Part 21

1.4K 68 0
                                        

Sesampainya di kelas, Eva melihat leher Zoya dengan tatapan yang terkejut.
"Zoy, siapa yang memberi kalung ini?" Eva tampak sangat penasaran.
"Belva." Zoya tersenyum dan memegang lembut kalungnya.
"Kamu tidak pernah menceritakan padaku, siapa Belva?" tanya Eva bingung.
"Dia adalah kekasihku. Sebenarnya kami dekat sudah cukup lama, tapi baru-baru ini dia menyatakan perasaannya padaku." Jawab Zoya dengan penuh senyuman.
Arva yang sedang melewati kelas Zoya tidak sengaja melihat gadis yang ia cintai sedang tersenyum sangat manis. Saat itu juga, langkah Arva terhenti tepat di depan kelas Zoya. Eva yang menyadari kehadiran Arva segera memanggil namanya.
"Ka Arva!" teriak Eva.
Dengan spontan Zoya segera menoleh ke arah Arva berdiri.
Pandangan penuh arti yang di berikan Arva padanya, tetapi dibalas dengan tatapan yang singkat oleh Zoya. Arva sadar akan posisinya. Dia tahu, bahwa Zoya tidak senang jika dia dengan sengaja mendekati gadis cantik itu. Arva harus membuang perasaannya jauh. Dia tidak ingin karena perasaannya, Zoya menjadi membenci dirinya. Cukup Zoya menolak perhatiaannya, ia tidak sanggup jika Zoya menganggap dirinya sebagai musuh.

Jam kuliah Zoya sudah selesai, saatnya untuk kembali ke apartemen. Zoya tidak sabar bertemu Belvara. Setiap saat Zoya selalu merindukan sosok kekasihnya itu. Dengan langkah yang pasti, Zoya berjalan menuju persimpangan jalan raya. Seperti biasa, ia mencari sebuah taksi. Berbeda dari sebelumnya, dengan waktu yang sangat singkat, gadis itu sudah mendapatkan sebuah taksi. Sepertinya takdir tahu, bagaimana perasaan bahwa dia ingin cepat kembali pulang.

Zoya mulai masuk ke dalam taksi dan memberi tahu kemana arah tujuannya.
Ketika Zoya sedang sibuk dengan ponselnya dan mencoba menghubungi Belvara yang berada di apartemen, tapi tidak ada jawaban. Perlahan Zoya mulai menyadari ini bukanlah arah menuju apartemennya.
"Pak, ini daerah mana ya?" raut wajah Zoya sudah memucat.
"Jalanan depan sedang ada perbaikan. Jadi saya lewat jalan lain." Jawab supir taksi dengan tenang.
'Hah? tadi perasaan jalanannya baik-baik saja.' Perasaan Zoya mulai tidak enak.
Tiba-tiba dugaan Zoya benar, supir taksi ini memiliki maksud jahat terhadapnya. Dia membawa Zoya menuju persawahan yang sangat sepi.
Tiba-tiba saja tiga lelaki berpenampilan serba hitam datang menghampiri taksi yang di tumpangi Zoya. Supir taksi itu membiarkan ketiga laki-laki tersebut yang seperti perampok mulai menarik Zoya keluar. Sudah dipastikan perampok dan supir taksi ini saling bersekongkol. Dengan pertahanan semampu Zoya, ketiga laki-laki itu berhasil menarik tubuh Zoya keluar dari dalam taksi. Zoya terus menerus berteriak meminta pertolongan, namun tidak ada satupun orang yang berada disekitar persawahan tersebut.
"Lo mau teriak sekencang apapun, hingga suara lo terdengar sejauh 5 kilometer juga gak ada yang bantuin lo!" Salah satu perampok berkata dengan diikuti tawa yang menakutkan.
"Mau apa kalian semua?" Zoya mencoba melepaskan pergelangan tangannya yang di genggam sangat erat oleh salah satu perampok.
"Lepas semua perhiasan lo dan berikan semua kartu kredit, atm beserta nomor pin." Perampok itu mengancam Zoya dengan pisau.
"Lepasin!!!!!" Zoya mengabaikan perkataan perampok itu dan tidak memberi apa yang perampok tersebut inginkan.
Melihat Zoya yang tidak mengikuti keinginannya, perampok mulai menarik tas yang berada pada bahu Zoya. Kedua pergelangan Zoya di cengkram, hingga gadis malang itu tidak mampu memberikan perlawanan.
"Jangannnn!!!" Zoya mulai menangis menjerit.
Alhasil perampok itu sukses meraih tas Zoya dengan sangat mudah. Salah satu perampok yang menggenggam tangan Zoya mulai memandang kalung yang berada di leher gadis cantik itu.
"Bos, kalungnya. Sikat bos!"
"Jangan!!! kalian bisa ambil semua yang kalian inginkan, tapi saya mohon jangan rampas kalung ini. Kalung ini sangat berarti bagi saya." Seketika Zoya teringat akan janjinya untuk menjaga kalung ini.
"Halah! gua gak peduli! mau ini kalung dari bokap lo, nyokap lo, pacar lo! gak peduli gua!"
Saat perampok tersebut mencoba meraih kalung berlian Zoya, seseorang datang dan menendang tubuh perampok itu hingga jatuh ke tanah.
"Arva." Zoya semakin menangis.
Arva mulai menghajar habis-habisan perampok yang terjatuh itu. Kedua perampok yang lain menjauhkan diri Zoya dari Arva.
Perkelahian Arva dan perampok itu sangat sengit, namun Arva mampu menangani perampok itu dengan mudah.
Wajah Zoya semakin panik, saat salah satu perampok yang berada di sampingnya dengan cepat mengeluarkan pisau tajam dari saku jaket kulit miliknya.
"Lepasin temen gua, atau cewe ini akan mati di tangan gua!" Dengan cepat pisau itu sudah berada dekat dengan Zoya, hanya berjarak 5 centimeter.
Mendengar ancaman tersebut, Arva segera berhenti menyakiti perampok tersebut yang sudah tidak sadarkan diri.
"Jangan sentuh dia sama sekali. Atau kalian bertiga akan mati disini juga!" Arva mulai melangkah mendekati Zoya dan kedua perampok itu.
"Selangkah lagi lo dekat, pisau ini akan menancap di leher cewe lo!" Perampok itu semakin mendekatkan pisaunya ke leher Zoya.
Melihat Zoya yang semakin menjerit, Arva menghentikan langkahnya.
Dengan susah payah, Arva menahan emosinya untuk menghabisi para perampok.
"Mau kalian apa?" tanya Arva dengan suara yang mulai tenang.
"Biarkan kita pergi dari sini dengan membawa semua yang kita inginkan." Perampok itu memandang tajam mata Arva.
"Baiklah." Jawab Arva.
Salah satu perampok melepaskan genggamannya dari tangan Zoya dan mendekati tas Zoya yang sudah jatuh di tanah. Sementara yang satunya mencoba melepas kalung berlian Zoya.
Ini adalah kesempatan bagi Arva, dia harus menyelamatkan Zoya dan barang-barang milik gadis itu.
Dengan langkah yang hati-hati, Arva mulai mendekat. Perampok itu tidak menyadari kehadiran Arva yang semakin mendekat, dengan cepat Arva menendang tubuh perampok yang berada dekat dengan Zoya hingga terjatuh ke sawah.
Sementara perampok yang sedang mengambil tas segera menghampiri Arva dengan wajah yang penuh amarah. Arva menarik tubuh Zoya dan memintanya untuk menjauh dari lingkungan itu.
"Kamu pergi!" teriak Arva.
"Aku tidak akan meninggalkan kamu sendiri." Jawab Zoya cepat.
"Kamu tidak akan membantuku jika kamu masih berada disini."
Mendengar perkataan Arva, Zoya segera lari dari situasi itu.
Arva mulai menghajar perampok yang mendekatinya dengan tangan kosong. Seperti sebelumnya, Arva mampu menghabisi temannya hingga tidak berdaya. Saat Arva sedang menghabisi perampok itu yang sudah terbaring, perampok yang lain datang dengan pisau yang sudah mengarah padanya. Dari kejauh, Zoya berteriak.
"Arva!!!!!!!!!" jeritannya mampu terdengar oleh telinga Arva dengan sangat jelas.
Arva takut jika perampok itu kembali menyandera Zoya, segeralah ia menoleh pada sumber suara tersebut.
Namun hal yang ia dapat adalah? tidak, perampok itu sama sekali tidak menghampiri Zoya, menyentuh saja pun tidak.
Dengan sempurna, pisau itu menancap di perut sisi kanan Arva.
Arva terdiam. Seketika suanan hening. Zoya mulai terkejut dengan hal itu.
"Mampus lo!" perampok itu mulai tertawa puas.
"Arva." Zoya mulai memanggilnya lembut.
Kaki Arva sepertinya sudah tidak mampu menopak tubuhnya sendiri. Perlahan, ia mulai terjatuh ke tanah. Teriak Zoya mampu menegangkan situasi itu kembali.
Perampok itu yang melihat tubuh Arva mengeluarkan banyak darah segera pergi, dia takut jika Zoya memanggil polisi.
Dengan berlari, Zoya menghampiri Arva dan menjatuhkan dirinya disamping laki-laki yang terbaring lemah itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Arva dengan nada yang mulai tersamar.
"Arva. Kamu harus kuat, tidak lama lagi ambulance akan datang." Zoya berlari ke arah tasnya dan mencari ponselnya. Gadis itu menelfon rumah sakit untuk meminta dikirimkan ambulance. Zoya tidak tahu dimana ia berada sekarang, dia hanya menyebutkan ciri-ciri dari lokasi tersebut.
"Arva!!!" Zoya menopang kepala Arva diatas pangkuannya.
"Arva sadar, sebentar lagi ambulance akan datang dan membawa kamu kerumah sakit." Zoya menepuk-nepuk pipi Arva.
Semakin lama, pandangan Arva mulai tidak jelas. Mata Arva pun terpejam.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang