Part 9

1.9K 81 0
                                    

Ketukan pintu yang terdengar saat aku asyik menonton televisi, aku pun berlari menghampiri sumber suara. Terlihat sosok yang sangat aku rindukan. Ayah, bunda!
Kupeluk ayah dengan erat.
"Ayah mengapa tidak mengabariku jika ayah dan bunda pulang hari ini, jika ayah memberi tahu, aku dan Belvara akan menjemput ayah di bandara."
Ayah hanya tersenyum mendengar perkataanku.
"Bagaimana kedekatanmu dengan Belvara?" tanya ayah yang membuatku terkejut.
"Maksud ayah apa?" tanyaku bingung.
"Tidak ada maksud apa-apa sayang. Putri ayah tidak ingin mempersilahkan ayah masuk nih?" ayah menggodaku.
Aku tertawa mendengar perkataan ayah. Setelah selesai melepas rindu dengan ayah, aku memeluk bunda.
Kemudian ayah dan bunda masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa.

Saat aku sibuk berbincang dengan bunda, terlihat Belvara yang keluar dari dalam kamarnya dengan membawa tas koper yang dia bawa saat datang kerumah ini.
Belva? kamu ingin pergi kemana? Hatiku mulai sesak saat melihatnya. Tapi tak aku tunjukan kesedihanku didepan semua orang.
Ayah pun berbincang-bincang dengan Belvara sebelum dia pergi. Ayah menanyakan apakah dirumah ini baik-baik saja dan Belvara mengiyakannya, pada kenyataannya sudah banyak hal yang tidak diinginkan terjadi dirumah ini, tapi Belvara menutupinya dan berhasil meyakinkan ayah.

Selesai dengan percakapannya dengan ayah, Belvara pun berpamitan dengan ayah dan bunda untuk pergi. Dengan berat hati aku mengantarnya ke pintu gerbang.
"Kamu tidak memberitahuku, kamu ingin pergi kemana?" tanyaku.
Belvara tersenyum dan memegang kedua pipiku dengan tangannya.
"Tugasku sudah selesai, tanggung jawabku dan janjiku pada ayahmu sudah aku tepati, kini waktunya aku kembali pulang."
Batang hidungku mulai terasa perih, air mataku sudah berlinang dan sebentar lagi mungkin akan jatuh air mataku ini.
"Jangan sedih, aku hanya kembali pada keluargaku, kita bisa bertemu lagi jika kita mau." Belvara mengelus pipiku dengan penuh kelembutan.
"Jadi, semua perhatianmu padaku selama ini, karena ayah yang memintanya?" aku melepaskan tangannya yang memegang pipiku.
"Bukan. Tidak seperti itu kenyataannya Zoya. Aku mohon, jangan bersikap seperti anak kecil mulai dari sekarang dan kedepannya. Mulailah berpikir dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Pentingkanlah pendidikanmu sekarang, penerimaan mahasiswa sudah dimulai, buatlah kedua orangtua kamu bangga Zoya."
Aku tak mampu menatap matanya, air mataku sudah mulai jatuh. Mengapa perasaan ini? apakah aku mulai menyukainya?
Perlahan Belvara menarik tubuhku kedalam pelukannya.
"Sudah jangan menangis. Jika kamu menangis, tidak ada keindahan lagi diwajahmu. Lihat, hidungmu sangat merah seperti tomat." Belvara mencubit hidungku dengan lembut.
Mendengar perkataannya, aku langsung memukul lengannya dan tersenyum.
"Nah, jika kamu tersenyum, kamu terlihat sangat cantik, walaupun tetap menyebalkan." Dia mulai mengacak-ngacak rambutku.
Tidak lama setelah pembicaraan kami, Belvara memelukku kembali, ingin sekali aku tidak melepaskannya, tetaplah disini Belva, aku takut jika kamu tidak berada disampingku. Siapa yang akan menjagaku jika aku dalam bahaya, siapa yang menyiapkan sarapan kesukaanku, siapa yang bersikap dingin lagi padaku?
ingin sekali aku memintanya untuk tetap disini, tapi bibir ini sangat sulit untuk mengatakannya.
Baiklah, sudah ini jalannya. Belvara harus kembali pulang.

Hentakan langkah kaki mulai terdengar, rupanya ayah dan bunda mulai mendekat, kami pun saling melepaskan pelukan kami dengan rasa malu.
"Hati-hati selama dalam perjalanan, hubungi kami jika memerlukan sesuatu." Kata ayah dengan nada yang sangat lembut.
"Terimakasih om, setelah sampai ditempat tujuan, saya akan kabari." Belvara menjabat tangan ayah.
Tidak lupa Belvara melemparkan senyuman manisnya kepadaku sebelum ia memasuki mobilnya. Sontak kami semua melambaikan tangan kepadanya, Belvara pun melajukan kendaraannya dan mulai menghilang di persimpangan jalan.

Hari demi hari telah berlalu, Belvara tidak menghubungiku sama sekali setelah kepergiannya, bahkan mengirim pesan singkat saja tidak. Tidakkah dia tahu aku sangat merindukan sosoknya saat ini.
"Zoya, ada apa sayang?" ayah mendekat.
"Ayah, Belvara sudah..." kalimatku terpotong.
"Dia sudah sampai dirumahnya, ada apa ini? mengapa putri ayah ini sangat mencemaskannya? waaahh, ayah tahu pasti putri ayah....."
"Ayah!!! aku hanya ingin tahu apa dia selamat atau tidak." Pipiku mulai merona.
"Apakah putri ayah berkata jujur?" ayah mulai menggoda.
Aku hanya terdiam dengan apa yang ayah tanyakan.
"Baiklah, ayah tidak akan ikut mencampuri urusanmu."
Saat ayah mulai menggodaku, tiba-tiba ayah bertanya tentang pendidikanku, ayah tidak memaksa jika aku ingin meneruskan pendidikanku dengan mengambil jurusan apapun. Aku mulai memikirkan perkataan ayah, jika aku tidak menjalani pendidikanku menjadi seorang dokter seperti yang diinginkannya, pasti ayah sedih. Walaupun ayah tidak memaksa, tapi aku tahu ayah sangat menginginkanku mengikuti jejaknya. Aku ingin membahagiakan ayah dan aku pun memilih jurusan yang ayah inginkan. Dengan raut wajah yang bahagia, ayah menyetujui keputusanku.

Dengan penuh semangat, ayah mulai mencarikan universitas terbaik yang menjadi buah bibir di setiap pembicaraannya dengan rekan sesama profesinya. Akhirnya ayah menjatuhkan pilihannya di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalku. Ya, di Yogyakarta ayah menjatuhkan pilihannya untukku melanjutkan pendidikan, aku sudah mengeluh pada ayah karena pilihan ayah itu sangat jauh dari tempat tinggalku saat ini. Aku tidak pernah tahu bagaimana aku menjalani kehidupanku sendiri, aku terbiasa hidup bersama ayah dan bunda, aku takut jika harus tinggal jauh dan meninggalkan kebiasaanku yaitu serba tersedia. Baiklah, aku harus bisa, aku harus membuktikan pada ayah bahwa aku bisa membanggakan ayah. Suka tidak suka, mau tidak mau, inilah jalan hidupku.

Satu bulan berlalu, ayah sudah memberitahuku bahwa minggu ini aku sudah mulai berpindah tempat tinggal di Jogja. Aku ingin sekali memberitahu Belvara tentang perpindahanku, aku juga ingin memberitahu bahwa sekarang aku adalah calon mahasiswa kedokteran, aku sangat mengharapkan dukungannya saat ini. Belva, aku sangat merindukanmu saat ini, aku mohon temui aku sekarang.

Sepanjang perjalanan menuju airport hal yang aku lakukan hanyalah menggenggam ponselku, ingin sekali aku mengirim pesan padanya, tapi aku malu melakukannya. Dia saja tidak merindukanku, bahkan sejak dia pergi meninggalkan rumah, tidak ada pesan sedikitpun darinya. Ayah terus merangkul bahuku sepanjang perjalanan.

Tibalah kami di airport pukul 13:00 dan aku mulai menuju loket, karena jam penerbanganku sudah dekat. Sebelum aku pergi jauh dari ayah dan bunda, aku memeluk mereka dengan sangat erat.
"Jaga dirimu baik-baik sayang, ayah tahu putri ayah sudah dewasa. Zoya harus bisa hidup mandiri, semua ini demi masa depanmu sayang." Ayah memelukku tanpa henti.
Aku mengiyakan perkataan ayah, suaraku pun mulai terdengar serak, air mataku sudah jatuh satu demi satu. Terlebih saat bunda mencium pipiku, aku tidak bisa menahan tangisanku. Kini putri bunda tinggal jauh dari ayah dan bunda, tidak ada lagi yang selalu mengingatkanku untuk makan dan melakukan kegiatan lain.
"Ayah dan bunda baik-baik ya disini, aku akan kembali untuk ayah dan bunda saat aku sudah mendapatkan gelarku dan membuat kalian bangga memiliki putri sepertiku."
Acara melepas keberangkatanku cukup memakan waktu yang lama dan ayah pun mulai membiarkanku pergi, karena waktu penerbangan semakin singkat. Dari kejauhan aku melihat ayah dan bunda melambai-lambaikan tangan dan semakin jauh semakin tidak terlihat karena terhalang oleh keramaian.

Perjalanan hidupku sudah dimulai, kini saatnya aku berjuang untuk masa depanku, selamat tinggal ayah, bunda. Aku akan kembali secepatnya.

Regrets of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang