Saat itu sekitar jam 9 pagi, Belvara sedang duduk di sofa sambil membaca koran. Dari sudut penglihatannya, terlihat Zoya keluar dari dalam kamar dengan berpakaian sangat rapi dan menggenggam tas di tangannya.
"Kamu mau kemana lagi?" tanya Belvara.
Koran yang menutupi wajahnya perlahan mulai turun.
Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat.
"Kamu mau kemana Zoya?" tanya Belvara ulang.
"Aku mau ke rumah sakit."
"Lagi?" Belvara melipat korannya.
Laki-laki itu bangkit dari sofa dan mendekat ke arah Zoya.
"Untuk apa kamu ke rumah sakit lagi?" Belvara mulai menegaskan suaranya.
"Aku... dia mau pulang." Jawab Zoya dengan terbata-bata.
"Arva lagi Arva lagi. Baikan mulai sekarang kamu bebas melakukan apa yang menurut kamu benar." Kata Belvara dengan nada yang semakin melemah.
Dia meninggalkan Zoya yang masih berdiri kaku. Saat Belvara melangkah menuju dapur, Zoya mulai membuka mulutnya kembali.
"Saat aku dalam bahaya, hanya dia yang menolongku Belva. Apa aku tidak harus bertanggung jawab dengan keadaannya sekarang?" Emosi Zoya perlahan muncul.
Belvara hanya terdiam dengan perkataan kekasihnya.
"Jawab aku Belva. Kenapa kamu diam?"
Belvara membalikan tubuhnya dan berjalan mendekati Zoya kembali.
"Hanya itu yang kamu bicarakan sejak kemarin. Apa dia tidak punya keluarga atau teman untuk membawanya pulang? mengapa harus kamu Zoya? belum cukup balas budi kamu beberapa hari ini menjaganya?" Belvara tampak lebih emosi.
"Aku tahu kenapa kamu marah seperti ini. Karena kamu cemburu kan? karena kamu takut aku jatuh hati dengannya? iya kan?"
Kini Belvara tidak menjawabnya.
"Aku mengenal kamu Belva. Jika bukan Arva yang berada di posisi itu, tidak mungkin kamu melarang aku untuk mengurusnya. Dimana Belva yang dulu, yang selalu membantu orang lain tanpa pandang bulu? cemburu kamu itu tidak beralasan!" Zoya menatap Belvara dengan sangat tajam.
"Iya! aku memang cemburu dengannya. Kenapa? karena aku berhak untuk cemburu! aku kekasih kamu Zoya. Laki-laki mana yang sanggup melihat kekasihnya memberi perhatian lebih pada laki-laki lain? setiap hari kamu menemuinya, berangkat pagi pulang sore. Hanya itu yang kamu lakukan. Hingga tidak ada lagi waktu yang kamu berikan untukku." Belvara membalas tatapan Zoya.
"Kamu memang keras kepala Belva. Mulai sekarang, kamu tidak berhak untuk melarangku. Apa yang aku lakukan ini adalah benar. Dan jangan pernah mencoba menghentikan aku." Kata Zoya.
"Apa sejak Arva masuk ke rumah sakit aku melarangmu untuk menemui dan merawatnya? aku memang tidak berhak lagi. Baiklah Zoya, lakukanlah." Belvara pergi dari tempat ia berdiri.
Zoya sama sekali tidak mempedulikan Belvara, dia pun meninggalkan apartemen dan menuju rumah sakit.Sesampainya dirumah sakit, emosi Zoya masih belum padam. Arva yang memandang Zoya sangat bingung mulai memberanikan diri untuk bertanya.
"Ada apa?" tanya Arva.
"Tidak." Zoya menutupi emosinya dengan senyuman.
Arva mengetahui dibalik senyuman yang diberikan Zoya, dia mengerti kalau gadis yang ia sukai sedang tidak baik.
"Belva?" tanya Arva lembut.
"Sudahlah Arva. Jangan bicarakan dia, aku tidak sedang ingin membicarakannya. Ngomong-ngomong dokternya sudah kesini? apa yang dia katakan?" Zoya mengalihkan pembicaraannya.
Arva yang paham dengan perasaan Zoya tidak membicarakan Belvara kembali.
"Sudah. Aku bisa pulang sekarang." Arva tersenyum menatap Zoya.
"Semuanya sudah selesai kan? administrasi juga sudahkan?" tanya Zoya dengan penuh kelembutan.
Arva hanya menganggukan kepala.
Mereka berdua mulai meninggalkan rumah sakit dan menuju tempat tinggal Arva.Terlihat rumahnya sangat sepi. Pintu dan jendela terkunci rapat. Zoya memandang sekeliling rumah Arva. Rumah yang cukup besar untuk di tinggali seorang diri. Arva mulai membuka kunci pintu rumahnya.
"Arva, kamu tinggal sendirian?" Zoya terpaku saat melihat isi rumah Arva.
Benar-benar sangat besar, rumah yang memiliki dua lantai dan memiliki warna dominan putih. Mulai dari sofa, karpet, cat tembok, gorden dan masih banyak lagi.
"Iya." Jawab Arva.
Laki-laki itu sedikit bingung, mengapa Zoya terpaku melihat rumahnya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Arva sambil tertawa kecil.
"Keluarga kamu kemana?" Zoya balik bertanya.
"Sejak dulu aku diajarkan keluargaku untuk hidup mandiri." Jawab Arva bangga.
"Masa?" Zoya tidak yakin.
"Terserah..." Arva mulai melangkah menuju kamarnya dan meninggalkan Zoya yang masih berdiri di ambang pintu.
Zoya masuk ke dalam rumah Arva, ia melihat beberapa figura foto yang tersusun rapi di atas meja. Mulai dari foto keluarga Arva, masa kecilnya dan.. beberapa saat Zoya terdiam memandang foto itu. Arva dan seorang perempuan yang sangat manis, tampak mereka sangat mesra dalam foto itu. Tanpa sadar Zoya meraih figura itu dan memperhatikan foto itu dengan seksama.
"Zoy.." Arva sudah berada di samping Zoya.
"Ini siapa?" Zoya memperlihatkan figura itu pada Arva.
Dengan gusar Arva meraih figura itu.
"Bukan.. bukan siapa-siapa." Arva mulai gugup.
"Yakin?" Zoya menaikan sebelah alisnya.
"I..iyaa.." Arva menyimpan figura itu dalam laci meja.
Zoya sedikit bingung dengan tingkah laku Arva yang aneh.
"Kamu sudah makan?" tanya Arva.
Arva berharap Zoya tidak mempertanyakan soal foto itu.
Zoya menggelengkan kepalanya.
"Yaudah, kita makan di luar ya. Aku tahu di sekitar sini ada restauran makanan khas daerah ini. Selama kamu di Jogja pasti belum pernah makan gudeg kan?
kamu harus coba! itu enak banget." Arva berbicara tanpa henti.
Zoya hanya terdiam.
"A..ayo.." Arva menarik pergelangan tangan Zoya.
Siapa perempuan dalam foto itu sebenarnya, mengapa Arva begitu panik saat ditanya Zoya siapa perempuan yang bersama dengannya?Arva mengajak Zoya makan di sebuah restaurant yang sangat mewah, namun tetap terlihat nuansa khas Jogja.
Mereka berdua memilih tempat duduk di sudut restaurant itu.
Arva memesan 2 piring gudeg dan 2 gelas teh manis hangat.
Arva tidak lagi berbicara pada Zoya, raut wajahnya masih terlihat gugup saat Zoya terus memandangnya.
"Arva." Zoya mengerutkan alisnya.
"Ya?" Arva semakin gugup.
"Kamu kenapa sih? aneh banget."
Tidak lama makanan dan minuman mereka sudah tiba.
"Nah.." Arva mengalihkan pembicaraannya."
Setelah pelayan sudah meletakkan makanan dan minuman, rasa ingin tahu Zoya semakin besar tentang perempuan di foto itu.
"Arva. Kenapa sejak aku menanyakan perempuan itu, sifat kamu jadi aneh gini. Memang siapa sebenarnya dia?" Zoya tampak serius.
"Bisa kan kita tidak membicarakan soal foto itu.." Arva kembali gugup.
"Arva.. aku hanya ingin tahu. Apa selama ini kamu menganggap aku seperti orang asing?"
'Kamu lebih dari sekedar teman bagiku Zoya.' Jawab Arva dalam hati.
Lamunannya kini mulai hancur saat Zoya menepuk telapak tangannya.
"Sebenarnya, dia mantan kekasihku." Perlahan Arva mulai terbuka.
"Lalu? kemana dia sekarang." Zoya tampak bersemangat menanyakan soal mantan kekasih Arva.
"Dia sudah meninggal." Jawab Arva.
Rasa bersalah kini menyelimuti hati Zoya, mengapa dia ingin sekali tahu tentang perempuan itu. Pertanyaannya pasti sudah melukai hati Arva.
"Maaf Arva.. aku.." Zoya tampak menyesal.
"Tidak masalah. Namanya Gisella, kami sudah menjalin hubungan selama 4 tahun, sejak kami masuk SMA. Dia kuliah di kota yang berbeda."
Selama berada di restaurant, Arva menceritakan tentang mantan kekasihnya pada Zoya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Regrets of Love
RomantizmKamu berhasil menyadarkanku makna cinta yang sesungguhnya. Semua tampak jelas bagaimana caramu menjagaku. Hingga aku mendengar kata yang sudah lama kunanti terucap dari bibirmu. Cinta... Begitulah kedengarannya, sangat manis bukan? Tapi tidak bagik...