keluar.
"Zoya, ikhlaskan bunda, biarkanlah dia tenang bersama Tuhan di surga." Ayah mencium kening putrinya.
Dengan penuh kesedihan, Zoya memeluk ayahnya.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang