Part 42

1.6K 63 1
                                    

"Zoya..." tangan Arva menyentuh bahu Zoya dari belakang.
Zoya membalikan tubuhnya. "Arva?"
"Aku sangat mencintaimu." Tangan laki-laki itu menyingkirkan helaian rambut yang menutupi pipi merona Zoya.
Zoya tersenyum manis menatap Arva.
"Untuk terakhir kalinya, aku ingin kamu mengatakan perasaanmu yang sesungguhnya padaku."
Zoya menegakkan posisi tubuhnya dan menarik napas sedalam-dalamnya. "Aku juga mencintamu, Arva."
Hatinya merasa lega mendapat jawaban dari Zoya. Dia tersenyum dan mendekatkan dirinya untuk memeluk Zoya.
Tiba-tiba, senyuman manis Zoya menghilang dalam sekejap. "Tapi Belva?" Zoya menatap sedih laki-laki yang berdiri di hadapannya.
Arva mengerutkan dahinya dan menunggu apa yang ingin Zoya katakan selanjutnya.
"Tapi, aku juga mencintai Belva." Perlahan, Zoya melangkah mundur.
Arva tidak terkejut atas pernyataan Zoya. "Aku tahu, Belva tidak akan pernah hilang dari hatimu." Arva kembali melangkah maju.
"Tapi ini salah. Tidak mungkin aku mencintai dua hati sekaligus."
Arva menyentuh pipi Zoya dengan lembut. "Siapa yang mengatakan kamu akan mencintai dua hati sekaligus?"
Zoya merasa bingung dengan apa yang Arva katakan.
"Hati ini yang akan kamu cintai. Dan sebentar lagi, hati ini akan berada pada diri Belva." Arva tersenyum hangat menatap mata Zoya yang mulai berkaca-kaca.
"Berikan hati ini padanya. Janjiku pada Belva untuk menjagamu sudah kupenuhi. Kini, aku tidak mampu untuk menjagamu. Karena itu, Belva yang akan kembali meneruskan janjiku."
"Apa maksud kamu? Tuhan telah menakdirkan kamu untuk bersama denganku, Arva! tidak, kamu tidak akan pergi." Zoya mencengkram tangan Arva.
"Kamu salah, Tuhan menakdirkanku untuk melengkapi kekurangan Belva. Agar ada seseorang yang sempurna untuk mencintai kamu. Jangan menolak permintaanku. Biarkan aku hidup dalam dirinya, agar aku tetap bisa mencintaimu walaupun tidak memilikimu." Air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
"Apa kamu ingat? aku pernah mengatakan kebenaran dalam hatiku kepadamu. Aku tidak memerlukan kamu untuk membalas cintaku, yang aku butuhkan hanya kamu menjadi milikku."
Zoya menganggukkan kepalanya dan tidak menatap Arva.
"Dengan kamu membalas cintaku, itu sudah lebih dari cukup. Tapi obsesiku untuk memilikimu, semua itu tidak bisa aku paksakan. Tuhan tahu, bahwa cinta yang Belva miliki jauh lebih tulus daripada cinta yang aku punya." Arva mengangkat kepala Zoya yang tertunduk agar dapat menatap mata indahnya.
"Aku pernah kehilangan seseorang yang aku cintai untuk selamanya. Aku tahu semua rasa itu. Zoya, aku mengerti, kamu tidak akan sanggup merasakan semuanya jika hal itu benar-benar terjadi padamu." Arva mengusap lembut buliran air mata Zoya.
Zoya meraih tangan Arva. "Iya, kamu benar. Aku tidak sanggup untuk kehilangan seseorang yang aku cinta. Aku tidak sanggup kehilngan kamu, Arva."
"Meskipun kamu mencintaiku, pada kenyataannya kamu jauh lebih mencintai Belva." Arva menahan air matanya agar tidak jatuh kembali.
"Tidak seperti itu Arva, aku......"
"Cukup Zoya, biarkan aku pergi dengan tenang. Aku hanya ingin memastikan, selama tidak ada aku, hidup kamu akan baik-baik saja."
"Tapi Arva.."
Arva menyentuh bibir Zoya yang hendak mengucap.
"Ini bukanlah permintaan, tapi ini perintah."
Raga Arva semakin lama semakin menjauh. Kakinya sulit untuk mengejar langkah Arva yang semakin menghilang di telan kegelapan.
"Sekarang giliranku. Berjanjilah, kamu tidak akan menyesali takdir yang telah Tuhan gariskan untuk hidupmu, Zoya."

"Arva!" Zoya sadar dari mimpinya.
Dia merasa lega saat melihat Arva masih berada bersamanya.
Jemari Arva mulai bergerak, Zoya menyadari akan pergerakan itu.
"Arva, kamu sadar? aku ada disini Arva, aku ada disini." Zoya tampak bahagia atas kesadaran Arva.
"Zo....y..ya." tangannya kesulitan untuk melepas alat bantu pernapasan yang menutupi mulut dan hidungnya.
"Jangan dilepas, Arva."
Zoya mencoba untuk menahan, namun Arva tetap pada pendiriannya.
"Ha..ti, be..berikanlah p..pada B..Belva.." Arva kesulitan untuk berucap.
Zoya menggelengkan kepalanya. "Kamu akan sembuh, kita akan menikah. Semua sudah siap Arva, kita akan pergi ke boutique malam ini ya? aku akan mengatakan hal ini pada pemilik boutique itu. Kamu akan memilihkan gaun pengantin yang sangat indah untukku." Zoya mencari ponselnya dari dalam saku.
Arva mengangkat tangannya untuk memberi isyarat 'tidak'.
"Waktu yang a..aku milik...ki tidak banyak. Berikan hati i..ini padanya, tapi dengan tanganmu sendiri. Lakukanlah untukku, Zoya."
"Tidak Arva, tidak... kamu janji, kamu tidak akan meninggalkanku!" Zoya mencengkram lengan Arva.
"Maafkan aku." Sudut matanya kini sudah mengalir deras air mata.
Zoya memeluk tubuh Arva dengan sangat erat. "Jangan pergi, jangan Arva..... jangan hancurkan kepercayaanku atas cinta."
"Beri...kanlah..." perlahan mata Arva mulai tertutup.
Namun Zoya masih tidak sadar akan kepergian Arva. "Ayo katakan lagi kalau kamu mencintaiku. Sekarang, aku akan membalas kata-kata itu. Aku tidak akan diam lagi... ayo Arva." Zoya melepaskan pelukannya dan menatap Arva yang dia pikir sudah tertidur.
"Ya, sekarang kamu boleh tidur. Beberapa jam lagi, aku akan membangunkanmu. Malam ini, kita akan pergi ke boutique, kita akan memilih gaun pengantin untuk pernikahan kita." Zoya tampak kehilangan akal saat berbicara pada Arva.
Zoya kembali duduk di samping Arva, dia sangat menikmati saat jemarinya membelai lembut helaian rambut Arva.

Ayahnya datang ke dalam ruangan UGD. Dia melihat layar monitor dan mendapati detak jantung Arva yang sudah terhenti. Ayahnya mencoba memeriksa kondisi Arva. Benar saja, mereka telah kehilangan Arva untuk selamanya.
Tangan ayah mulai gemetar saat menyentuh tubuh putrinya yang sedang bersandar di lengan Arva. "Zoya."
Zoya menoleh ke arah ayahnya. Jari telunjuk mulai terangkat dan menyentuh bibir merah perempuan cantik itu. "Sssstttt.. jangan berisik ayah. Arva sedang tidur, jangan ganggu dia." Zoya kembali menatap Arva. "Tidur yang nyenyak, Arva." Zoya mengecup lembut punggung tangan Arva yang semakin dingin.
Ayahnya tak kuasa menatap putrinya yang sangat frustasi, dia menarik tubuh putrinya dan membawa Zoya pergi dari ruangan itu.
"Ayah! jangan.... aku harus jagain Arva. Ayah!!! lepasin......." Zoya mulai berontak saat ayahnya membawanya keluar. "Arva, tunggu disini. Aku akan kembali...."

Satu tamparan yang tidak pernah ayah berikan pada putrinya, mendarat mulus di pipi indah itu yang sudah dibasahi oleh air mata.
"Ayah?" Zoya memegang pipinya yang sudah memerah karena bekas tamparan itu.
"Maafkan ayah karena melakukan ini. Tapi kamu harus sadar! sadar kalau Arva sudah pergi."
Zoya menggeleng kuat, dia tidak mempercayai perkataan ayahnya. Yang dia pegang teguh adalah janji Arva untuk terus bersamanya, Arva tidak akan meninggalkannya sendiri.
Dengan kasar, ayahnya menarik lengan putrinya kembali masuk ke dalam ruangan Arva.
"Kamu lihat? lihat Zoya.."
Zoya terdiam menatap jenazah Arva.
"Ayo lihat. Buka mata kamu."
Zoya tetap tidak percaya.
Ayah melangkah mendekati tubuh Arva. "Kemarilah.."
Zoya menurti perkataan ayahnya dengan langkah yang sangat berat.
"Kamu tidak percaya bukan?" ayahnya menarik tangan jenjang Zoya dan meletakkan tangan itu tepat di jantung Arva. "Rasakan... kamu juga seorang dokter, sama seperti ayah." Zoya memejamkan matanya, berharap perkataan ayahnya itu tidak nyata. "Apa dia masih hidup?" tanya Ayah. "Ayah yakin, kamu sudah tahu jawabannya."

"Dokter..." salah satu perawat masuk ke dalam ruangan Arva dengan sangat tergesa-gesa.
Perawat itu mengatakan bahwa kondisi Belvara semakin memburuk. Mendengar hal tersebut, ayah menarik tangan Zoya agar mengikutinya ke ruang Belvara di rawat.

"Ambilkan alat pemancing detak jantung." Kata ayah pada salah satu perawat.
Dari sudut ruangan, Zoya menatap ayahnya yang sedang berusaha untuk membangkitkan detak jantung Belvara yang mulai melemah.
Tidak membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak, ayahnya berhasil membangkitkan detak jantung Belvara yang perlahan kembali normal.

Ayah menghampiri Zoya yang menatap kosong ke arah Belvara, napasnya kini terasa sangat lega. "Belva masih tetap bersama kita."
"Jika ayah bisa menyelamatkan Belva, kenapa ayah tidak menyelamatkan Arva?"
Ayahnya menatap bingung putrinya yang kembali bersikap aneh.
"Kenapa ayah?"
"Sayang, buka matamu dan lihatlah apa yang terjadi. Apakah ayah bisa melawan kuasa Tuhan untuk mengambil apa yang telah Ia ciptakan? tentu tidak sayang." Ayahnya kembali menenangkan putrinya yang menangis. "Kemarilah. Jangan sesali apa yang sudah menjadi takdirmu. Ikhlaskanlah kepergian Arva, biarkanlah dia pergi dengan tenang." Tangan laki-laki tua itu membelai puncak kepala Zoya. "Hanya Belva yang masih bersama dengan kita. Kita harus pikirkan, bagaimana cara untuk mempertahankan Belva."
"Operasi." Kata Zoya lirih.
"Operasi?" tanya ayah bingung.
"Belva akan mendapatkan donor hati."
"Siapa yang akan mendonorkan hati untuk Belva?"
Zoya melepaskan pelukan ayahnya. "Arva. Sebelum dia pergi, Arva memintaku untuk memberikan hatinya pada Belva. Tapi dengan tanganku sendiri ayah."
Ayahnya tampak memiliki semangat yang baru saat mendengar pernyataan Zoya. "Keputusan yang baik. Ayah akan meminta suster untuk mempersiapkan ruang operasi. Dan kamu? kamu yang akan melakukan operasi itu."
"Tapi ayah?" Zoya merasa ragu.
"Ayah akan berada bersama kamu."

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang