Part 29

1.2K 62 0
                                    

Zoya dan Eva sedang asyik berbincang-bincang di kantin kampus. Saat itu, Arva tidak sengaja melihat keberadaan Zoya bersama dengan Eva. Jauh dari tempat para gadis itu duduk, Arva pun duduk di sekitar kantin itu. Arva terus menerus memandangi Zoya dengan tatapan penuh cinta. Dengan tatapan itu, Zoya mulai merasa risih, dia merasa ada seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Zoya terus menerus menoleh ke arah kiri, kanan, belakang dan hadapannya.
"Zoy! kenapa?" Eva mengejutkan Zoya dengan menepuk pelan punggung tangan Zoya.
Zoya menggelengkan kepala dan tetap memperhatikan sekitarnya.
Sekitar beberapa menit Zoya gelisah dengan pandangannya, akhirnya dia mendapatkan juga sosok yang membuatnya menjadi risih.
'Arva.' Gumamnya dalam hati dan menatap Arva dengan penuh kekesalan.
Arva tidak tahu bahwa Zoya sudah menyadari dia memperhatikan dirinya. Arva terus menerus tersenyum memandangi wajah Zoya.
Zoya semakin kesal dengan tatapan yang diberikan Arva pada dirinya.
"Eva, aku duluan balik ke kelas ya." Zoya tersenyum menatap Eva.
"Kan belum selesai ceritanya." Raut wajah Eva mulai kecewa.
"Yaudah nanti lagi ya, aku buru-buru." Perlahan Zoya bangkit dari bangku kantin.
Eva mengiyakan perkataan Zoya, sebenarnya Eva masih ingin mendengar cerita dari Zoya tentang kekasihnya itu, Belvara.

Arva tersadar akan kepergian Zoya secara tiba-tiba. Dia sudah yakin, bahwa Zoya menyadari keberadaan akan dirinya, maka dari itu Zoya menghindar dan pergi dari kantin.
Arva tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Akalnya mulai berputar saat memandangi Eva duduk sendirian di kantin. Dia menghampiri Eva dengan sesekali meloleh ke arah Zoya yang semakin menjauh dari lingkungan kantin.
"Ka Arva." Sapa Eva hangat.
Arva hanya tersenyum dan duduk di hadapan Eva.
"Ada apa ka?" Eva mengaduk jus jambunya dengan sedotan plastik.
"Aku mau tanya sesuatu tapi kamu jangan bicara pada siapa-siapa."
Eva mengangguk setuju.
"Ulang tahun Zoya tanggal berapa?" tanya Arva penasaran.
"Hah? buat apaan?" Eva tampak terkejut dengan pertanyaan Arva.
"Tidak penting untuk apa. Tanggal ulang tahunnya?" Arva menaikan alis tebalnya dan menatap Eva tanpa berkedip.
Pada kenyataannya Eva mengetahui tanggal lahir Zoya dengan tepat, namun hati Eva juga ingin mengetahui untuk apa Arva mencari tahu?
"Eva." Arva melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Eva.
Eva mulai tersadar dari lamunannya. Dia semakin bingung dan gugup. Tingkahnya pun mulai terasa aneh bagi Arva.
"Eva, kamu tidak tahu?" tanya Arva kembali.
"Tahu." Jawab Eva semangat.
"Nah! kapan?" Arva tersenyum lega.
Eva kembali gugup dan bibirnya sudah gemetar. Dia tidak ingin terlihat menutup-nutupi tanggal ulang tahu temannya itu. Jangan sampai Arva mencurigai bahwa sebenarnya hatinya merasa cemburu.
"16 November." Jawab Eva ragu.
"Terimakasih." Arva menepuk lembut bahu Eva sebelum dia meninggalkan kantin kampus.
"Maafkan aku." Eva menatap Arva dengan rasa bersalah.

Arva melirik ponselnya saat dia sedang berjalan menuju mobil yang terparkir di lingkungan kampus.
'Dua hari lagi.' Gumamnya dalam hati.
Dengan penuh semangat Arva masuk ke dalam mobil dan segera melajukan kendaraannya.
Di dalam mobil, pikiran Arva sangat bingung, apa yang harus dia berikan pada Zoya sebagai hadiah ulang tahunnya. 'Apa yang disukai wanita?' tanya Arva pada dirinya sendiri dalam hati. "Kalung! iya dia pasti sangat menyukai kalung!" Dengan penuh semangat Arva memukul kendali kendaraannya. Tapi, seketika wajahnya kembali bingung. Arva teringat bahwa Belvara sudah memberikan Zoya kalung yang sangat indah, tidak mungkin Zoya akan melepaskan kalung Belvara hanya untuk memakai kalung pemberian Arva. Sekarang waktunya otak Arva bekerja keras kembali, dia harus memikirkan tentang hadiah untuk ulang tahun Zoya.

Di perempatan lampu merah, Arva sedang menunggu traffic light berubah warna menjadi hijau. Dia memandangi gedung-gedung di samping jalan raya. Saat lampu sudah berubah warna menjadi kuning, Arva terpaku pada satu gedung tinggi. Traffic light kini sudah berwarna hijau, namun Arva tetap memandang ke satu gedung yang sama. Mobil-mobil yang berada di belakang mobil Arva pun sudah membunyikan klakson. Ramainya suara klakson mobil akhirnya mampu menyadarkan Arva bahwa dia harus melajukan kendaraannya.
Dia memutar balik kendali mobilnya dan mengarah menuju mall yang sedari tadi menarik perhatiaannya. 'Mungkin disini aku bisa mencari hadiah untuk Zoya.' Katanya dalam hati.

Arva melangkah lamban saat berada di dalam mall. Dia melirik ke kanan dan ke kiri jejeran toko ternama yang menjual barang-barang yang sangat menarik. Ketika Arva ingin memasuki toko sepatu, dari sudut matanya dia memandang sosok yang tidak asing baginya. Arva pun mengurungkan niatnya memasuki toko sepatu itu. Dia melangkah mundur mencari tahu siapa yang baru saja terlintas dalam sudut penglihatannya. Sayangnya, sosok itu sudah masuk ke dalam toko yang berada persis di sebelah toko yang ingin Arva masuki. Entah mengapa hatinya memaksa untuk mencari tahu siapa sosok itu? apa mungkin Arva mengenalinya?
Tanpa Arva sadari kakinya mulai melangkah menuju toko tersebut. Dia melihat berbagai macam jam tangan terpajang rapi di setiap dinding maupun meja kaca dalam toko itu. Tidak begitu ramai pengunjung yang berada di tempat itu. Arva tetap pada pendiriannya, dia ingin mengetahui siapa yang baru saja masuk ke dalam toko ini.
Langkah Arva terhenti saat mendapati sosok perempuan berambut gelombang panjang dengan baju lekton beserta rok sedengkul yang sangat senada. Perempuan itu adalah Zoya. Penglihatan Arva tidak salah, dia mampu mengenali Zoya meskipun hanya memandang tubuhnya dari belakang.
Tujuan Arva datang ke mall ini adalah mencari hadiah untuk Zoya. Namun jika Zoya tahu, semuanya pasti akan berantakan. Zoya tidak boleh tahu jika Arva berada di tempat yang sama.

Segeralah Arva melangkah cepat keluar dari toko itu. Kenyataannya Arva tidak benar-benar meninggal tempat itu, dia hanya menghindari Zoya. Di balik dinding luar toko, Arva memperhatikan apa yang dilakukan Zoya. Dia memandang sebuah jam yang berada dalam genggaman Zoya. Tampak Zoya sedang berbicara pada pegawai toko.
Arva mulai merasa bingung, mengapa Zoya mengembalikan jam yang dia genggam pada pegawai? jika Zoya menginginkan jam itu mengapa dia tidak membelinya. Setahu Arva, Zoya berasal dari keluarga yang berkecukupan.

Tidak membutuhkan waktu lama, Zoya keluar dari toko. Setelah dirasa aman, Arva pun masuk ke toko itu dan menghampiri pegawai yang melayani Zoya.
"Permisi mas." Sapa Arva tiba-tiba.
Pegawai itu terkejut saat ingin menaruh sesuatu dalam lemari.
"Ya ada apa?" tanya pegawai itu.
"Perempuan yang baru saja datang kemari..."
"Oh.. mbak cantik tadi." Pegawai itu memotong perkataan Arva.
"Apa yang dibicarakan tadi?" Arva tampak serius.
Pegawai itu kembali mengambil sesuatu dari dalam lemari. Dia tampak membawa sebuah kotak berwarna merah maroon yang tampaknya terbuat dari kulit hewan asli.
"Mbak cantik tadi ingin mencari ini." Pegawai itu membuka isi kotak tersebut.
Tampak sebuah jam tangan yang sangat indah berwarna rose gold lengkap dengan deretan permata yang mengelilingi jam itu.
"Lalu?" Arva mengerutkan alisnya dan meraih kotak jam.
"Mbak cantik tadi tidak jadi membeli setelah tahu harga jam ini 15 juta." Jawab pegawai itu datar.
"15 juta?" Arva terkejut.
Pantas saja Zoya mengurungkan niatnya membeli jam ini. Walaupun Zoya berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja jam ini sangat mahal jika dijual dengan harga segitu.
"Iya mas. Jam ini limited edition. Di Indonesia jam seperti ini hanya di jual sebanyak 50 buah saja." Kata pegawai.
Jam ini begitu indah, terlebih jika terpasang di pergelangan tangan Zoya. Arva sangat mengingat raut wajah Zoya ketika menggenggam jam tangan ini. Zoya sangat menyukai jam ini, Arva harus membelikannya untuk Zoya.
"Gimana mas jadi membeli jam ini?" tanya pegawai ramah.
"Iya mas, sebentar." Arva mengeluarkan dompetnya.
Arva tidak memiliki uang tunai sebanyak itu. Dalam dompetnya hanya terdapat 2 juta saja. Dia pun mengeluarkan kartu debit dalam dompetnya.
"Maaf mas, mesin kami sedang dalam proses perbaikan. Silahkan mas menuju ATM tidak jauh kok dari toko ini. Mas hanya lurus saja dan belok kanan." Kata pegawai itu sambil mengarahkan Arva menuju ATM.
Arva mengikuti petunjuk pegawai itu menuju ATM.

Sesampainya di ATM, Arva mulai memasukan kartu ATMnya ke dalam mesin. Sebelum menarik uang tunai, Arva mengecek saldo tabungannya. Beruntung Arva masih memiliki tabungan yang cukup untuk membelikan Zoya hadiah, meskipun uang tabungannya sangat pas-pasan. Arva menarik uang tunai sebanyak 13 juta.
Dengan wajah yang penuh semangat, Arva melangkah menuju toko tadi dan menghampiri pegawai yang sama.
"Jadi mas?" tanya pegawai kembali.
Arva menganggukan kepalanya dan mengeluarkan uang 13 juta dari saku celananya.
Pegawai itu menghitung ulang uang yang diberikan Arva.
Beberapa saat pegawai itu terhenti dan menatap Arva bingung.
"Mas, uangnya kurang." Kata pegawai itu dengan tatapan yang polos.
"Oh iya.." Arva tertawa malu dan mengeluarkan isi dompetnya.
Kini dompetnya sudah kosong dan uang tabungan Arva hanya tersisa dua ratus ribu. Bagaimana dia bisa bertahan hidup sampai awal bulan? tidak mungkin Arva meminta uang lagi kepada orang tuanya. Setiap awal bulan, orang tuanya selalu mengirim sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan Arva selama kuliah, karena memang Arva belum mendapatkan penghasilannya sendiri.
Pegawai itu menatap kasihan pada Arva yang sedang melamun.
"Mas yang sabar ya, semoga pacarnya tambah cinta sama mas deh." Pegawai itu tersenyum dan menahan tawanya.
"Belum jadi pacar." Gumam Arva kesal.
"Makasih ya mas." Pegawai itu menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Sama-sama." Arva tersenyum lembut dan pergi dari toko itu.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang