Part 23

1.3K 66 0
                                    

'Pagi-pagi seperti ini siapa yang berisik banget di dapur.' Belvara mulai tersadar dari tidurnya. Ini masih pukul 5 pagi dan Zoya sudah bangun? cukup membingungkan bagi Belvara yang sedang duduk di sofa memperhatikan Zoya.
"Zoya.." Belvara memanggilnya.
"Kamu sudah bangun?" Zoya menoleh sambil tersenyum.
Belvara mulai mendekati Zoya. Dia melihat kekasihnya itu sedang memasak. Dengan penuh kemesraan Belvara memeluk tubuh Zoya dari belakang dan mencium lembut pipi kirinya.
"Sekarang tuan putriku sudah pintar memasak." Belvara mulai menggoda.
"Hanya masak seperti ini Belva. Anak SD juga bisa melakukan ini." Zoya menjawab sambil membalikan telur mata sapi yang sedang ia goreng.
Belvara tidak berkata apapun lagi, ia tetap memeluk tubuh Zoya dan menenggelamkan kepalanya di bahu Zoya.
"Belva, lebih baik kamu mandi sekarang. Tuh ada ilernya kan." Zoya mulai mengbalikan tubuhnya dan melingkarkan kedua tangannya di leher Belvara.
"Mana ada! aku tuh tidur mana pernah ileran." Belvara mengusap kasar ujung bibirnya.
"Yaudah kamu mandi sana!!!" Zoya mulai mengerutkan alisnya.
"Iya tuan putri..."
Sebelum Belvara pergi dari dapur, ia berhasil mengecup lembut bibir Zoya.

Setelah selesai mandi, Belvara kembali mendekati Zoya. Kali ini Zoya sudah selesai dengan masakannya dan sekarang gadis itu sudah berada di meja makan.
Tampak Zoya sedang menyusun sandwich yang dia buat di dalam kotak makan berwarna merah jambu.
Belvara tampak bingung dengan apa yang Zoya lakukan.
"Zoya, kenapa harus kamu taruh di kotak makan? di atas piring juga cukup." Belvara sudah berdiri di dekat Zoya.
"Aku mau bawa ke rumah sakit." Zoya tersenyum.
Seketika darah Belvara sudah meluap. Rasanya seperti gunung yang sedang ingin meletus. 'Jadi sejak tadi pagi, Zoya sibuk memasak untuk Arva?' geram Belvara dalam hati.
"Untuk Arva?" Belvara menahan emosinya.
Zoya hanya menganggukan kepala dengan penuh semangat.
"Kamu perhatian banget sama dia." Nada bicara Belvara mulai tidak enak didengar.
"Belva, dia lagi sakit." Zoya menghentikan aktifitasnya.
"Jika aku yang terbaring di kasur itu, apa kamu akan seperti ini? aku tahu dari dulu kamu tidak pernah bangun pagi. Kamu sangat susah bangun pagi Zoya. Tapi sekarang, kamu lihat." Belvara menatap Zoya sambil tersenyum pahit.
"Iya. Aku akan lakukan hal yang sama untuk kamu. Aku mohon sama kamu Belva, aku tidak mau berantem sama kamu. Arva sudah nolong...."
"Dia nolongin kamu. Iya aku udah tahu. Dan kamu memberi dia perhatian sebesar ini? dia sudah ditangani dokter Zoya, keadaanya pasti akan baik-baik saja." Belvara mulai meninggikan nada bicaranya.
"Perhatian yang besar?" Zoya mulai bingung.
"Aku tahu kamu khawatir padanya. Kamu rela melawan kebiasaan kamu dan masak pagi-pagi. Tanpa kamu sadar, aku melihat kamu tertidur di samping Arva. Aku bisa lihat cinta dimata kamu untuk dia!"
Satu tamparan melayang dengan sempurna di pipi Belvara. Seketika suasana menjadi hening.
Belvara menatap kembali mata Zoya yang penuh dengan amarah.
Laki-laki itu hanya tersenyum melihat apa yang dilakukan Zoya padanya.
"Sudah puas?" tanya Belvara dengan nada yang datar.
Zoya hanya terdiam.
"Kenapa kamu diam? tampar aku lagi."
Kesal dengan perkataan Belvara, Zoya pun segera merapihkan kotak makan dan meraih tas miliknya, lalu pergi meninggalkan apartemen.
"Aku yakin kamu dan Arva saling memiliki rasa yang sama." Belvara menatap pintu yang masih terbuka dengan penuh kemarahan.

Dengan perasaan yang sangat jengkel, Zoya sudah tiba di rumah sakit dan segeralah dia melangkah menuju kamar Arva.
Perlahan pintu mulai terbuka. Zoya tersenyum saat melihat Arva yang sedang terbaring dalam kondisi yang mulai membaik.
"Zoya." Arva tersenyum pada Zoya.
Sang suster perawat yang sedang memberikan suntikan vitamin pada Arva segera meninggalkan ruangan tersebut saat melihat kehadiran Zoya.
"Saya tinggal dulu ya." Perawat tersenyum pada Arva.
"Terimakasih sus." Arva juga membalas senyuman itu.
Perlahan Zoya mendekat ke tempat tidur Arva.
"Gimana kondisi kamu?" Zoya meletakan kotak makan di meja samping tempat tidur.
"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja."
Arva mulai memandang kotak yang Zoya bawa dengan seksama.
"Kamu bawa apa?" Arva melirik kotak tersebut.
"Aku tahu disini makanannya pasti tidak enak, karena itu aku bawa ini untuk kamu." Zoya meraih kotak itu dan membuka penutupnya dengan penuh semangat.
"Beli dimana?"
"Enak aja! ini bikin!" Zoya mulai memasang raut wajah yang kesal.
"Hahaha... yakin?" Arva menatap Zoya dengan pandangan yang tidak yakin.
"Kamu harus coba!"
Arva menganggukan kepalanya.
Zoya mulai mengatur tempat tidur bagian kepala agar sedikit terangkat.
"Kamu mau suapin aku?" Arva mulai menggoda Zoya.
"Kamu makan sendiri! kayak anak kecil saja." Zoya meletakan kotak makan di pangkuan Arva.
Dengan akal cerdiknya, Arva menunjukan punggung tangannya yang penuh dengan infusan.
"Apa aku bisa makan sendiri jika tanganku banyak jarum?" Arva mengangkat sebelah alisnya.
"Sial." Zoya mengendus kesal.
Arva menahan tawa saat melihat ekspresi wajah gadis yang ia sukai.
Perlahan Zoya memberikan suapan pertama untuk Arva. Dengan penuh rasa bahagia, Arva melihat sandwich yang di buat Zoya.
"Gimana?" tanya Zoya dengan raut wajah yang ketakutan.
"Hmmmmm... enak kok." Setelah lama menjawab pertanyaan Zoya, Arva mulai tersenyum kepada Zoya dengan sangat manis.
"Iyalah. Keren kan?" Zoya mulai menyombongkan dirinya.
"Bikin sandwich gampang banget. Ya kamu bisa lah.." Arva melepaskan tawanya yang tertahan sedari tadi.
Mereka berdua pun saling tertawa bersama dan menikmati sandwich yang sudah dipersiapkan Zoya sejak pagi tadi. Arva tidak membiarkan dirinya sendiri yang menyantap makanan itu, Zoya juga harus menikmati hasil dari masakannya.

Kondisi Arva semakin hari semakin menunjukan kemajuan yang cukup pesat. Baginya hanya Zoya yang mampu memulihkan kesehatannya. Arva menikmati masa-masa dimana Zoya sangat memperhatikan kondisinya.
'Aku lebih baik terluka seperti ini, supaya aku bisa mendapatkan perhatian kamu.' Dalam diam Arva tersenyum memandang Zoya yang sedang mengambil air mineral dan sibuk mengeluarkan pil obat dari pembungkusnya.
"Nih..." Zoya memberikan segelas air mineral dan beberapa butir obat kepada Arva.
Tanpa merasa kepahitan, Arva menelan obat itu sekaligus. Bagi Arva, rasa pahit dari obat tidak lebih pahit jika Zoya mengabaikan kehadirannya.

Meraka berdua sedang asyik berbincang-bincang dan kemudian dokter yang menangani Arva masuk kedalam ruangan itu.
"Mulai besok Arva sudah bisa kembali pulang." Dokter mendekat ke arah Zoya.
Zoya mulai menatap Arva dengan penuh kebahagiaan. Berbeda dengan Arva, kini raut wajahnya menjadi tidak bersemangat.
"Tapi, Arva harus banyak istirahat dan menjaga pola makannya. Jangan melakukan aktifitas yang terlalu berat." Kata dokter.
"Baik dok... terimakasih sudah menyampaikan kabar baik ini." Zoya menyalami dokter.
"Kalau begitu, saya permisi dulu." Dokter itu kemudian meninggalkan ruangan Arva.
"Besok kamu pulang!!!" Zoya tampak sangat senang menatap Arva.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang