"Apa?!" teriak Eva histeris.
"Ya, anda bisa tinggalkan kampus ini setelah keluar dari ruangan saya." Kata rektor kampus dengan santai.
"Tidak bisa pak. Punya bukti apa bapak bisa nuduh saya?" emosinya mulai meluap.
"Sampaikan pada Arva, suruh dia datang ke ruangan saya." Kata rektor pada petugas keamanan yang berdiri tidak jauh dari perdebatan mereka.
"Baik pak.""Gila! lo yakin Eva yang lakuin?" tanya Reza tidak percaya.
"Gua liat dengan mata kepala gua sendiri." Arva asyik memainkan es batu yang berada di gelasnya dengan sedotan.
"Hah? ngarang lo! waktu kebakaran kan lo di luar sama gua. Lo liat kan Eva di luar juga?" Reza menatap Arva tanpa beralih.
"Maksudnya, gua liat cctv di depan lab. Susah deh di ceritain. Yang jelas, Eva yang menyebabkan kebakaran kemarin."
"Bukannya dia sahabatan sama Zoya ya? kok....."
Belum selesai Reza berbicara, petugas keamanan datang menghampiri Arva.
Petugas mengatakan, bahwa rektor meminta Arva datang ke ruangan beliau. Arva pun mengiyakan permintaannya dengan sangat sopan.
"Gua cabut dulu ya."
"Ta...tapiii.." Reza semakin kebingungan.
"Nanti gua jelasin." Arva bangkit dan meninggalkan Reza yang tetap duduk di bangku kantin.Arva mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan rektor.
"Ada apa ya pak?" tanya Arva sopan.
Segeralah Eva menghampiri Arva saat mendengar suaranya.
"Arva. Kamu yakin kan aku tidak mungkin melakukan hal itu." Tatap Eva penuh harapan.
Arva hanya terdiam dan tidak menatap mata Eva sama sekali.
"Arva... bilang!!! kalau aku tidak mungkin membahayakan Zoya." Eva mengguncangkan tubuh Arva.
Tetap saja, tidak ada kata yang terucap dari bibir Arva.
"Zoya temanku, Arva!" teriak Eva.
Satu tamparan mampu membuat Eva berhenti berteriak.
Semua orang yang berada di dalam ruangan terkejut, termasuk Arva sendiri. Emosi laki-laki itu tidak terkendali saat berhadapan dengan perempuan yang membahayakan hidup Zoya.
"Arva!!!!!!!!" teriak rektor.
Arva dan Eva menoleh ke rektor bersamaan.
"Bagaimana bisa laki-laki menampar seorang perempuan!" tatap rektor pada Arva.
Arva menghampiri rektor dengan penuh keberanian.
"Maaf. Saya...."
"Sudah. Tidak perlu di lanjutkan."
Seketika ruangan itu sangat hening, hanya terdengar aktifitas di luar ruangan.
"Putar rekaman itu Arva. CD nya berada di laci." Kata Rektor.
Arva pun menghampiri laci yang di tunjuk oleh rektor dan mengambil CD itu.Eva terkejut saat rekaman perbuatannya pada Zoya di putar. Dia tidak mengira bahwa ada cctv di depan laboratorium.
"Sudah jelas?" tanya rektor pada Eva.
"Tapi, saya tidak berniat untuk membakar lab itu!" pembelaannya yang di tolak tegas oleh rektor.
"Terus niat kamu apa?!" Arva kembali emosi.
"Berhenti Arva! kejadian ini tanggung jawab saya. Anda hanya saksi yang mencurigai dan mendapatkan bukti rekaman itu, selebihnya anda tidak berhak melakukan apapun pada Eva, termasuk menyakitinya."
Arva kembali bungkam.
"Saya tidak menerima alasan apapun. Perbuatan anda bisa di proses dengan jalur hukum, namun saya tidak melakukannya. Beruntung keadaan Zoya baik-baik saja. Jika tidak.... saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan, nama baik kampus kita."
Air mata Eva mulai mengalir.
"Anda bisa mencari kampus lain." Kata rektor kembali.
Arva terkejut mendengar pernyataan rektor.
"Maksud bapak?" tanya Arva tegang.
"Eva, saya drop out."
"Apa yang harus saya katakan pada orang tua saya pak?" Eva semakin menangis.
"Saya tidak peduli. Sekarang anda bisa keluar."
"Tapi pak.."
"Keluar!" rektor menunjuk pintu ruangan diiringi teriakan.
Dengan menundukkan kepala, Eva bangkit berdiri. Namun, sebelum dia meninggalkan ruangan khususnya kampus, dia bertatapan dengan Arva.
"Puas kamu?" tanya Eva dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
"Eva. Maaf untuk hal ini." Arva ikut merasa sedih dengan di keluarkannya Eva dari kampus.
Eva tidak mengatakan apapun lagi, dia pun pergi meninggalkan ruangan dengan langkah yang gemetar.Setelah mata kuliah Arva selesai, dia pergi ke rumah sakit, tempat Zoya di rawat.
"Zoy..." Arva membuka pintu ruangan Zoya.
Terlihat, Zoya sedang tidur dengan sangat lelap. Ingin sekali Arva menceritakan semua yang terjadi, namun tidak tega Arva membangunkan Zoya. Dia pun duduk di samping tempat tidur Zoya tanpa melakukan apapun, Arva hanya memandangi wajah Zoya yang sangat cantik walaupun tanpa riasan sedikitpun di wajahnya.Kedatangan Arva mampu di rasakan Zoya, perempuan itu perlahan membuka matanya. Dia melihat Arva yang sedang menopang kepala yang tertunduk dengan lengannya.
"Arva." Tangan Zoya menyentuh puncak kepala Arva.
Merasakan sentuhan lembut itu, Arva kembali menatap Zoya.
"Kenapa kamu bangun? aku ganggu ya?" tanya Arva lembut.
"Arva, aku mau pulang. Aku baik-baik aja..." pinta Zoya memohon.
"Nanti aku tanya sama dokter ya." Arva mengusap punggung tangan Zoya.
Zoya kembali tenang mendengar perkataan Arva.
'Apa aku harus cerita pada Zoya? tapi gimana jika kondisinya...'
"Arva..." Zoya mengejutkan Arva dari lamunannya.
"A..ada apaaa?" tanya Arva khawatir.
"Kamu kenapa sih? tumben, biasanya kamu bawel." Zoya tersenyum manis menatap Arva.
"Ada yang ingin aku ceritakan."
Zoya mengangkat alisnya tanpa berkata apa-apa.
"Soal Eva."
"Eva? dia kenapa?" Zoya mulai cemas.
Sesuatu mengejutkan mereka. Pintu perlahan terbuka dan terlihat sosok Eva berdiri di ambang pintu.
"Eva...." sapa Zoya dengan semangat.
Sikap Arva menjadi salah tingkah, dia pun menghampiri Eva.
"Kamu ngapain disini?" tanya Arva ketus.
Sebenarnya, Arva tidak ingin menceritakan pada Zoya tentang masalah ini.
Eva mengabaikan pertanyaan Arva dan menghindari dirinya. Perempuan itu menghampiri Zoya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Hati Zoya pun merasa takut, apa Eva akan marah jika Arva memperhatikannya.
"Zoya." Eva duduk di samping Zoya.
Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat.
"Ini semua karena aku." Eva memecahkan keheningan diantara mereka.
"Maksud kamu?" tanya Zoya bingung.
"Kebakaran itu, aku yang menyebabkan kebakaran itu." Air mata Eva kembali tergenang.
Zoya menatap Eva tidak percaya dan dia terus menggelengkan kepalanya.
"Maafin aku Zoy." Air mata Eva tidak sanggup dia tahan.
"Tidak mungkin." Kata Zoya dengan penuh kepedihan.
"Zoy...."
"Kamu masih benci sama aku? karena dia?" Zoya menunjuk Arva dan menatap Eva.
"Zoyaaaaa..."
"Pergi." Teriak Zoya.
"Aku tidak bermaksud membakar ruangan itu." Eva mulai menyentuh tangan Zoya yang ramai dengan infusan.
"Pergi Eva, aku mohon! pergi!"
Arva yang melihat kondisi Zoya mulai tidak stabil, segera menarik lengan Eva dengan sangat kasar.
"Aku bisa jelasin semuanya Zoya." Tubuh Eva kini semakin menjauh.Arva melepaskan cengkraman pada lengan Eva ketika sudah di luar ruangan.
"Jelaskan sekarang." Arva menatap Eva.
"Aku akui kebakaran itu karena aku." Eva tidak berani menatap mata Arva.
"Tidak perlu mengatakan hal yang sudah aku tahu." Kata Arva tenang.
"Aku yang meminta Zoya untuk datang ke lab. Aku yang mengunci pintu itu. Tapi tujuan aku menyalakan api untuk membakar sebuah kertas, aku ingin menakuti Zoya dengan asap. Aku tidak ingin membakar lab itu! aku bersumpah, aku tidak mengira jika kebakaran itu akan terjadi." Jelas Eva.
"Bodoh! alasan kamu memang sangat bodoh."
"Percayalah Arva... saat itu, aku memang membenci dia, tapi tidak ada sedikitpun niat untuk membahayakan Zoya."
"Apapun niat kamu. Tetap saja yang kamu lakukan adalah kesalahan Eva! bayangkan jika api itu membakar tubuh Zoya. Dia akan mati!" teriak Arva.
Salah seorang perawat menghampiri mereka.
"Maaf, kalian bisa meninggalkan tempat ini jika terus menerus membuat keributan." Kata perawat tegas.
"Sus, tolong bawa perempuan ini pergi dari sini." Pinta Arva.
Perawat itu mengetahui bahwa Arva adalah seseorang yang dekat dengan Zoya, dia pun menjalani permintaan Arva tanpa banyak berpikir.
"Arva..." teriak Eva saat di paksa perawat untuk meninggalkan tempat itu.
Arva tidak mempedulikan Eva dan masuk ke dalam ruangan Zoya.Arva menghampir Zoya yang sedang menangis.
"Zoya." Arva duduk di samping Zoya dan menggenggam tangannya.
"Arva, aku tidak mau melihat dia lagi."
"Seterusnya, dia tidak akan muncul di hadapan kamu. Dia sudah di keluarkan dari kampus." Kata Arva yang membuat Eva terkejut.
"Apa?"
"Awalnya aku juga kaget dengan keputusan rektor. Tapi setelah aku pikir-pikir, keputusan beliau benar. Apa yang dia lakukan memang sudah keterlaluan." Arva kembali menenangkan Zoya.
"Tapi Arva..."
"Sssstt... sekarang kamu tenang ya. Jangan nangis lagi." Arva mengusap air mata Zoya dengan jemarinya.
"Aku akan selalu ada untuk kamu. Aku tidak akan membiarkan hal yang buruk terjadi pada kamu, Zoya" Tatap Arva dengan penuh cinta.
Belum sempat Zoya berkata, dokter yang menangani Zoya masuk ke dalam ruangan.
"Dokter.." Arva bangkit dari duduknya dan menghampiri dokter.
"Apa memungkinkan jika Zoya pulang?" tanya Arva gugup.
"Ya, tentu. Kondisinya sudah cukup baik. Malam ini, Zoya bisa pulang."
Arva menoleh pada Zoya dan tersenyum.
"Terimakasih banyak dokter." Arva menjabat tangan dokter.
"Sama-sama. Saya tinggal dulu ya."
Arva mengiyakan perkataan dokter itu dan kembali ke dekat Zoya terbaring.
"Malam ini kamu bisa pulang Zoya." Arva mengusap lembut rambut Zoya.
Zoya hanya terdiam menatap Arva, pikirannya kini masih mengarah pada Eva.

KAMU SEDANG MEMBACA
Regrets of Love
RomanceKamu berhasil menyadarkanku makna cinta yang sesungguhnya. Semua tampak jelas bagaimana caramu menjagaku. Hingga aku mendengar kata yang sudah lama kunanti terucap dari bibirmu. Cinta... Begitulah kedengarannya, sangat manis bukan? Tapi tidak bagik...