Part 22

1.4K 63 0
                                    

"Zoya..." Belvara memandang layar ponselnya.
Ia baru saja selesai memasak untuk Zoya, Belvara tidak ingin jika Zoya pulang tidak ada makanan untuknya.
Dia berinisiatif untuk menghubungi ponsel Zoya.
Tidak lama, Zoya mengangkat panggilan Belvara.
"Zoya."
"Belva." Suara Zoya terdengar seperti seseorang yang sedang menangis.
"Kamu kapan pulang? ini sudah sore." Tanya Belvara dengan nada khawatir.
"Aku sekarang berada di rumah sakit." Jawab Zoya.
"Kamu sakit?" Belvara semakin khawatir.
"Tidak. Arva.."
Belum selesai Zoya menjelaskan, Belvara segera memotong perkataannya.
"Kamu bersama dia?!" Suara Belvara mulai meninggi.
"Dengar Belva, nanti aku akan jelaskan kepadamu apa yang terjadi. Cepatlah datang."
Setelah Zoya memberikan alamat yang pasti pada Belvara, segeralah ia bersiap-siap dan pergi menuju rumah sakit tersebut.

Belvara bertanya pada resepsionis rumah sakit di ruang apa pasien bernama Arva di rawat.
Setelah mendapat jawaban, langsung Belvara menghampiri ruang tersebut. Tampak Zoya yang sedang duduk di bangku depan ruang itu.
"Zoya."
Wajah perempuan itu tampak sangat sedih. Belvara yang melihat kekasihnya itu menangis, segera memeluk tubuhnya.
"Arva...." Zoya semakin larut dalam kesedihannya.
"Jelaskan apa yang terjadi." Belvara mengelus lembut rambut Zoya.
Perlahan Zoya melepaskan pelukan Belvara dan mulai menjelaskan.
"Aku pulang dari kampus menggunakan taksi, entah supir itu bersekongkol dengan para perampok. Dia membawaku ke persawahan. Disana sangat sepi, aku sama sekali tidak melihat siapapun." Zoya menjelaskan sambil menangis.
"Lalu?" Belvara mengusap lembut air mata Zoya.
"Mereka ingin merampas tasku, aku memberikannya. Tapi, saat dia meminta kalung ini, aku ingat janjiku padamu Belva. Aku tetap mempertahankan kalung ini. Sampai akhirnya mereka merebut paksa, tidak lama Arva datang dan menghabisi mereka satu persatu."
"Apa kamu terluka?" tanya Belvara khawatir.
"Tidak, tidak sama sekali. Tapi Arva, dia tertusuk pisau. Jika tidak ada dia, mungkin kalung ini tidak berada di leherku. Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di tangan mereka."
Belvara kembali memeluk Zoya dengan penuh kasih sayang.
Ia bersyukur, kekasihnya tidak terluka sedikitpun.
Zoya mulai melepaskan pelukan Belva.
Dengan terkejut, Belvara memperhatikan blazer putih yang Zoya kenakan.
"Darah?" Belvara bingung memperhatikan bercak merah itu.
Zoya sudah terperangah lebih dahulu sebelum Belvara tahu tentang darah itu.
"Belva!!!" Zoya mulai berteriak.
Melihat kekasihnya sedang memperhatikan wajahnya, Belvara mulai sadar setelah sesuatu mengalir bebas di lubang hidungnya.
'Aku mohon, jangan sekarang.' Keluh Belvara dalam hati.
"Kamu sakit?" Zoya menyentuh pipi Belvara.
"Tadi di perempatan macet. Jadi aku jalan kaki menuju kesini. Cuaca di luar sangat panas, karena itu aku mimisan." Jawab Belvara tenang.
Zoya hanya memperhatikan tingkah laku Belvara yang sangat aneh.
"Aku ke kamar mandi dulu ya. Kamu tunggu disini. Jangan kemana-mana sampai aku kembali." Belvara menutup hidungnya dengan sapu tangan.
'Panas? inikan sudah sore.' Gumam Zoya dalam hati.

Sesampainya di kamar mandi, Belvara segera membersihkan hidungnya di wastafel. Perlahan Belvara mulai memandang dirinya di depan cermin.
"Semakin hari kondisiku semakin melemah. Aku harus kembali ke Jakarta." Belvara berbicara pada dirinya sendiri.

Melihat Arva yang terbaring lemah, perasaan Zoya semakin terasa sakit. Karenanya, Arva menjadi seperti ini. Zoya pun menarik bangku dan duduk di samping tempat tidur Arva.
"Arva, buka mata kamu..." Zoya meraih tangan kiri Arva yang terasa sangat dingin dan penuh dengan infusan.
Ruangan itu sangat terasa sunyi. Zoya semakin larut dalam kesedihannya saat memandang wajah Arva yang penuh dengan lebam karena pukulan dari perampok. Arva sungguh tidak berdaya saat ini, wajahnya sangat pucat, terlebih luka tusukan pisau diperutnya. Beruntung tusukan itu tidak terlalu dalam, sehingga tidak memerlukan operasi besar untuk menutup robekan di perut Arva.
Apa yang harus dilakukan Zoya untuk menebus segala kebaikan Arva? jika dia tidak datang disaat yang tepat, entah apa yang dialami Zoya saat ini.

Pintu ruangan Arva terbuka. Belvara sudah berada di ambang pintu. Hatinya mulai tertegun saat melihat kekasihnya sedang tertidur pulas di samping Arva, yang tidak lain adalah saingannya.
"Zoy..." Belvara memanggil Zoya dari kejauhan.
Hanya ada keheningan.
"Zoya." Belvara mulai menyentuh lembut bahu Zoya.
Tetap Zoya tidak menyadari kehadiran Belvara. Gadis itu tertidur sangat pulas, mungkin dia terlalu lelah menangis. Melihat kekasihnya yang tertidur sangat pulas, Belvara membiarkannya dan tidak membangunkan Zoya dari tidurnya.
Perlahan Belvara pergi dari ruangan itu dan terduduk di depan ruang Arva di rawat.
Belvara terlihat sangat frustasi, apa dia harus mengatakan yang sebenarnya pada Zoya? tidak mungkin. Tidak, Belvara harus tetap menyimpan rahasia ini.

Udara malam yang sangat dingin dan suara serangga mulai terdengar di telinga gadis cantik yang sedang terlelap di samping tubuh Arva.
Perlahan Zoya mulai melirik jam di tangannya. Ini sudah pukul 9 malam, dia harus pulang ke apartemennya sekarang juga. 'Tapi Belva? ada dimana dia sekarang?' batin Zoya. Dia berpikir bahwa Belva sudah lebih dahulu pulang.
Zoya pun bangkit dari tempat ia duduk dan mengucapkan salam perpisahan untuk Arva yang tetap tidak sadarkan diri.
"Terimakasih untuk hari ini Arva. Cepat sembuh ya. Aku akan kembali lagi besok." Zoya memegang tangan Arva yang penuh dengan infusan.
Zoya mulai melangkah dan meninggalkan ruangan. Saat Zoya sedang menutup pintu, dia melihat Belvara yang duduk terdiam dan menundukan kepalanya. Rasa khawatir mulai menyelimuti hati Zoya.
"Belva." Zoya mengelus pipi Belvara dengan sangat lembut.
Sentuhan kekasihnya mampu membuat Belvara sadar dalam sekejap.
"Kamu sudah selesai?" tanya Belvara cemas.
Tingkahnya yang sangat lucu langsung mengundang tawa Zoya, terlebih melihat bola mata Belvara yang memerah.
"Kamu tidur? hahahaha..." Zoya menepuk bahu Belvara sambil tertawa.
Dengan cepat Belvara menggelengkan kepalanya.
"Kita pulang sekarang ya?" Zoya mulai menggandeng tangan Belvara.
Pasangan kekasih itu mulai bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan Arva.

Sesampainya di apartemen, Zoya dan Belvara segera membersihkan diri secara bergantian. Dimulai dengan Belvara yang terlebih dahulu menggunakan kamar mandi. Sambil menunggu Belvara selesai, Zoya mulai mencari sebuah kotak di dapurnya. Gadis itu cukup kesal, karena apa yang ia inginkan tidak ada di dapur. Beruntung waktu belum menunjukan pukul 10 malam, sehingga mini market masih beroperasi. Zoya melangkah mencari tas miliknya, mengambil beberapa lembar uang kertas dan pergi meninggalkan apartemen.

Belvara sudah selesai membersihkan diri dan segera memakai pakaiannya. Setelah itu Belvara mulai memanggil nama Zoya, tidak ada jawaban dari gadis itu. "Kemana dia pergi? ini sudah malam." Belvara mulai menggerutu kesal.
Untuk melampiaskan kekesalannya, Belvara mencoba menikmati acara televisi, numun tetap saja pikirannya hanyalah tertuju pada Zoya. Tidak lama, akhirnya Zoya kembali.
"Kamu habis dari mana?" Belvara bangkit dari sofa dan melangkah mendekati kekasihnya.
"Mini market." Zoya tampak membawa kantung plastik di genggamannya.
"Untuk apa kamu kesana?" tanya Belvara dengan nada yang tidak senang.
"Beli bahan makanan." Jawab Zoya sambil tersenyum.
Belvara tidak begitu mempermasalahkan setelah mendapatkan jawaban seperti itu dari Zoya.
"Yasudah, aku tidur duluan ya." Belvara mulai membenarkan posisinya di sofa.
"Okeee." Zoya mengangkat ibu jarinya kehadapan Belvara.
Setelah meletakan kantung plastiknya di dapur, Zoya segera membersihkan diri.
Pada kenyataannya Belvara belum bisa tidur, ia masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang