Part 37 (5 years later)

1.6K 64 2
                                    

Zoya tampak sangat cantik dengan pakaian kelulusan serta toga yang menghiasi puncak kepalanya.
"Ayah.." Zoya tersenyum saat membalikan tubuh.
"Kamu terlihat sangat cantik, sama seperti bunda." Ayah menghampiri Zoya dan memeluk putrinya.
Untuk beberapa saat, Zoya terhanyut di dalam pelukan ayahnya.
"Zoya..."
Zoya melepaskan pelukan ayahnya saat mendengar panggilan itu.
Berdirilah sosok laki-laki dengan jas hitam dan kemeja putih. Tidak lain laki-laki itu adalah Arva. Kini, dia sudah menjadi dokter yang sangat sukses di Jakarta. Setelah kelulusan Arva, Zoya seorang diri melanjutkan pendidikannya di Jogja. Meskipun jarak antara Arva dan Zoya sangat jauh, mereka masih tetap menjaga komunikasi satu sama lain.
"Arva....." Zoya menghampiri Arva, begitupun sebaliknya.
Mereka saling memeluk saat jarak sudah dekat. Kerinduan Arva sudah tidak mampu dia pendam, pelukannya semakin erat pada Zoya.
"Aduh.." napas Zoya mulai sesak.
Arva menyadari ketidak nyamanan yang Zoya alami, dia pun merenggangkan pelukannya.
"Baru sekarang kamu sempat datang ke kota ini?" tanya Zoya yang masih memeluk Arva.
"Aku banyak kerjaan di Jakarta Zoya. Tapi aku selalu mengabari kamu kan..."
Zoya melepaskan pelukannya dan menatap Arva.
"Iyaaa... tapi itu semua tidak cukup." Kata Zoya menggoda.

Ayah menghampiri mereka yang saling bertatapan mesra. Suara batuk ayah mampu mengejutkan keduanya dan mereka menjadi salah tingkah.
"Om..." sapa Arva hangat.
Sebelumnya, Zoya sudah menceritakan tentang Arva pada ayahnya.
"Gimana kabarmu?" tanya Ayah pada Arva.
"Sangat baik om."
"Pekerjaanmu?" tanya ayah kembali.
"Semua lancar..." Arva tersenyum menjawab pertanyaan ayah.
"Kapan kamu akan kembali ke Jakarta?"
"Ayah.... apa ayah akan terus bertanya? ini adalah hari kelulusanku. Bagaimana jika kita makan siang bersama?" Zoya tampak bermanja-manjaan dengan ayahnya.
"Boleh... dimana sayang?" ayah merangkul tubuh Zoya dengan penuh kasih sayang.
Zoya tampak berpikir-pikir.
"Aku tahu dimana! disana makanannya enak banget." Zoya tampak sangat bersemangat.
"Yakin?" tanya Arva meledek.
"Yakin lah! aku sudah pernah ke sana sebelumnya." Kata Zoya dengan sangat percaya diri.
"Sama siapa?" tatap Arva menggoda.
Sebenarnya Zoya pernah datang ke restaurant itu bersama Belvara. Dia tidak ingin terus menerus menghindari tempat kenangannya bersama Belvara. Usianya pun kini sudah semakin bertambah, Zoya harus bersikap dewasa.
"Belva." Kata Zoya tenang.
Arva dan ayah Zoya saling bertatapan untuk beberapa saat.
"Ayo!!!" Zoya mulai melangkah pergi dan meninggalkan mereka berdua.

Jemari lentik perempuan itu mulai terangkat. Zoya memesan beberapa makanan yang pernah dia santap bersama Belvara, baginya makanan itu sangat lezat. Selesai dengan itu, mereka bertiga kembali berbincang-bincang.
"Oh ya, pertanyaan om belum kamu jawab. Kapan kamu kembali ke Jakarta?" tanya ayah pada Arva.
"Disaat Zoya kembali ke Jakarta, disaat itu juga saya kembali ke Jakarta." Jawabnya.
Ayah Zoya menanggapi jawaban Arva dengan menganggukan kepala.
"Kapan pulang kerumah sayang? apa kamu tidak merindukan rumahmu?"
"Besok kita semua akan kembali ke Jakarta." Ujar Zoya.
"Besok?" tanya Arva terkejut.
"Iyaaa... emang kenapa? aku kangen banget rumahku terutama kamar sih.." Zoya tertawa saat menjawab pertanyaan Arva.
"Ayah setuju, besok kita semua akan pulang ke Jakarta." Ayah tersenyum lembut pada Zoya.
"Baiklah om, malam ini saya akan pesankan tiket pesawat." Kata Arva.
"Good!!!" Zoya mengangkat jempolnya ke hadapan Arva.
Laki-laki itu hanya tersenyum pada Zoya.

Bel pintu apartemen berbunyi. Zoya berlari dari kamarnya menuju sumber suara. Arva tampak berdiri tegap saat Zoya membuka pintu, wajahnya kini sudah terlukis senyum manis.
"Hay!" sapa Arva.
"Arva, terlalu cepat kamu datang ke sini." Zoya tertawa memandang Arva.
"Kenapa? tidak salah kan kalau datang lebih awal?"
"Terserah kamu.... ayo masuk." Zoya menarik lengan Arva dengan lembut.

"Selamat pagi om." Arva tersenyum saat ayah sedang berjalan ke arah dapur.
"Eh, kamu sudah datang. Pagi Arva, silahkan duduk." Langkah ayah terhenti sesaat.
Arva pun duduk di sofa dan mulai mengeluarkan ponselnya.
"Semua sudah beres kan?" ayah datang membawa segelas kopi hitam di tangannya.
"Sudah om. Penerbangan kita sekitar dua jam lagi." Jawab Arva.
"Kamu mau kopi?" ayah duduk di samping Arva.
"Tidak om, makasih. Saya tidak terbiasa minum kopi." Tolak Arva dengan sangat sopan.
Ayah mulai menyeruputi kopinya yang masih panas.

Keluarlah Zoya dari kamar dengan membawa dua koper di tangan kanan dan kirinya.
"I'm ready!"
Ayah dan Arva langsung menoleh bersamaan saat mendengar suara manis perempuan itu.
"Tidak mungkin berangkat sekarang kan?" tanya Arva.
"Yaaaaa.. bisa jadi." Zoya menghampiri ayahnya.
Dengan lembut Zoya menyentuh bahu ayahnya yang sedang duduk menikmati kopinya.
"Ayah, sini cangkirnya." Telapak tangan Zoya mengarah pada ayahnya.
"Untuk apa?" tanya ayah bingung.
"Aku tidak mau meninggalkan apartemen ini dengan cangkir yang kotor ayah...." keluh Zoya manja.
Ayah tertawa melihat sikap putrinya yang semakin dewasa. Berbeda dari biasanya, Zoya sangat rajin membersihkan tempat tinggalnya.
"Sini..." Zoya menarik cangkir dari genggaman ayahnya.
Zoya melangkah ke dapur dan mencuci cangkir kopi ayahnya, sementara itu ayah mengambil koper kecil miliknya di kamar Zoya.

Tibalah mereka di airport.
"Arva.." teriak Zoya lemah.
"Gapapa......" Arva menarik kedua koper milik Zoya.
Laki-laki itu sangat baik, dia tidak akan membiarkan Zoya terlalu lelah saat Arva berada bersamanya. Beruntung saat ke Jogja, Arva hanya membawa tas ransel.
"Ayah, koper ayah biar aku yang bawa ya." Kata Zoya lembut.
"Oh bagus itu. Nah, monggo." Ayah tampak bahagia melihat putrinya.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam. Arva meminta Zoya dan ayah untuk menunggu di lobby, sementara dirinya mengurus tiket penerbangan.

Ketika saat Zoya dan ayah sedang duduk, ayahnya mulai membuka pembicaraan.
"Arva orangnya sangat baik."
"Ayah harus tahu! sejak aku masuk kuliah, dia yang selalu jagain aku yah." Zoya tampak semangat menceritakan tentang Arva.
"Ayah setuju jika Arva menjadi pasangan hidupmu." Kata ayah tanpa menatap putrinya.
"Apa?" matanya mulai terbuka lebar saat mendengar perkataan ayahhya.
"Iya. Sulit sekali menemukan laki-laki yang baik seperti dia."
Zoya semakin gugup dengan topik pembicaraan mereka.
"Sayang, ayah rasa usiamu sudah cukup untuk menikah." Kata ayah dengan penuh kasih sayang namun tegas.
"Ayah.." keluh Zoya.
"Ayah ingin melihat dirimu bahagia. Ayah percaya pada Arva, dia yang bisa menjagamu." Ayah meraih tangan Zoya dan mengusapnya dengan lembut.
"Tapi ayah..."
"Pikirkanlah dulu... ayah tidak memintamu untuk terburu-buru." Ayah mengeratkan genggamannya.
Ketakutan Zoya kini mulai nyata. Bagaimana bisa Zoya menjadikan Arva sebagai pasangan hidupnya?

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang